Mohon tunggu...
Himawan Pradipta
Himawan Pradipta Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Copywriter

Teknisi bahasa di perusahaan konsultasi teknologi di Jakarta Barat. Suka membaca, nonton film, dan berenang.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

"Telanjang, Yuk!": Alasanku Berhenti Main Instagram

12 Mei 2017   18:25 Diperbarui: 27 Agustus 2017   23:45 5777
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mengerikan, bukan?

Itulah alasan aku tak ingin berikan alasan panjang lebar padamu, kawan. Karena aku ragu kaupun akan mendengarnya. Maka biarkan aku mengoceh sendirian di sini. Aku sayang dengan semua teman-temanku yang "masih" berkutat dengan media sosial dan berharap pula sayang dengan pilihanku sendiri yang "sudah" meninggalkannya. Aku sedih melihat temanku yang berkata nyinyir di statusnya hanya untuk menjatuhkan atau mengejek temannya sendiri secara halus. Sempat dengan kata-kata yang lebih kasar dari nama situs telkomsel yang diretas baru-baru ini, atau bahkan dengan kalimat-kalimat halus yang menenangkan tapi membakar diam-diam. Aku sedih melihat mereka merasa "dibenarkan" dengan jumlah like, share, atau komentar yang mereka dapatkan, terlepas dari apa itu konten statusnya.

Aku sedih melihat orang yang marah di media sosial karena kritiknya terhadap sesuatu menjadi "benar" karena orang-orang lain juga ikutan marah. Aku sedih melihat mereka membenci sesuatu karena hal itu tidak sejalan dengan jalur pikir mereka. Aku makin sedih melihat teman-temanku sendiri merendahkan kawan lamanya yang tak lagi berhubungan dengannya, melabelinya dengan istilah-istilah alien yang menyakitkan, dan kadang menggunakan bahasa asing hanya untuk menyamarkan kemarahan atau mengangkat martabat sendiri.

Aku sedih karena mereka merasa benar, saat orang lain dalam orbit "sosial"nya juga membenarkan.

Sebagai penutup, seorang guru sempat berkata padaku: "menulis itu seperti menelanjangi diri." Dan menulis di sana aku artikan tidak hanya secara harfiyah tetapi juga kiasan (memasang foto, menampilkan emoji, mengunggah video, dan semacamnya). Dan makanya menulis itu sulit, katanya lagi. Semakin banyak hal-hal yang dituangkan dalam kata-kata, semakin lucutlah pakaian yang sedang dikenakan. Semakin detil penggambaran yang dipampang, semakin tanggal benang-benang yang sudah rapi terajut. Semakin banyak hal-hal yang kita sampaikan, semakin terlihat pula sisi diri kita dan orang macam apa kita sebenarnya.

Kalau memang telanjang di "media sosial" lebih menyenangkan bagi mereka, maka izinkan aku telanjang di dunia nyataku sendiri. Izinkan aku bernapas di luar kepala, beranak-pinak di sana, dan mengajakmu melakukan hal yang sama.[]

(Juga dipublikasikan di blog pribadinya https://radipt.wordpress.com/2017/05/04/telanjang/)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun