Mohon tunggu...
Radityo Ardi
Radityo Ardi Mohon Tunggu... Lainnya - Cuma manusia biasa, banyak salahnya. Gimana donk?

Lewat 7 tahun lebih tinggal di Singapura. Banyak pelajaran, masih banyak juga yang harus dipelajari dari negeri yang disebut titik merah di peta oleh Habibie. Blog lainnya di https://mas-rdz.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

ERP dan COE Cukup Efektif Mengurangi Kemacetan Singapura?

15 September 2013   17:50 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:51 3313
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bus di Singapura(dok.:therealsingapore.com)

Penerapan ERP di Jakarta dalam beberapa tahun ke depan, membuat saya tertarik untuk menulis tentang ERP di Singapura. Percayakah Anda kalau Singapura kini mulai macet lagi? Singapura yang digadang-gadang kota dengan transportasi publik terbaik di Asia ini juga menghadapi masalah yang sama seperti Jakarta sekarang ini, mungkin intensitasnya tidak setinggi Jakarta juga. Dulu ketika saya masih berada di Jakarta, bayangan saya Singapura bukanlah kota yang macet, transportasi tentunya orang akan lebih memilih transportasi umum daripada mobil pribadi. Mobil atau kendaraan, hanyalah orang-orang mewah saja yang punya. Namun, bayangan ini sirna ketika sudah lama tinggal di negara rantau ini, Singapura tetap saja macet. Mau bukti? Untuk yang bisa akses internet, pantau saja pulau Singapura di jam-jam berangkat dan pulang kantor antara pukul 7 pagi hingga 9 pagi dan 5 sore hingga 8 malam melalui Google Maps, dengan menyalakan lapisan lalulintas (traffic layer), maka akan kelihatan merahnya.

Penerapan sistem Electronic Road Pricing (ERP) yang akan diterapkan oleh pemerintah provinsi DKI Jakarta sendiri pun sudah cukup banyak mengundang pro dan kontra. Masyarakat yang pro, tentunya mendambakan adanya transportasi massal yang memadai dengan adanya ERP ini. Sedang masyarakat yang kontra, tentu mewakili pihak yang merasa dirugikan yaitu pemilik mobil, tentu mendambakan nyamannya berkendara di jalanan Jakarta.

Kembali ke ERP di Singapura. Menurut pandangan kita mungkin ERP sendiri cukup sukses jika kita lihat di Singapura, namun apa yang dilakukan pemerintah Singapura ternyata tak cukup berhenti hanya ERP saja! Mereka sudah mengeluarkan segala jurus maut untuk menghentikan laju pertumbuhan kendaraan di jalanan Singapura. Bahkan saya bilang tanpa lelahnya mereka "bekerja" membunuh nafsu-nafsu untuk membeli mobil yang berujung pada kemacetan di jalanan Singapura. Namun ujung-ujungnya juga jalanan sekarang sudah mulai terlihat macet di beberapa lokasi, terutama pada jam-jam sibuk kadang sudah terjadi kemacetan dua arah. Mari kita tengok bagaimana usaha pemerintah Singapura untuk menekan laju pertumbuhan kendaraan setiap tahunnya.

-- Electronic Road Pricing --

Electronic Road Pricing atau kita kenal dengan ERP, ini adalah sistem dimana jika kita melewati ruas jalan tertentu, akan dikenai biaya. Bagaimana penerapan biayanya? Kalau di Singapura, penerapan pembayarannya tidak menggunakan manual atau gerbang entri, tetapi otomatis seluruhnya. Di Singapura, ketika Anda membeli sebuah mobil dan meregistrasikan mobil atau motor Anda lalu mendapatkan plat nomor, maka Anda diharuskan untuk memiliki In-vehicle Unit (IU) yang harus terpasang di bagian depan di setiap mobil atau motor yang kita beli. IU ini dapat digunakan bersamaan dengan kartu EZ-Link atau NETS FlashPay, sebuah kartu pembayaran non-sentuh (contactless). Artinya kartu ini juga harus terpasang dan harus memiliki nilai / uang di dalamnya. Kalau tidak terpasang, jelas nanti ketika ada patroli petugas Land Transport Authority (LTA, semacam Dishub kalau di Indonesia), pasti akan dikenai denda lebih besar. Di Singapura, lalu lintas kendaraan mobil dan motor dipegang oleh LTA termasuk pemberian denda terhadap pelanggaran.

[caption id="" align="aligncenter" width="437" caption="ERP Gantry di Singapura (dok.: LTA.gov.sg)"][/caption]

Komponen pertama tadi adalah IU, komponen kedua adalah ERP Gantry / gerbang ERP. Gerbang ini tidak menggunakan pintu sama sekali, melainkan sensor untuk membaca IU tadi, dimana terdiri dari 2 komponen. Pertama adalah sensor yang didepan difungsikan untuk komunikasi nirkabel gelombang jarak pendek (short range wireless system) untuk berkomunikasi dengan IU yang terpasang dengan mobil atau motor, kedua adalah kamera yang merekam plat nomor mobil yang lewat tadi. Fungsi kamera tersebut untuk merekam jika ketika IU melewati ERP Gantry, tidak terpasang kartu pembayaran atau IU rusak atau IU mati, maka kamera otomatis merekam plat nomor kendaraan tadi. Hanya perlu beberapa hari, maka surat tagihan akan datang ke rumah karena melewati ERP tidak menggunakan IU atau IU nyala tanpa kartu. Mungkin kita akan membayangkan, bisa nggak ya diakali dengan ngebut? Maaf, sistem ERP ini sudah kelewat canggih dan dites berulang kali, kecil kemungkinan bisa lolos dari denda.

[caption id="" align="aligncenter" width="600" caption="IU Machine di Mobil (dok.:uniquelysingapore.org)"][/caption]

Lalu bagaimana mobil asing yang masuk ke Singapura? Perlu diketahui, Singapura memiliki 2 jembatan ke Malaysia, dan mobil plat Malaysia juga sering keluar masuk ke Singapura. Hal ini juga nggak bisa begitu saja lolos. Masuk Singapura, artinya kita harus masuk imigrasi, dimana mobil-mobil tersebut diperiksa. Jika tidak memiliki IU, bisa menyewa IU di pintu Tuas atau pintu Woodlands, atau alternatif lain adalah dengan membayar ERP harian, yang tarifnya lebih mahal daripada ketika kita lewat ERP. ERP ini hanya ditagihkan ketika akan keluar Singapura.

Sistem tarif ERP, ditagihkan berdasarkan besar ukuran kendaraan, lokasi ERP gantry dan tipe pembayaran ERPnya. Makin besar ukuran kendaraan, maka makin besar tarifnya. Hal ini juga tergantung lokasi ERP, jika melewati tempat rawan macet seperti di kota, tarif juga makin besar. Pembayaran ERP sistemnya juga ada 2, sistem normal dan harian. Untuk harian, dikenakan lebih mahal, kurang lebih S$8, namun bebas berkeliaran di seluruh Singapura. Umumnya harian hanya bisa digunakan untuk kendaraan plat nomor asing seperti dari Malaysia atau Thailand, dan mereka harus membayar ketika keluar Singapura, atau mobilnya akan ditahan. Jika mesin IU mati atau rusak atau tanpa kartu pembayaran, maka akan dianggap melanggar. Berdasarkan jepretan kamera, akan diketahui plat mobilnya dan dalam waktu 2 minggu surat denda akan datang, dimana harus membayar pula biaya administrasi S$10 dalam waktu 2 minggu sejak tanggal surat tersebut. Jika masih belum membayar, akan dikenakan denda tambahan S$70 yang bisa saja meningkat hingga S$1000 atau kurungan penjara 1 bulan jika tidak dibayar dalam 30 hari. Begitulah memang, kota yang dijuluki kota denda.

