"Hmm, aku keluar kota, Fan... Mau coba-coba kedokteran..."
"Berarti kita pisah dong! Wah syukurlah...." aku memelankan suaraku.
"Kok syukur?"
"Iya, kan bisa bebas, nggak ada yang suka ribut-ribut ngajak jalan sama-sama kalo pulang sekolah. Hahaha," aku mencoba berkelakar, lalu tertawa. Kulihat wajahnya masam. Lalu kami diam, sedikit lama.
"Mungkin akan susah kudapati orang sepertimu, Irfan..." suaranya hampir tak terdengar. Pelan sekali. Dan aku mendengarnya samar. Kulirik sekilas wajahnya, lagi-lagi senyum tipis.
Kami diam lagi. Sibuk dengan pikiran masing-masing. Aku tak tahu apa yang dia pikirkan.
Mungkin aku suka pada Arin? Tidak. Kami berkawan sejak masih ingusan. Dia cantik, manis. Tapi sebaiknya aku tak merusak persahabatan kami dengan mencoba main cinta-cintaan. Meskipun kadang aku selalu berpikir, betapa beruntung lelaki yang mendapatkan hati Arin. Dia cerdas, berakhlak baik, menjaga diri dan cantik pula. Hus! Apa yang kupikirkan? Konyol.
Satu setengah jam kemudian kuantar Arin pulang setelah urusan di toko buku selesai. Rumahku dan rumahnya tak terlalu jauh, hanya beberapa ratus meter, kami satu kompleks.
Kami dua anak muda yang tak pernah tahu bagaimana takdir bekerja. Usia kami sudah senja di sekolah menengah. Tinggal beberapa bulan lagi kami menjalani UN, lulus dan berpisah, mungkin saja selamanya, tak akan bertemu lagi. Mungkin saja.
Ketika sampai di rumah aku bergegas shalat Ashar, sudah hampir jam 5. Begitu nyaman rasanya menikmati hening dalam shalat setelah seharian berpanas-panasan dan menguras tenaga serta pikiran. Saatnya relaksasi dengan tadabbur sebentar. Aku menghempaskan badan di atas kasur. Menyalakan kipas dan mencoba tidur. Sekelebat wajah muncul, tanpa jilbab. Wajah Arin. Lalu mataku meredup dan beberapa detik kemudian aku jatuh terlelap...
(bersambung)