Topik Kompasiana kali ini mengangkat mengenai redenominasi rupiah, yang sedang asyik diperbincangkan dan diperdebatkan, sementara para petinggi Bank Indonesia sudah menyiapkan dan bahkan perlahan demi perlahan melaksanakan tahapan redenominasi mulai Januari 2013, meskipun hanya diawali dengan sosialisasi. Awalnya saya mengira rencana ini masih wacana, tetapi belakangan berita bahwa Bank Indonesia serius menjalani rencana ini, karena menurut mereka Rupiah berada di titik psikologis kritis dengan dikeluarkannya riset Bank Dunia bahwa Rupiah berada di urutan kedua nilai mata uang tertinggi setelah Vietnam. Dan saya lihat, rencana mereka tak akan terbendung oleh apapun, hanya tinggal melaksanakan saja. Tahun depan 2013 merupakan tahun sosialisasi pelaksanaan redenominasi. Dan diharapkan 2014 jika masyarakat dipandang siap, maka akan mulai dijalankan masa transisi dengan mengedarkan mata uang nilai baru sembari masih mengedarkan mata uang nilai lama. Dan 2017 diharapkan proses redenominasi selesai dan berjalan terus menerus. Pro dan kontra muncul, sebagai bagian dari demokrasi. Muncul pendapat dari politikus, masyarakat, bahkan kompasianer, juga memberikan perdebatan atau bahkan pertanyaan. Satu topik redenominasi yang mendapati peringkat pertama adalah kekhawatiran apakah redenominasi ini sama dengan sanering di era Syafruddin tahun '50.
Redenominasi, seperti yang kita tahu (dan pastinya juga sudah ngerti), adalah pemotongan 3 nol di belakang angkanya, atau bahasa gampangnya disederhanakan. Untuk apa? Beberapa fungsi pentingnya adalah menaikkan "gengsi" mata uang Rupiah kita di tingkat dunia. Hal lain, memudahkan kita dalam bertransaksi, mempercepat penghitungan, dan supaya memberikan kesetaraan nilai negara kita di mata dunia. Fungsi pertama ini sangat penting, mengingat hal ini terkait dengan rapid development yang sekarang terjadi di Indonesia. Mata uang kita dipandang rendah oleh negara-negara global, sehingga investor maju kena mundur kena, akhirnya daya saing investasi negara kita jadi "ngambang". Ah, masa sih? Mungkin bagi yang tinggal di Indonesia dan nggak kerja bersinggungan dengan investor asing, nggak merasa hal ini akan berpengaruh. Tetapi bagi yang bekerja di luar negeri atau di Indonesia dan bersinggungan dengan investor asing, apalagi di dunia ekonomi dan bisnis, secara psikologis terpengaruh dengan adanya tambahan 3 nol di belakang mata uang kita (meskipun sebenarnya dari dulu Indonesia nggak nambah-nambahin 3 nol, tapi ya memang begitu dulunya).
Terpengaruhkah? Ya orang luar males transaksi pake Rupiah, mereka lebih memilih transaksi menggunakan USD karena memudahkan mereka. Akibatnya, mata uang kita jadi lembek, dan sekali lagi, Bank Indonesia harus menerima PR tambahan untuk kembali mengawal inflasi lebih ketat. Saya pernah mendengar cerita dari kerabat ketika saya pernah ada proyek IT di sana, bahwa pekerjaan Gubernur Bank Indonesia dan Dewan Gubernur Bank Indonesia (DGBI) tidaklah segampang menjalankan perusahaan, atau bahkan "semudah" menteri (meski saya tahu pekerjaan menteri juga tidaklah mudah). Inflasi jika meleset dari perkiraan sudah membuat mereka nggak bisa tidur, dan dalam waktu singkat, mereka juga harus mengeluarkan kebijakan untuk mengatasi tingkat inflasi yang meleset tersebut, dan DGBI tidak sendirian. Mereka memiliki ahli-ahli ekonomi terbaik yang dimiliki Indonesia dan para "pengawasnya" di luar negeri yang dapat memberi masukan dan data-data konkrit untuk mendukung keputusan tersebut. Menjaga suku bunga Bank Indonesia juga pekerjaan yang sangat njelimet, dalil-dalil ekonomi dan rumus-rumus ekonomi kental dipakai di dalam memberikan masukan untuk dibahas dalam rapat setiap bulannya. Hasil keputusannya ini, mampu mempengaruhi arah ekonomi Indonesia paling tidak dalam 6 bulan ke depan, baik ke arah yang baik atau mungkin ke arah lebih buruk.