Dan ada salah satu keunggulan lagi dengan terpasangnya IU disetiap mobil. Pengusaha parkir mobil / motor juga dapat menggunakannya dan mendebit langsung ketika keluar parkir. Jika terdapat pelanggaran lalu lintas, maka secara otomatis dendanya akan masuk ke IU. Ini berdasarkan cerita supir taksi yang saya dengar di Singapura, yang bercerita kalau berniat melanggar, agak sulit. Karena, misalkan kita hari ini melakukan pelanggaran, maka jangan heran jika tiba-tiba beberapa minggu kemudian mesin IU menunjukkan angka nominal cukup besar, karena ya itulah angka denda ketika kita melanggar lalu lintas. Makanya jangan heran kalau angka pelanggaran lalu lintas di Singapura cukup bisa ditekan signifikan, bukan karena warganya tertib, tetapi ya karena nggak ada celah untuk melanggar. Ini berdasarkan pengakuan supir taksi yang saya ajak ngobrol.

-- Certificate of Entitlement --

Certificate of Entitlement atau COE adalah surat keterangan yang didasarkan pada kuota pertumbuhan jumlah kendaraan baru yang diperbolehkan di Singapura hanya selama 10 tahun. 10 tahun berikutnya, maka pemilik diharuskan untuk menjual kembali untuk diperbaharui COEnya oleh pemilik baru, atau dijual ke luar negeri (Indonesia atau Malaysia umumnya), atau perpanjang COE untuk 10 tahun ke depan. Penasaran bagaimana sistemnya? Jika Anda ingin membeli mobil, maka Anda harus memiliki COE, dimana itu adalah surat keterangan diperbolehkan memiliki mobil. Sederhana dan simpel memang. Namun yang menarik adalah, pemerintah Singapura tidak serta merta membebaskan kepemilikan mobil ini sebebas-bebasnya. COE ini ber-kuota, jumlahnya terbatas dan diperebutkan oleh banyak orang. Oleh karena COE ini terbatas dan peminatnya banyak, maka COE dilepas dengan sistem lelang. Artinya siapa yang mau beli mobil, motor atau kendaraan apapun harus melalui proses lelang untuk mendapatkan COE ini. Semakin banyak peminatnya, semakin ngebet peminat COE, maka semakin tinggi harga COE tersebut. Harga COE saat ini juga cenderung fantastis, namun tetap saja orang membeli kendaraan.

Uang COE ini tidak dipublikasikan kemana akan digunakan oleh pemerintah Singapura, namun beberapa orang Singapura yang saya ajak ngobrol memperkirakan uang ini digunakan untuk perbaikan transportasi, infrastruktur, transportasi publik seperti MRT dan bus, dan fasilitas-fasilitas lain untuk warganya, termasuk bidang pertahanan. Karena yang saya dengar, Angkatan Udara Republik Singapura ini yang terkuat dan terbesar di Asia Tenggara, mengalahkan Indonesia dan Malaysia.

Setelah kita memiliki COE dan membayar harganya, maka kita bisa membeli kendaraan sesuai kategori COE yang tertera. Detik ini saya menulis, harga COE untuk mobil diatas 1600 cc itu sejumlah S$77.100! Bagaimana dg mobil di bawah 1600 cc? Lebih murah? Karena sistem lelang berlaku, belum tentu juga lebih murah. Untuk mobil dibawah 1600 cc, harga COE sejumlah S$77,304. Kenapa sih semahal itu? Ya karena peminatnya banyak, dan kuota terbatas. Untuk bulan ini, kuota mobil diatas 1600 cc hanya 381 unit, dan dibawah 1600 cc hanya 366 unit. Data lengkapnya dapat ditemukan di salah satu laman milik LTA ini: http://www.onemotoring.com.sg/1m/coe/coeDetail.html.

