[caption id="attachment_419738" align="aligncenter" width="576" caption="Butoh (nordicbutoh.dk)"][/caption]
"Tubuh adalah kekuatan inspirasi dan sumber eksplorasi."
Seorang pria berjenggot lebat dan berbusana seadanya sibuk menggerak-gerakkan kakinya ketika saya berjingkat masuk ke Aula PSBJ Fakultas Ilmu Budaya Unpad. Di tengah aula, ia tampak bimbang mengambil langkah, padahal ruang kosong di sekitarnya masih bisa bebas digunakan untuk bergerak. Seperti membaca batas-batas imajiner di lantai yang dipijaknya, ia mulai menggerakkan tangan kanannya di atas kepala, membuat pusaran kecil di sana. Bersama empat orang sukarelawan dari peserta "Workshop Performance Art bersama Toni Broer" yang dihelat jurusan Sastra Inggris Unpad, ia mulai memberikan instruksi untuk berjalan kepada peserta. Aneh bin ajaib. Pemandangan yang saya saksikan betul-betul tak disangka-sangka: mereka berjalan dengan tumit! Beberapa peserta tampak kesulitan melakukannya. Saya dan penonton lainnya hanya bisa tertawa dari sisi aula.
Begitulah secuil pemandangan yang saya saksikan hari Kamis, 21 Mei 2015 lalu. Acara yang diselenggarakan selama dua hari berturut-turut tersebut dipimpin oleh Tony Broer, seorang pelaku teater yang sedang menempuh doktoralnya di STSI Yogyakarta. Ketertarikan saya untuk mengikuti workshop ini timbul ketika melihat sejumlah prestasi yang telah dicapai oleh Pak Toni. Berbagai penghargaan internasional telah didapatkannya tak hanya dalam bidang teater tetapi juga performance art. Satu yang paling terkenal adalah Teater Butoh. Tentu saja, saya pun semakin tertarik untuk mengikuti workshop ini.
[caption id="" align="aligncenter" width="200" caption="Toni Broer (antarafoto.com)"]
Dengan gaya bicaranya yang informal dan jenaka, Pak Toni mulai menjelaskan apa yang sebetulnya bisa dilakukan tubuh kita tapi tidak kita lakukan. Misalnya, ketika berjalan. Ia mempertanyakan mengapa orang-orang berjalan sesuai dengan cara mereka berjalan pada umumnya. Mengapa tidak sebaliknya? Mengapa kita berjalan dengan menggerakkan kaki kanan lalu kaki kiri atau sebaliknya secara bergantian? Selain itu, ia juga menegaskan bahwa kita cenderung melakukan hal-hal kecil sesuai dengan konstruk sosial kita, dan saat kita keluar dari konstruk itu, yang terjadi adalah penyimpangan. Nah, "performance art berfokus pada penyimpangan itu," katanya.
Satu contoh absurditas yang paling kentara saat workshop adalah momen ketika ada seorang mahasiswa yang ingin bertanya. Ia pun berdiri dan mulai berbicara dari tempatnya duduk, yaitu di sisi kiri aula. Namun, belum sampai kalimatnya selesai, Pak Toni menyuruhnya berdiri di atas meja yang dari tadi sudah disediakan di tengah aula. Setelah ia berdiri di sana dan selesai bertanya, Pak Toni tak menyuruhnya kembali ke tempatnya semula, tetapi menyuruhnya "tidur" di meja tempat ia berdiri. Walhasil, di atas meja yang hanya bisa digunakan untuk berdiri satu orang, mahasiswa tersebut harus memosisikan dirinya sedemikian rupa agar tubuhnya bisa muat dengan ukuran meja tersebut.