Moral dari cerita tersebut adalah, saya sangat yakin, redenominasi bukan rencana yang asbun (asal bunyi), atau asplak (asal njeplak). Rencana ini sudah lama jauh ingin diterapkan, namun masih terganjal gejolak ekonomi Indonesia yang tidak pasti pasca era Reformasi. Kenapa musti nunggu ekonomi stabil? Naaaah, ini yang nggak banyak diketahui orang. Redenominasi dan Sanering sangat bertolak belakang. Keduanya seolah-olah sama, tetapi penerapannya berbeda. Sanering, justru dilaksanakan dalam keadaan ekonomi sudah taraf kacau dan nggak bisa diselamatkan, dimana daya beli menjadi sedemikian rendahnya karena harga barang sudah sedemikian tingginya. Dan mata uang tersebut nilainya perlu dipotong. Berbeda dengan Redenominasi dimana dilakukan dikala ekonomi seharusnya sedemikian stabilnya, iklim investasi juga dalam kondisi baik. Redenominasi tidak dilakukan dalam rangka memotong nilai mata uang, tetapi hanya menyederhanakan saja. Artinya cara penulisannya diperbaiki, tetapi tidak mengubah nilainya.
Bagaimana pelaksanaannya? Sanering, seperti yang saya utarakan tadi, itu dalam rangka menyelamatkan ekonomi yang bobrok. Oleh karena itu, penerapan kebijakan Sanering ini memang dilakukan tiba-tiba (mak bedunduk) tanpa perlu mengeluarkan mata uang baru atau dengan mengeluarkan mata uang baru, tergantung kebutuhan. Redenominasi, penerapannya tidak bisa tiba-tiba. Setahap demi setahap, mulai dari sosialisasi, hinggal akhirnya penarikan mata uang lama. Sosialisasi juga membutuhkan waktu lama dan penjelasan mendetail mengenai proses redenominasi ini.
Apa dampaknya? Tentu akan berdampak pada psikologis masyarakat, dimana pada tahun pertama penerapan, akan terjadi hyper-inflasi. Contoh, kita beli sate tadinya 8000, dan kini hanya menjadi 8 Rupiah. Pedagang merasa rupiah yang dia terima terlalu kecil, lalu menaikkan haryanya hingga 15 Rupiah. Hal-hal seperti inilah yang akan terjadi, dan Bank Indonesia well-aware dg kondisi ini sudah diperkirakan dari awal. Jika berhasil, tahun kedua, ketiga dan seterusnya, hyper-inflasi akan berkurang perlahan. Â Tetapi hanya dampak psikologis saja yang muncul, tanpa ada dampak ekonomi maupun kondisi sosial politik. Dan dampak psikologis ini akan berhasil diminimalisir dengan adanya sosialisasi yang berhasil.
Terus bagaimana kalo belanja nilainya 500 rupiah? Apakah ini juga akan menimbulkan inflasi karena pecahannya nggak ada? Pertanyaan "polos" ini juga pernah diutarakan oleh Ibu Megawati Soekarnoputri yang notabene menolak keras redenominasi. Tetapi kalangan pejabat Bank Indonesia menjelaskan, bahwa pecahan yang serba koma-koma akan diwujudkan dalam bentuk baru yaitu sen, sama halnya seperti USD, SGD, GBP, dan mata uang "perkasa" lainnya. Sekeping 500 Rupiah akan digantikan dengan sekeping 50 sen Rupiah. Sama halnya dengan 100 Rupiah menjadi 10 sen Rupiah dan 50 Rupiah akan menjadi 5 sen Rupiah. Bagaimana dengan 25 Rupiah, dan 10 Rupiah? Becanda aja sampeyan. Ada nggak sih di bumi Indonesia ini yang masih pake 25 Rupiah dan 10 Rupiah? Coba deh buka internet, kapan 25 dan 10 rupiah terakhir beredar?
Negara kita masih pada korup, dan pejabat masih mikirin perut sendiri. Sebaiknya Redenominasi ditunda sampai korupsi mereda. Pertanyaan kembali, sampai kapan? Kalau ada sinyal positif bahwa korupsi mereda di tahun 2012 ini meskipun sedikit, mungkin bisa ditunggu. Masalah yang kita hadapi adalah Korupsi sudah mendarah daging di nadi KITA. Mengapa saya sebut dengan kata KITA? Saya sendiri miris melihat banyak anak-anak yang masih sekolah, sering tidak jujur dalam mengelola keuangan mereka sendiri. Terkadang yang paling parahnya, korupsi waktu, ujung-ujungnya korupsi duit. Apa sih yang menyebabkan korupsi meraja lela? Budaya INSTANT ini nggak bisa dipungkiri masih melekat di kalangan masyarakat, tua muda, kecil besar, kaya miskin, desa kota. Budaya INSTANT inilah bibit timbulnya budaya korupsi. Kembali ke redenominasi, korupsi tidak akan mempengaruhi keberhasilan redenominasi, pun juga redenominasi tak akan mengurangi korupsi. Atas dasar inilah, kenapa harus nunggu? Kalau redenominasi akan membawa outlook ekonomi lebih baik, kenapa enggak?
Nggak percaya ekonomi negara kita nggak stabil dalam jangka panjang, inflasi masih meraja lela! 10 tahun lebih kita mengalami masa reformasi. Negara kita terkena imbas paling parah diantara negara-negara se Asia Tenggara kala itu. Perlahan ekonomi bangkit, korupsi-korupsi mulai terbuka kasusnya, dan jatuh bangun ekonom Indonesia berusaha mengangkat "nilai jual" Indonesia di mata Internasional. Dan yang mengejutkan adalah, beberapa tahun terakhir, banyak negara memuji Indonesia karena negara ini memiliki ekonomi paling stabil nomor 2 di dunia setelah China ditengah tekanan krisis ekonomi di Eropa dan AS. Kalau mau tau lagi, dibanding negara-negara Asia Tenggara, pertumbuhan ekonomi negara kita stabil di kisaran 6% dimana Singapura yang lebih maju ternyata lesu di kisaran 3%, dan Malaysia pun juga mengalami kondisi sama. Inflasi saya lihat di situs resmi BI, hanya di 2005-2006 mencapai diatas 15%, dan 2008 mencapai diatas 11%. Selebihnya rata-rata stabil di kisaran antara 3%-5%. Tak ada yang perlu dikhawatirkan dari tingkat inflasi ini. Apalagi optimisme saya ini didukung dengan adanya Jokowi-Ahok, tentunya akan membuat Jakarta semakin "nyaman" ditempati bagi investor asing, dan pengaruh juga terhadap iklim investasi di Indonesia.
Sudah sepatutnya kita tolak redenominasi, karena negara masih carut-marut, nggak jelas, permainan UU disana-sini, dan korupsi merajalela! Indonesia tidak siap redenominasi! Huffft.... saya merasa bahwa terlalu banyak energi negatif yang dihembuskan media, dihembuskan masyarakat yang apatis thd pemerintah, tolak ini tolak itu, permainan ini permainan itu. Indonesia tak seburuk itu, sama halnya dengan anggota DPR kita, juga tak seburuk itu. Masih ada anggota DPR yang peduli, masih ada pemerintah yang peduli, dan sepatutnya kita dukung dengan energi positif. Seperti kata Marzuki Alie kepada anggota DPR yang mengeluh padanya, "kalo sampeyan yang masih bagus-bagus keluar, lha DPR apa nggak isinya preman dan garong semua?". Dan selama kita apatis dan menolak ini dan itu, energi negatif akan tetap menempel di negara kita, kapan lagi kita akan berjaya? Debat kusir yang nggak jelas, konsep ini itu, saling menang sendiri, lama-lama malah mirip PSSI dan KPSI yang gak selesai-selesai. Saya senang dengan kisah Ahok yang jengkel dikibulin pemerintah ketika beliau masih berbisnis di Belitung. Bukan caci maki dan demo atau malah nyogok pemerintah disana, Ahok justru masuk ke dunia politik untuk membenarkan yang keliru. Daripada hanya menebar energi negatif untuk melawan energi negatif, beranikah kita mendeklarasikan diri sebagai punggawa politik dan "bersih-bersih dari dalam"? Beranikah kita menjadi Satria Piningit bagi negara kita? Sekali lagi, kita masih saja berkoar-koar, apa yang negara bisa berikan kepada rakyatnya? Tetapi tak sekalipun kita memberikan sumbangsih kepada negara kita? Saya pengen Indonesia punya orang seperti Ahok dan Jokowi, yang bekerja demi negara tanpa mengeluh sekalipun bahwa pekerjaannya ini berat. Tetapi dengan semangat positif untuk memperbaiki sendi-sendi bangsa yang sudah rusak ditebas habis oleh korupsi.
Redenominasi sudah dipikirkan jauh sebelum wacana ini mengembang di masyarakat. Bank Indonesia sudah menghitung dampak positif dan negatifnya redenominasi, apa efeknya, bahkan "mitigasi bencana" jika redenominasi ini diluar ekspektasi, rencana apa yang akan diambil jika gagal. Oleh karena itu, sebagai anak bangsa, mari kita berikan sumbangsih terbaik kita mendukung redenominasi ini, bergandengan tangan, jelaskan kepada yang kurang tahu tentang redenominasi. Saya yakin redenominasi akan berhasil dan sukses kalau kita sebagai anak-anak bangsa, tua muda, kaya miskin, saling mensosialisasikan redenominasi, baik buruknya, perbedaannya dengan sanering, apa dampaknya, dan bagaimana menyikapinya.