Sebagai contoh, saya ingin membeli Toyota Avanza di Singapura, dimana yang beredar di Singapura adalah Avanza buatan Indonesia. Toyota Avanza berkapasitas 1495 cc, maka harga COE sebesar S$77,304 (dengan kurs 1S$ = Rp. 9000, maka senilai Rp. 695.736.000,-). Sedang harga mobilnya sendiri di Singapura dijual sebesar S$52,684 (dengan kurs yang sama, Rp. 474.156.000,-). Jika ditotal, maka saya harus membayar S$129,988 (atau Rp. 1.169.892.000,-). Harga ini sudah termasuk pajak jalan, IU device (untuk ERP dan parkir), dan biaya plat nomor. Jika Anda warga negara Singapura, masihkah Anda berpikir untuk membeli mobil?

-- Transportasi Massal --

Nah, terakhir adalah transportasi massal, dan ini sudah bukan rahasia lagi. Sistem transportasi massal di Singapura bahkan bisa dinilai yang terbaik di Asia, karena ketersediaannya yang mencapai tiap jarak waktu, sistem informasi transportasi yang canggih, dan juga menjangkau hampir seluruh pelosok jalanan di Singapura. MRT di Singapura yang kita tahu sudah cukup canggih, dengan menggunakan tunnel / terowongan untuk menyentuh jantung kota, dan menggunakan elevated railways (jalan layang) untuk solusi murah menjangkau daerah. MRT ini juga merupakan isolated area, dimana sangat tidak mungkin orang yang iseng menerobos masuk ke kereta tanpa membayar.

MRT yang terbaru menggunakan sistem UTO (Unattended Train Operation), artinya tidak menggunakan masinis / driver di bagian depan. Sistemnya sudah otomatis penuh, berjalan berdasarkan jadwal waktu yang sudah ditentukan sebelumnya, dan sensor-sensor yang terletak di kereta dan stasiunnya. Dulunya, MRT ini tanpa pagar pembatas / pintu luar, sama seperti yang terdapat di semua stasiun KRL di Jabodetabek. Namun karena kasus kecelakaan fatal terjadi berkali-kali, maka akhirnya dipasang pagar pembatas otomatis, sehingga MRT sekarang ini benar-benar terisolasi dan aman. Jika pintu dari kereta terbuka, maka otomatis pagar diluar juga akan mengikutinya.

[caption id="" align="aligncenter" width="553" caption="Di dalam MRT Singapura (dok.: wikipedia.org)"]

Di dalam MRT Singapura (dok.: wikipedia.org)
Di dalam MRT Singapura (dok.: wikipedia.org)
[/caption]

Lalu bagaimana dengan bus? Di Singapura, bus dengan mudah dijumpai. Baik dari dalam kota, maupun di pelosok, semua dengan mudah dijumpai. Bus di Singapura ini, sebagai bagian dari pembatasan jumlah kendaraan pribadi tadi, maka mereka juga menyiapkan bus dengan kapasitas tinggi seperti bus tingkat. Bus ini akan selalu datang setiap 10 hingga 20 menit interval. Bus di Singapura ini bukan tanpa waktu, mereka melayani dari jam 6 pagi (5 WIB) hingga 00.30 (11.30 WIB) setiap harinya.

Tentu dengan baiknya sistem transportasi ini, tak lengkap tanpa adanya sistem informasi terpadu dengan teknologi terbaik. Setiap bus dan kereta MRT dilengkapi dengan GPS, sehingga dengan mudahnya dihitung berapa lama lagi bus atau MRT ini sampai di tempat kita berdiri. Dan informasi waktu ini juga tersedia secara publik, sehingga pembangun aplikasi mobile untuk Apple iPhone, Android dan Windows Phone berlomba-lomba menyediakan informasi bus dan MRT dari smartphone.

[caption id="" align="aligncenter" width="614" caption="Bus di Singapura(dok.:therealsingapore.com)"]

Bus di Singapura(dok.:therealsingapore.com)
Bus di Singapura(dok.:therealsingapore.com)
[/caption]

Untuk sistem tarif, diberlakukan sistem tarif yang bisa dibilang tidak flat untuk semua kalangan. Untuk warga senior (tua) dan anak-anak diatas 90 cm, berlaku sistem tarif lebih murah. Untuk warga biasa, berlaku sistem tarif normal / dewasa. Lalu bagaimana cara bayar tarifnya? Ini sudah otomatis penuh, menggunakan kartu pembayaran non-kontak (contactless), EZ-Link atau NETS Flashpay yang bisa dibeli di minimarket atau stasiun MRT mana saja. Berbicara mengenai kartu pembayaran, tampaknya penggunaannya sudah meluas dan sudah dianggap sebagai lifestyle.

-- Cara Berkendara Mempengaruhi Kemacetan --

Cara orang mengendarai mobil juga patut disalahkan atas terjadinya kemacetan di Singapura. Hanya dengan mematuhi aturan lalu lintas saja, maka kemacetan dapat dihindari, atau minimal akan tetap macet namun lancar. Hal ini juga terjadi di Jakarta dimana cara orang berkendara terkesan agak ugal-ugalan dan 'sak penak'e dhewek'. Apa saja aturan kunci yang dapat mengurangi atau meminimalisir dampak kemacetan?

PINDAH JALUR: jika di Singapura, orang akan merasa nggak enak dengan orang lain jika mereka pindah jalur. Minimal mereka akan melihat kondisi jalur tujuan melalui kaca spion, jika sudah benar-benar tidak ada mobil di belakang mobil kita di jalur tujuan, atau minimal berjarak 30 meter, maka dengan sebelumnya menyalakan lampu sein, kita bisa berpindah jalur. Sedang di Jakarta, ketika saya tinggal di sana, bahkan jarak 1 meter sekalipun orang tanpa segan-segan pindah jalur, bahkan tanpa lampu sein, tanpa aba-aba. Perpindahan jalur secara tiba-tiba ini akan menyebabkan 2 jalur baik jalur tujuan dan jalur asal kita akan terhenti sesaat dan menyebabkan ruang kosong. Tidak hanya 1 atau 2 mobil, namun bisa sampai 10 atau 20 mobil melakukan hal yang sama. Tentu ruang kosong ini menyebabkan kemacetan semakin panjang. Hal ini juga pernah saya amati dari atas jembatan penyeberangan ketika macet di ruas jalan Sudirman, Jakarta. Stay on lane, pilihan terbaik, meski tidak nyaman juga jika kita lihat jalur sebelah itu lebih cepat dari jalur kita sekarang berada.

MERAPAT JIKA INGIN BERBELOK: kebiasaan ini cukup terlihat di Jakarta, namun tetap saja masih ada beberapa orang tidak melakukan itu. Misalkan jika di Sarinah saya ingin berbelok ke kiri, maka 1 km sebelumnya saya sudah siap untuk merapat ke kiri. Namun beberapa orang pede tetap di jalur kanan, lalu 10 meter sebelum belokan, dengan santainya memotong ke kiri.

-- Singapura Macet --

Singapura masih saja macet, terutama di ruas-ruas jalan tertentu seperti PIE (Pan Island Expressway) yang menjadi langganan kemacetan dan AYE (Ayer Rajah Expressway). PIE ini merupakan jalan lintas pulau, yang menghubungkan Singapura timur dan Singapura barat, dan PIE merupakan jalur tengah ke BKE (Bukit Timah Expressway) yang tentunya jika terus, akan menuju ke Johor Bahru, Malaysia. Di PIE, bahkan ketika jam tertentu, macetnya akan terjadi dua arah.

[caption id="" align="aligncenter" width="400" caption="Singapura Macet (dok.: omy.sg)"]

Singapura Macet (dok.: omy.sg)
Singapura Macet (dok.: omy.sg)
[/caption]

-- Penerapannya di Indonesia --

Topik terakhir, penerapan di Indonesia bagaimana? Solusi segala masalahnya hanyalah dengan satu kalimat sakti: REINVENTING THE WHEELS. Reinventing the wheels ini adalah idiom yang bermaksud menduplikasi metode atau cara yang sebenarnya sudah ada diciptakan atau berjalan, hanya perlu dimodifikasi sedikit untuk pemecahan solusi. Namun hal ini masih belum diendus oleh Jokowi-Ahok saya rasa.

Jokowi dan Ahok akan menerapkan sistem pentarifan ERP di Jakarta yang diharapkan akan mengurangi jumlah kendaraan yang melewati Jakarta. Namun apakah penerapannya semudah itu? Saya rasa, Jokowi-Ahok harus putar otak lebih keras untuk menerapkan ERP, harus dipikirkan dari sudut pandang geografis, sosiologis dan psikologis. Akan lebih mudah jika Jakarta adalah negara, namun kenyataannya Indonesia begitu luasnya dan tidak mudah mengisolasi Jakarta. Kenapa demikian? Penerapan ERP ini harus punya komponen utamanya, yaitu sistem isolasi. Artinya kendaraan yang boleh lewat, hanyalah kendaraan yang sudah membayar ERP, dan ini tidak semudah membalikkan telapak tangan. Sistem ini tak jauh berbeda seperti jalan tol, dimana kita hanya boleh masuk jika kita sudah membayar atau siap membayar. Penerapan ERP di Jakarta, sama halnya dengan memindahkan kemacetan dari jalan utama ke jalan-jalan tikus di sekitarnya. Tak percaya? Masih ingatkah penerapan sistem 3in1 di Jakarta? Di jam-jam penerapan 3in1, maka mobil-mobil pribadi akan berlomba-lomba memadati jalan tikus / jalan kecil. Yang berduit, tentu akan membayar joki supaya "selamat" sampai lewat area 3in1. Penerapan ERP tentu akibatnya hanya satu, jalan tikus akan luar biasa macetnya. Sebenarnya hal inipun sudah ada di Indonesia, yaitu Jalan Tol. Maka hanya perlu tambahan dana untuk mengkonversi jalan-jalan utama Jakarta menjadi Jalan Tol. Hanya saja, jalan tol ini perlu dimodifikasi dari sisi aturan hukum, misalnya motor sekarang boleh masuk ke Jalan Tol. Sehingga tak perlu biaya banyak juga, tak perlu mikir berat-berat, gunakan resource yang sudah ada.

Untuk mengurangi akibat diterapkannya ERP, pemerintah DKI Jakarta juga menyiapkan transportasi massal yang memadai, dan tentunya diharapkan dapat mengurangi dampak tersebut. Namun bagi saya itupun masih kurang, berkaca dari kondisi Singapura saat ini. Namun tentu kemacetan Singapura saat ini masih dalam taraf normal, dan masih bisa diatur.

COE bisakah diterapkan di Jakarta? Saya rasa hal ini bisa saja diterapkan, namun kembali ke metode reinventing the wheels, hal ini bisa digantikan dengan sistem pajak kendaraan bermotor yang saat ini sudah berlaku. Atau memberlakukan syarat pembayaran untuk perpanjangan plat nomor dan permohonan plat nomor baru. Naikkan pajak mobil baik mewah maupun mobil murah untuk wilayah Jabodetabek. Maka dengan sendirinya akan berkurang jumlah mobil tersebut. COE haruslah mahal untuk Jakarta, karena sudah sedemikian sakitnya lalu lintas di Jakarta ini.

Terakhir, tentu hal diatas tidak akan efektif jika tidak dibarengi dengan pertumbuhan transportasi massal seperti yang dilakukan DKI Jakarta saat ini. Apa yang sudah ada saat ini, diharapkan mampu direncanakan sematang mungkin dan sebaik mungkin. Harus menjangkau segala kalangan, dan harus menjangkau segala posisi geografis Jakarta.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun