Mohon tunggu...
Himawan Pradipta
Himawan Pradipta Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Copywriter

Teknisi bahasa di perusahaan konsultasi teknologi di Jakarta Barat. Suka membaca, nonton film, dan berenang.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bom

16 Januari 2016   22:11 Diperbarui: 16 Januari 2016   22:27 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cerpen Himawan Pradipta

[caption caption=""Baby Bomb" oleh Guan Yang (sumber: deviantart)"][/caption]

Kau tak pernah tau, bagaimana rasanya jadi aku. Punya anak satu rasanya tak pernah cukup. Di penghujung tahun kelima, beberapa kali sudah kubulatkan tekad untuk bicara empat mata dengan suamiku, bilang padanya bahwa aku ingin anak lagi. Satu saja. Peduli amat laki atau perempuan. Yang jelas, aku sadar Afis butuh teman main. Ia sudah mulai paham bahwa aku jarang di rumah, dan suamiku terlalu acuh untuk urusan popok, bubur bayi, atau kereta dorong. Sejak Afis lahir, sofa ruang tamu jadi singgasananya dan remot televisi teman mainnya. Lalu Mbak Lastri kemudian masuk ke rumah kami. Sudah cukup lama aku menunggu, dan aku tak boleh terluntang-lantung oleh arus air.

Sepulang dari kantor, seperti malam-malam sebelumnya, ia sudah tidur duluan. Lepas salat isya, ia enggan lagi berkumpul bersama para bapak sebelah di gubuk depan rumah, mengobrol hingga larut malam. Paling hanya tukar sapa di masjid. Itu juga kalau bertemu. Sering aku celingukan dari tempat pembatas shalat, mematainya. Sehabis salam, ia hampir langsung cepat-cepat keluar, seolah tak mau dilihat siapa-siapa, bahkan menungguku saja tidak! Makannya juga jadi tak teratur. Padahal, tiap hari kubuatkan menu kesukaannya: dendeng sapi, ikan teri, sayur kangkung, dan sambel ulek. Kuat kuberniat melakukan konfrontasi, hanya saja terlalu lelah. Lelah karena seolah aku dan dia sudah terbiasa dengan sikap anehnya selama ini, dan karena tujuan aku ingin bicara dengannya pertama kali adalah untuk bicara masalah anak kedua. Tapi yasudah, mungkin besok adalah waktunya. Kuperiksa kamar Afis, ia sudah terlelap dalam pelukan Mbak Lastri. Cepat saja, kukembali ke kamar dan, tanpa menanggalkan pakaian, menutup mata hati-hati.

***

Malam itu, kudapati tubuh suamiku terburai. Darah di mana-mana, mendominasi ruangan putih yang berkilau dari tiap pinggirnya. Kusapu pandangan, mencari wajah laki-laki itu. Mana dia? Apa yang terjadi? Siapa yang melakukan ini? Kata-kata itu mencekikku. Tak tahan dengan aromanya, kututupi hidung sambil menundukkan wajah. Alamak! Awalnya maksudku begitu adalah mengalihkan pandangan, tapi mataku malah menangkap sepasang tangan terpajang di depan kaki. Menjijikkan! Kucoba berteriak tapi tak bisa. Kuingin menangis tapi terlalu kebas. Jadi, kuambil kulangkah demi langkah, dengan telapak tangan ditempel di lubang hidung. Perlahan kulalui anggota tubuhnya yang lain: usus, paru-paru, ulu hati, dan urat arteri, sambil bergidik. Syukurlah, di ujung jalan, sebongkah wajah, yang masih tersambung dengan tubuhnya, terlihat jelas dari tempatku berdiri. Saat kudekati, wajah itu hitam, seperti baru terbakar, tak ada kehidupan. Di sebelahnya, tergeletak objek hitam bundar yang ujungnya menancap satu sumbu bersulut api kecil. Tidak!

Percikan kuning itu menjalar pelan, menelan setiap lekukan sumbu, hingga ke titik nadirnya. Suara desisan pelan hanyalah satu-satunya teman dalam kesepian, dan ruangan mendadak jadi lebih panas. Aku mulai gerah. Tepat sebelum api meledakkan semesta, dalam putaran luar biasa cepat, kutangkap imaji seorang bayi kecil yang lucu, telanjang dalam popok putihnya, menggantikan benda itu, lalu berganti jadi benda hitam, lalu jadi bayi lagi—sebelum semuanya sirna.

***

“ANJANIIII!” sebuah suara ikut membangunkanku. Kulihat arloji di meja: 06.25. Astaghfirullah! Aku belum salat subuh!

“Mbak Lastri!” dan lima detik setelahnya seorang perempuan berwajah kemayu melengos masuk ke kamar bersama sapu dalam genggamannya. “Iya, Bu?” was-wasnya.

“Tolong liatin Bapak. Ibu mau subuh dulu.”

Belum sampai aku turun dari ranjang, dan Mbak Lastri berjingkat ke arah kami, lelaki di atas ranjang berteriak: “Jangan dekat-dekat!”

