Sementara itu, cahaya adalah lambang kebebasan, keterbukaan, dan keberanian. Seperti yang dikatakan Martin pada Sophie, "Hal paling berani yang pernah kita lakukan adalah menghadapi rasa takut kita sendiri." Masalahnya adalah dengan apa kita akan menghadapinya? Apakah dengan "menyalakan lampu", yaitu menanamkan kekuatan dalam qalbu bahwa ada entitas yang jauh lebih besar dari diri ini, atau, seperti yang Sophie lakukan di akhir film, menembak kepala sendiri karena tak tahu dan tak mau tahu cara menghadapi rasa takutnya sendiri?
Dari tulisan ini, saya ingin mengajak teman-teman pembaca untuk tidak lagi melihat film horor, atau mungkin film pada umumnya, sebelah mata saja. Simbol, perumpamaan (imagery), dan kode-kode visual lain yang muncul di dalamnya adalah strategi untuk membangun sensitivitas kita terhadap hal-hal yang sering kita abaikan.
Dari National Institue of Mental Health, hampir 40 juta orang di Amerika Serikat mengalami "mental ilness" yang berkisar dari umur 18 ke atas setiap tahunnya. Kesibukan dunia yang begitu mematahkan leher jaman ini, dengan demikian, terkadang membuat kita abai dengan hal-hal lain yang tak bisa kita lihat dengan mata telanjang atau dengar dengan telinga terbuka, yang sebetulnya membawa kita kembali pada diri kita sebagai seorang manusia, yang membutuhkan kekuatan jauh lebih besar di luar tubuh ini. Film, dengan begitu, menjadi salah satu penyambung antara kita dengan entitas itu, dan Lights Out, bisa dibilang, telah berhasil melakukannya.
- juga dipublikasikan di blog pribadi saya di sini.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H