“Yaaah, masih mungkin. Gak janji deh. He he,” lanjutnya berdiri. Mendengarnya bilang begitu, retakan kecil menggeliat di tulang rusuk. Aku tak tau lagi harus membalas apa, jadi kusenyumi saja. Setelah melambai, ia kembali ke tempatnya. Syukurlah tak sedikitpun ia singgung tentang kencan. Bisa kudengar hembus napasku sendiri.
Ia berbalik, “eh, berarti minggu depan kita ga jadi dong?” Sial!
“Duh, maaf ya, Kar. Aku mesti ngintit lagi,” semburat kecewa merambat hingga ke ubun-ubunku, “mungkin besoknya?”
“Besoknya kan aku yang harus ngintit. Lupa kamu?” Aduh!
Jam pelajaran kedua habis, begitupun harapanku berkencan dengan Karis.
Bel istirahat berbunyi. Aku segera bergegas ke kelas Jim sebelum orang lain mencuri kesempatanku berduaan dengannya. Itu dia. Duduk sendiri membaca Al-Quran. Syukurlah, tersisa tiga orang saja di sana. Dalam gerakan cepat, bangku sebelahnya segera kuisi, dan semerbak wangi parfum mahal menggantung di udara.
“Jim,” mulaiku setelah saling lempar basa-basi, “kamu kenapa?” kuurungkan dulu pertanyaan awalku.
“Maksudmu?” jawabnya tenang.
“Kamu ndak tidur ya?”
Tak ada jawaban. Mendadak aku jadi tak enak hati.