Asistenku tiba-tiba membeku, sambil menekuk alis dalam-dalam. Aku tak peduli dan bergegas ke kamar mandi untuk mengambil air suci.

“Ni! Ke mana kamu?” kata suamiku lantang, membuat langkahku ragu. Ia lantas rogoh bagian bawah ranjang hingga tangannya sekarang menggenggam plastik besar berwarna hitam. Dengan gerakan cepat, ia bungkus guling yang dipeluknya semalaman, teman tidurnya, dan menjulurkannya padaku tanpa membuka mata, “tolong buang!”

Aku dan Mbak Lastri saling bertatapan satu-dua detik, mencerna apa yang sedang terjadi.

“Kenapa, Mas?” kataku pada akhirnya.

Ia jauhkan bungkus itu dari tubuhnya sebelum mendongak: “Ini bom!”

Sebelum ada yang sempat membuka mulut, ia tetiba hengkang dari ranjang dan melengos keluar. Kami dari belakang pun menyusulnya terengah-engah. Ia kebingungan di tengah sana, mencari tanah lapang, untuk jadi korban ledakan pertama dari isi bungkusnya. Sungguh malu saat kudapati sejumlah tetangga sudah terjaga, namun hanya mampu mengintip apa yang terjadi dari balik jeruji pagar masing-masing, tak cukup berani untuk menampakkan diri. Di tengah-tengah halaman, inilah kami bertiga—bintang Kompleks Pondok Aren pagi itu. Dalam hati, kusiapkan diri, seminggu atau sebulan ke depan (atau entah sampai kapan), orang-orang akan membicarakan insiden ini. Mungkin juga, kasus terburuknya, media akan buat berita yang tidak-tidak. Tetanggaku yang paling dekat, Nyonya Anastasia, bahkan sudah melontarkan umpatan yang sungguh tak enak: “Woy Bu Anjani! Nape tuh suaminya? Dipasung mulu kali, begitu dah jadinya!”

Aku tak ingin membela, tapi jelas kuakui, dampratan perempuan yang sudah bau tanah itu ada benarnya juga. Jam tujuh pagi, tetangga lain akan segera keluar untuk pergi bekerja, membersihkan halaman, mengantar anak, dan urusan lain. Maka, sebelum itu terjadi, aku harus hentikan ini semua. Sejak bersamaku, Mbak Lastri hanya bisa bergetar, menjadikan tubuhku tamengnya, sambil sesekali berbisik, “Bu, bapak kenopo, Bu?” dalam logat Tegalnya yang membuat suasana jadi makin runyam, jadi kusuruhnya ber-istighfar.

Untunglah, Pak Nandang, pemimpin di daerah itu, tinggal dua rumah saja dari rumah kami. Dalam busana serba minim, wajah dan rambut baru-bangun-tidurnya, ia menghampiri suamiku tanpa tedeng aling-aling.

“Pak Gambir, tenang!” mencoba menghalau. Bukannya mendengarkan, laki-laki yang diajak bicara malah jadi liar.

“Heh, jangan dekat-dekat!” semprotnya memukul mundur. “Bapak mau mati?” digoyangkannya lagi bungkusan hitam itu di ruang kosong di depan kepalanya.

Matahari sudah naik, dan aku belum juga salat subuh. Pada saat yang sama, aku juga harus siap-siap berangkat ke kantor. Dan ini sudah lewat lima belas menit. Sebentar lagi Afis akan bangun, dan aku belum masak apapun untuk sarapannya. Para tetangga ada yang tetap pada tempatnya. Sebagian yang lain langsung naik ke kendaraannya dan melengos pergi dengan tatapan takut ke arah rumah kami. Belum sampai kuberpikir lebih jauh, Afis muncul dari pintu depan. Mau tak mau, Mbak Lastri langsung membawanya masuk, lalu tak keluar lagi. Dan ketika Gambir menyadari hal itu, ia melesat pergi ke arah lapangan utama.

Jelas saja. Tak ada yang pernah datang ke sini. Masyarakat hanya datang kalau lomba agustusan tiba, atau saat pemilihan umum. Lebihnya, segerombolan ABG kampung biasa bermain bola hingga tak tau waktu. Tapi pagi itu, benar saja, kami jadi bintang dalam sekejap! Seperti magnet, orang-orang yang selama ini kami kenal, termasuk yang belum pergi kerja, para ahli masjid, guru PAUD dekat rumah, dan anak-anak dalam busana merah-putih, semua muncul, tak mau melewatkan momen berharga ini.

“Anjani!” mulai Gambir. “Kamu pulang saja! Di sini berbahaya!”

“Mas, kamu kenapa?” kataku, menjaga volume. “Sudah yuk, pulang! Bikin malu saja!” sambil menyodorkan tangan.

“Din,” intonasinya berubah; maka kupasang telinga baik-baik. “Aku—aku minta maaf.”

Sudah kuduga! Apa maksudnya? Apa dia sengaja membawaku ke tempat ini hanya untuk bersandiwara? Duh, aku benar-benar tak punya waktu! Tapi biarlah. Orang-orang sudah tau, bahwa ia sedang tak sehat. Jadi kurasa, akan lebih bijak kalau memanfaatkan momentum ini untuk membuktikan pada mereka semua bahwa suamiku baik-baik saja.

“Mas, kamu ngomong apa?”

“Kamu jangan sedih, Allah sudah kasih Afis—”

Mendengarnya barusan, entah mengapa hatiku langsung panas. Kepalaku penuh. Mungkin sebentar lagi memang akan terjadi karena sinar matahari terasa amat terik.

“Mas, gak di sini Mas. Tolong!” Aku hampir berlutut.

“Anjani, biarlah ini jadi momen kita. Sebelum semuanya terlambat, aku mesti bicara yang sejujurnya.”

Aku makin tak tahan dengan omong kosong yang dibuatnya. Dasar fanboy sinetron! Ingin kuumpat dia, tapi aku tak mau dinilai yang bukan-bukan oleh orang-orang yang sudah setia menontoni kami sejak dua puluh menit yang lalu dari jauh. Dari kejauhan, seorang petugas bertubuh tinggi sedang melaju ke arah kami. Mataku menangkap sesuatu dalam tangannya: kecil, hitam, dan bermoncong. Dalam waktu singkat, Pak Nandang dan sebagian tetangga di RT-ku, datang bergerombol, mengelilingi kami. Kini aku dan Gambir terkepung. Bu Nandang mencoba mengambil bungkusan hitam itu dari arah belakang Gambir, tapi Gambir tak cukup lengah dan tak sengaja menerjang perempuan malang itu. Bisa kudengar satu-dua suara istighfar, tapi ada juga yang berceletuk: “Ini bakal seru!” Maka kutatap mata Gambir dalam-dalam.

“PAK GAMBIR!” Petugas Jentera akhirnya datang. “Anda bisa saya tangkap karena telah membuat onar seisi kampung!”

“Kalau kamu mau mati, silakan saja, nih” tangannya menjulur.

Pistol hitam itu tak sedetikpun lepas dari tatapan kami semua, dan jelas, tak lepas dari tatapan Gambir. Meskipun ia terlihat berani, aku tau, dalam jiwanya, saat ini ia takut setengah mati. Pori-poriku membesar, dan air asin pelan-pelan menjalar keluar dari sana. Satu demi satu, sebelum pakaianku banjir peluh. Petugas Jentera tak mau tau: kebenaran mesti ditegakkan. Lagipula siapa yang rela keselamatan dirinya dimainkan seperti ini? Demi Tuhan yang Maha Melihat, aku yakin betul apa yang terdapat dalam bungkusan hitam itu adalah guling tidurnya, yang juga kadang kupakai kalau-kalau gulingku jatuh dari kasur, dan sebagai gantinya, Gambir akan memelukku dari belakang. Tapi, melihat situasi ini, dan menyadari betapa tak masuk akalnya semua ini, aku jadi bertanya-tanya sendiri: apa sebenarnya isi bungkusan itu?

“Pak Gambir, saya ingatkan sekali lagi. Jangan buat yang macam-macam!”

Bu Anastasia tampak di barisan paling depan lingkaran itu, dan bisa kudengar suaranya memaki: “Tangkep aja udeh Pak! Orang bikin onar begitu, bikin panik aja!”

Aku tak tau pasti, petugas Jentera pasti bingung sejadi-jadinya. Ia tak punya pilihan. Orang-orang sudah terlanjur marah. Beberapa bahkan jadi beringas. Akhirnya, setelah didamprat “pengecut”, “tak becus!” dan kata-kata tak pantas lainnya, Petugas Jentera memisahkan bibir: “Pak Gambir,” jarinya siaga menekan pelatuk, “ini peringatan terakhir. Dalam hitungan tiga, kalau bungkusan itu gak Bapak serahkan—”

Tiba-tiba, dalam gerakan cepat, sebuah objek melayang tinggi di udara. Seluruh kepala mendongak, mengikuti arah ke mana bungkusan itu pergi. Mereka akhirnya menggeriap saat bunyi “BOOOOOM” dan “DOR” sebanyak tiga kali terdengar di seluruh penjuru langit. Kali itu, yang bisa kutangkap adalah siluet manusia berbaur dengan silau cahaya dari balik tubuhnya. Dalam desing, terdengar suara bergemuruh, “Bu—ibu baik-baik?” dan pada saat itu barulah kusadar aku tergeletak di tanah kosong itu, bersebelahan dengan tubuh suamiku yang tercabik tiga noda merah di dadanya. Bau darah menyegak masuk hingga saraf-saraf lubang hidungku, membuat siapa saja yang menciumnya hendak muntah.

Kini semua orang tau, apa yang ada di dalam bungkusan hitam itu. Dalam kerlipan cepat, bayi itu mucul lagi. Maka, seorangpun takkan pernah tau, bagaimana rasanya jadi aku.

 

JANUARI 2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun