Akibatnya, mereka merasa kesulitan untuk memahami serta menikmati pertunjukan yang mereka saksikan, membuat teater terlihat asing dan tidak akrab.
Persepsi mengenai teater juga menjadi faktor yang penting. Banyak generasi muda yang melihat teater tradisional sebagai suatu bentuk seni yang kuno atau elit, yang hanya diperuntukkan bagi kalangan tertentu.
Stigma ini sering kali diimbangi dengan pandangan bahwa teater adalah sesuatu yang "serius" dan "berat," tidak sejalan dengan gaya hidup mereka yang lebih dinamis dan interaktif.
Mereka lebih menyukai hiburan yang memberikan pengalaman yang lebih segar dan tidak membebani, seperti film action, komedi, atau konten viral di media sosial.
Kurangnya promosi dan penyediaan akses yang meluas juga menjadi masalah yang signifikan. Banyak teater tradisional yang tidak menerapkan strategi pemasaran yang efektif untuk menjangkau generasi muda.
Mereka seringkali kurang aktif di media sosial, yang merupakan platform utama bagi generasi saat ini. Tanpa informasi yang cukup mengenai pertunjukan, jadwal, atau bahkan pengalaman menarik di dalamnya, generasi muda sulit untuk tergerak untuk menghadiri acara teater.
Di balik tantangan yang dihadapi untuk era digital ini, kesempatan untuk menyambungkan generasi muda atau gen z dengan teater tradisional masih terbuka lebar.
Dengan upaya kolaboratif antara seniman, pendidik, dan organisasi budaya, kita dapat membangun kembali ketertarikan generasi muda terhadap teater.
Diperlukan pendekatan yang lebih kreatif dan inklusif agar seni pertunjukan ini tidak hanya dilihat sebagai warisan budaya, tetapi juga relevan dengan kehidupan dan pengalaman sehari-hari.
 Oleh karena itu, penting bagi kita semua untuk berinvestasi dalam seni pertunjukan demi kedatangan generasi mendatang yang lebih mencintai dan menghargai warisan budaya yang kaya ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H