Inilah, Pak Toni melanjutkan yang dimaksud dengan menerabas batas normal yang sudah terbangun secara mapan dalam benak kita. Selama ini, sadar atau tidak, "Banyak ruang kosong yang tak pernah kita hinggapi." Pertanyaannya mungkin bukan pernah atau tidak, melainkan mau atau tidak. "Otak kita (hawa nafsu) cenderung menginginkan hal-hal yang enak terus," ujarnya, "tapi kita tak pernah mendengarkan tubuh kita." Itulah mengapa ketika kita ingin tidur, kita tanpa berpikir pasti langsung bergerak menuju kasur atau sofa atau sesuatu yang nyaman dan empuk. Padahal, saat itu kita sedang dibohongi oleh diri kita sendiri untuk patuh pada konstruk sosial yang berlaku. Toh, tak ada larangan untuk merebahkan diri di lantai atau di kolong meja atau kolong kursi atau tempat-tempat lain yang tak pernah terpikirkan oleh kita untuk tidur. Melakukan hal itu mungkin akan dianggap sinting oleh kebanyakan orang, tetapi dengan begitu, "kita jadi lebih mengenal tubuh kita sendiri, dan dengan begitu, kita bisa mengenal tubuh orang lain," tambahnya.
Hari kedua workshop dimulai dengan penampilan performance art dari tujuh peserta volunteer workshop di hari sebelumnya. Mereka mulai melakukan aksinya sejak pukul 1 siang hari Jumat di pelataran gedung C Fakultas Ilmu Budaya Unpad. Masing-masing dari mereka tampak sibuk dengan objeknya yang sudah mereka pilih. Ada yang berkutat di sebuah pohon besar, mengulat di kolong bangku, bermain-main dengan tiang, atau sekadar berdiri diam di satu titik. Awalnya beberapa mahasiswa hanya tampak mondar-mandir di sekitar area penampilan, namun lama-kelamaan, mereka mulai terpanggil dan setia menontoni "orang-orang gila" ini.
Tiga penampil yang paling saya nikmati adalah Armel, Syahan, dan Riyen. Sementara Armel terus mengetuk-ngetuk tiang di dekat lahan parkir, Syahan memeluk-memeluk pohon besar tak jauh dari bangku tempat biasa mahasiswa nongkrong, dan Riyen menggaruk-garuk bangku dengan sebongkah batu. Ketiganya melakukan itu selama hampir dua jam! Namun, yang unik adalah ketika saya sedang berdiri diam di suatu titik menonton Riyen, saya kaget ketika dia tiba-tiba bangkit dari tempatnya, melihat ke arah tubuh saya, dan mendekati saya pelan-pelan. Saya pun diam saja. Dengan entengnya, ia mengangkat tangan saya dan mulai menggaruk-garuknya dengan batu yang ia gunakan untuk menggaruk bangku. Merasa tidak nyaman, tentu saya mencoba menghindar, tapi usaha saya dihadangnya. Riyen bersikeras menarik jaket saya dan kali ini mulai menggaruk-garuk jaket saya, meninggalkan guratan debu halus berwarna putih di sekujurnya. Entah apa yang ia pikirkan saat itu, pikir saya. Wajahnya datar, dan ia tak bicara sama sekali. Yang dilakukannya hanya melihat tubuh saya, memperlakukannya seolah-olah ia adalah sebuah objek yang bisa "dieksplorasi."
Mendekati pukul tiga sore, tujuh pemain itu berhenti melakukan aksinya, dan Toni Broer memberikan instruksi agar kami semua berkumpul di tengah pelataran. Ia pun mulai membuka diskusinya dengan menyuruh kita memberikan komentar terhadap apa yang baru saja kami saksikan. Pengalaman menonton orang-orang ini mengeksplorasi objek di sekitarnya tentu saja merupakan sebuah ilmu baru yang langka. Saya pun tepekur. Masihkah selama ini saya merasa biasa-biasa saja saat menonton berita pembunuhan di TV? Atau masihkah selama ini saya merasa acuh terhadap fenomena orang-orang Afghanistan yang bahkan dalam tidurnya saja harus waspada terhadap bom tiba-tiba?
"Gimana bisa lo mau peduli ama orang? Lo liat orang lain aja kagak peduli! Lo gak merasa kalo tubuh lo itu tubuh dia juga. Yang lo lakuin kan pengennya diliat indah mulu ama orang. Lu gak siap dibilang jelek sama orang, tau ga lo. Lu harus inget kalo tubuh kita semua ini sama sebetulnya. Mau lu orang Eropa, Asia, Afrika, tubuh lo universal. Permasalahannya sekarang tinggal lo nanya..."
Lo mau peduli gak sama tubuh lo sendiri?
Sepulang dari workshop, saya tepekur sepanjang malam, dan, semoga saja, entah sampai kapan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H