Mohon tunggu...
Radityo Ardi
Radityo Ardi Mohon Tunggu... Lainnya - Cuma manusia biasa, banyak salahnya. Gimana donk?

Lewat 7 tahun lebih tinggal di Singapura. Banyak pelajaran, masih banyak juga yang harus dipelajari dari negeri yang disebut titik merah di peta oleh Habibie. Blog lainnya di https://mas-rdz.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Karena Inilah Apartemen di Jakarta Kurang Nyaman dibandingkan Singapura

13 Februari 2021   03:18 Diperbarui: 14 Februari 2021   03:22 4639
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kita tahu bahwa Singapura adalah kota negara yang sukses mengimplementasikan tempat tinggal model bertingkat atau apartemen selama berpuluh-puluh tahun sejak berdiri menjadi negara independen. 

Singapura sudah melalui berbagai konflik internal yang ada kaitannya dengan suku dan budaya, bahkan melewati berbagai tantangan hingga pernah berada di titik nadir, lalu bangkit menjadi negara dengan ekonomi terbesar hingga disematkannya status negara maju. Salah satunya tentang kelayakan apartemen di Singapura. 

Namun, kita yang berada di Indonesia, selalu menganggap Singapura sebelah mata dan tidak belajar hanya karena negara kecil yang lebih kecil dari titik merah di peta dunia. 

Bahkan ketika apartemen DP nol persen yang digagas Anies Baswedan muncul dan saya sempat mengintip denah apartemen tersebut, terlihat jelas ada begitu banyak kesalahan dalam perencanaan bangunan secara keseluruhan dan cenderung "tidak sehat". Apa saja pertimbangannya?

Terlalu Kecil

Apartemen di Singapura sudah sejak berdekade lalu menentukan dasar ketentuan untuk tempat tinggal yang dianggap sehat. 

Dan dibentuknya Badan Otoritas Bangunan dan Konstruksi (Building and Construction Authority -- BCA) bukan tanpa alasan, untuk menetapkan dasar ketentuan bangunan yang sehat dan tidak asal tumpuk dan tempel.

Denah 1-room flat Apartemen Singapura
Denah 1-room flat Apartemen Singapura
Apartemen paling kecil di Singapura sudah hampir "punah", karena pasangan muda di Singapura sekarang menginginkan apartemen dengan ukuran yang lebih luas. 

Alhasil, pemerintah tidak lagi meluncurkan apartemen ukuran kecil sekarang ini. Apartemen terkecil di Singapura ini sejenis Studio kalau di Indonesia, atau 1-room flat. 

Untuk ukuran saja sudah disebut fantastis untuk ukuran kita, 33m2. Dibagi menjadi 3 ruangan: ruangan utama (sekaligus kamar), dapur, dan kamar mandi.

Coba bandingkan dengan apartemen tipe ST di Samawa, dimana dapur dan kamar tidur menyatu dan persis di sebelah TV. Kamar mandi justru tepat di pintu depan, desain yang sangat-sangat mirip seperti kamar hotel.

 

Denah Tipe ST Apartemen Samawa Jakarta
Denah Tipe ST Apartemen Samawa Jakarta

Sekarang ini, ukuran apartemen baru di Singapura paling kecil sudah di atas 55m2 untuk 1 kamar tidur, dapur, 1 kamar mandi dan 1 ruang keluarga. Dan rata-rata ukuran umumnya adalah 95m2 untuk 2 kamar tidur, dapur, 2 kamar mandi, dan 1 ruang keluarga.

Tembok Pemisah

Masih tentang apartemen Studio di atas, konsep bangunan apartemen di Jakarta terlalu sering mengadposi denah kamar hotel dimana tidak ada tembok pemisah antara ruangan dapur dan kamar tidur. Coba bayangkan sebagai penghuni yang mau menghemat uang makan daripada jajan di luar, selalu ingin masak di rumah.

Denah seperti di Jakarta justru bikin seluruh ruangan menjadi bau masakan, karena dapurnya tepat di tengah. Sama halnya dengan penempatan kamar mandi yang tepat di dekat pintu depan, justru di titik inilah yang berpotensi menjadi titik lembab. Sekali lagi, denah seperti inilah yang seringkali mengadopsi denah hotel, bukan tipikal rumah kebanyakan.

Tanpa Balkoni Pribadi, Tetapi Memiliki Koridor Terang

Konsep kemewahan hotel yang dibawa ke apartemen di Jakarta, sebenarnya justru lebih menyulitkan. Terutama dengan adanya balkoni pribadi yang bisa dibilang terlalu kecil dan hampir tidak bisa digunakan. Saya pribadi lebih memilih ruangan untuk balkoni dimaksimalkan untuk dapur.

Apartemen di Singapura, unit satu sama lain tidak berhadap-hadapan. Hal ini untuk menghindari titik-titik lembab dan gelap yang berpotensi menjadi tempat tumbuhnya penyakit.

Halaman Depan Setiap Unit di Singapura
Halaman Depan Setiap Unit di Singapura

Terlebih lagi dengan adanya koridor di depan, tentu juga memungkinkan adanya jendela yang menghadap depan. Rumah jadi terang, tidak terkesan gelap dan tidak lembab. 

Angin dengan mudahnya berhembus dari depan ke belakang atau sebaliknya. Karena tidak berhadap-hadapan, si penghuni bisa menempatkan tanaman favoritnya bagi yang senang berkebun.

Koridor apartemen di Jakarta
Koridor apartemen di Jakarta

Berbanding terbalik dengan apartemen di Jakarta yang koridornya terkesan gelap. Lampu harus dinyalakan setiap saat karena gelap, baik siang maupun malam. Setidaknya ini menurut pengalaman saya pernah tinggal di sebuah apartemen di Jakarta.

Refuse Chute

Dan ini fitur killer dari apartemen di Singapura. Jika kalian perhatikan denah apartemen 1-room flat di Singapura, ada satu bagian dinamakan Refuse Chute. Ini untuk apa ya?

Ketika pertama kalinya saya tinggal di Singapura, saya justru kaget dengan adanya Refuse Chute ini. Kalau menurut saya, inovasi modern orang bego yang sama sekali tidak pernah terpikirkan oleh orang-orang Indonesia, dan kita patut belajar dari mereka. Refuse Chute pada dasarnya adalah kolong tempat sampah di dalam apartemen sendiri yang memanfaatkan gaya gravitasi bumi. Lho, kok bisa?

Begini, dulu ketika saya sudah lewat 1-2 tahun di Singapura, saya sempat tinggal 1 bulan di sebuah apartemen di Jakarta dan sekalian mencoba membandingkan enak atau susahnya tinggal di apartemen Jakarta. 

Ketika itu belum ada apartemen DP 0 persen seperti sekarang ini. Ketika kalian mau buang sampah, terpaksa harus bawa sampah keluar unit dan ditaruh di tempat sampah khusus untuk penghuni 1 lantai tersebut di ruangan pojok.

Yang buat saya jadi agak "tepok jidat", petugas servis sampah setiap hari harus menarik tempat sampah mulai dari lantai paling atas kemudian masuk ke lift umum untuk kemudian turun 1 lantai dan mengambil sampah lainnya di lantai bawahnya terus menerus. Jika tangan sudah penuh, harus turun dulu ke lantai dasar untuk kemudian naik lagi ambil tempat sampah lainnya terus menerus.

Ketika itu saya sempat memperhatikan,

  • Sejak jam 9 pagi hingga (paling cepat) jam 2 siang, waktu habis hanya untuk membuang sampah 1 gedung saja.
  • Hanya ada 2 lift (tentu tergantung apartemen), praktis satu lift selalu sibuk setiap hari khusus untuk kegiatan membuang sampah. Bayangkan berapa banyak listrik terpakai untuk lift, bolak-balik ambil sampah dan menempatkan kembali tempat sampah kosong. Tentu tidak nyaman kalau kebetulan kalian bareng tukang sampahnya.

Beranjak dari keterbatasan tenaga kerja, pemerintah Singapura melalui HDB sejak awal adanya apartemen sudah belajar bagaimana meningkatkan efektifitas pembuangan sampah. Yaitu dengan gaya gravitasi!

Refuse Chute di Singapura
Refuse Chute di Singapura

Coba lihat kembali denah apartemen di Singapura, Refuse Chute adalah 1 kolong khusus yang kosong menjulang dari lantai paling atas hingga dasar. Dan di setiap flat, terdapat 1 jendela khusus untuk membuang sampah.

Cara kerjanya cukup mudah. Misalkan kalian tinggal di lantai 8, kalian tinggal buka jendela sampah dan buang sampah di situ. Sampah akan "terbang" (ditandai anak panah merah) dari tempat kalian buang sampah hingga ke lantai dasar. Di lantai dasar, ada kotak sampah berukuran besar yang setiap hari akan diambil dan diganti dengan yang kosong (kotak merah).

Tempat Sampah di Singapura menggunakan Gravitasi
Tempat Sampah di Singapura menggunakan Gravitasi

Petugas servis sampah di Singapura
Petugas servis sampah di Singapura

Dengan cara ini,

  • 2 orang petugas servis sampah bisa mengerjakan 5 -- 10 gedung setiap harinya.
  • Tanpa harus menggunakan lift hingga mengurangi kenyamanan penghuni.

Dan yang lebih sehatnya lagi, dilakukan pengasapan (fogging) berkala untuk mengurangi kecoa dan nyamuk yang bersarang.

Jemur Pakaian Cepat Kering

Ketika saya coba jemur pakaian di apartemen Jakarta, jangka waktu pakaian kering cukup lama, bisa lebih dari 1 hari. Hal ini disebabkan karena 2 hal, praktis hanya balkoni menjadi tempat jemur pakaian yang terlalu kecil dan tidak adanya angin melewati balkoni.

Berbeda dengan Singapura, tembok bagian luar di belakang jadilah tempat menjemur pakaian. Pakaian cepat kering karena tergantung di luar unit, bisa secepat 2-3 jam saja jika matahari bersinar kuat.

Tempat Jemuran di Singapura
Tempat Jemuran di Singapura

Penutup

Tentu komentar pribadi saya tentang apartemen yang "tidak sehat" ini bukan tanpa alasan, dan tidak bermaksud untuk membangga-banggakan. Saya sudah tinggal lama di Singapura dan melihat-lihat bagaimana teraturnya apartemen di Singapura dibangun. 

Hanya 1 bulan saja pengalaman saya tinggal di apartemen Jakarta, membuat saya secara pribadi tidak betah dan memilih tinggal di rumah pribadi di perumahan atau di Singapura tempat saya bekerja.

Kita seharusnya justru bisa belajar dari Singapura tentang bagaimana mengelola apartemen jika Jakarta memang didapuk sebagai kota metropolitan. 

Kita harus berangkat dari pemikiran "bagaimana menumpuk rumah tinggal yang nyaman" daripada berangkat dari "bagaimana membuat apartemen persis seperti kamar hotel".

Semoga kita bisa belajar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun