Mohon tunggu...
Himawan Pradipta
Himawan Pradipta Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Copywriter

Teknisi bahasa di perusahaan konsultasi teknologi di Jakarta Barat. Suka membaca, nonton film, dan berenang.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Narasi Si Mpok

31 Juli 2013   17:51 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:47 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Namanya Mpok, begitu ia biasa dipanggil. Ia sudah bekerja sebagai pembantu rumah tangga di rumahku selama hampir 11 tahun. Sungguh tak terasa. Seolah-olah ia hadir baru kemarin. Terasa sekilas saja, lalu uban-uban mulai menggelayut di kepalanya. Kerutan garis wajahnya pun sudah mulai menegaskan rautnya yang menua. Jika boleh mengira-ngira, umurnya sekitar 35 tahunan lah. Wajahnya teduh, dan mirip salah seorang tokoh terkemuka yang pernah meramaikan ranah politik negeri ini, Rieke Dyah Pitaloka. Hmm... Bisa dibayangkan bagaimana cantiknya he he. Hanya satu yang membuatnya tak serupa: tahi lalatnya yang bertengger di bawah dagunya. Dan...ia tampak sedikit lebih lusuh, sedikit lebih lelah, dan...sedikit lebih kurang menarik dibandingkan si Rieke itu.

Di rumahku, ia tidak hanya bekerja--menyapu, mengepel, mencuci pakaian, dan hal-hal lainnya, tetapi juga mengasuhku. Ia datang ke rumah hanya pagi hari, dari pukul 6.30 hingga menjelang pukul 9. Sementara Ibu pergi ke kantor dan tak ada yang mengurus keperluan rumah, ia hadir mewarnai hari-hariku yang sepi di rumah. Meskipun begitu, cintanya terhadap 7 orang (kalau aku tak keliru) anaknya tidak berkurang sedikitpun. Belakangan, ia dikabarkan melahirkan seorang anak laki-laki, yang aku lupa namanya. Sungguh tak bisa kubayangkan betapa pontang-panting ia harus menjalani hidupnya sekarang: bekerja di dua rumah sekaligus, tapi di saat yang bersamaan juga harus berfokus pada kebutuhan anak-anak serta suaminya, dan yang terpenting, kebutuhan untuk dirinya sendiri.

Sepuluh tahun yang lalu, aku belum mengenalnya sedekat sekarang. Ia belum berani membentakku jika aku terlalu lama berada di kamar mandi, atau membentakku ketika aku sulit disuruh untuk membereskan tempat tidurku, atau bahkan membentakku karena aku sering mengagetkannya diam-diam. Sekarang, kami sudah jauh lebih terbuka satu sama lain. Setiap kali ada waktu senggang, aku selalu menghampirinya ke ruang setrika. Sekadar saling menanyakan kabar atau justru ngobrol panjang lebar. Aku tak pernah merasa bosan berbicara dengannya. Ia selalu terlihat jujur, apa adanya, dan santun. Sebagai orang yang tidak seberuntung aku secara finansial, ia masih mampu untuk terus mempertahankan senyumnya ketika aku menyapanya. Mpok...

Terkadang, aku sedih melihat kedua saudaraku menertawakan atau mencemooh tingkahnya. Mengingat kemampuan pendengaran Mpok yang sudah menurun, membuat saudara-saudaraku memiliki bahan guyonan yang renyah. Ketidakmampuannya mendengar secara efektif membuatnya harus "membaca bibir" agar bisa memahami ucapan seseorang. Mau tidak mau, kami pun harus memperhatikan cara kami berujar agar antara kami dan dia tidak terjadi kesalahpahaman.

Pagi ini, ia bercerita tentang sesuatu yang membuatku terenyuh.

Beberapa hari sebelumnya, ia mengendap-ngendap menarikku, dan mengatakan, "Wan...Mpok pinjem uang," katanya. Aku menjawab, "berapa? untuk apa?"

"Lima puluh ribu aja.."

Ia terdiam sejenak. Pandangannya takut-takut, seolah-olah sedang mencari kata yang tepat untuk pertanyaanku yang kedua.

"Untuk bayar hutang..." ujarnya akhirnya, ragu.

Sangat disayangkan aku belum menarik uangku dari bank. Andai aku memiliki beberapa uang di dompet, pasti akan kuberikan uang dengan jumlah yang ia minta. Tapi tidak. Aku merasa sedikit bersalah melihat mimik wajahnya, beberapa saat setelah aku menolak permintaannya, yang terlihat agak murung. Ia pun pulang, meskipun begitu, dengan senyum berbinar di bibirnya...

...tapi tidak di matanya.

***

Keesokan harinya, sewaktu ia sedang menyetrika, aku pun menghampirinya. Ia akhirnya terpancing untuk bercerita panjang lebar tentang mengapa ia bisa terlilit hutang itu. Ya Allah...sungguh Maha Besar Kuasa-Nya. Ternyata ia memiliki sangat banyak masalah yang aku sendiri tak pernah membayangkan bahwa itu akan menimpa dirinya. Klimaksnya, ia sedang mengalami problema serius dengan salah seorang anaknya. Anaknya selalu melakukan hal-hal yang tidak senonoh dan bahkan kriminal jika tidak mendapatkan apa yang ia inginkan. Bahkan, pernah satu momen anaknya itu ingin membunuh Mpok! Naudzubillahi min dzaalik. Di mana imannya? Aku tersungut dan ingin menjerit dalam hati. Sungguh sudah kotor hatinya.

Sebelum pakaiannya habis untuk digilas dengan mesin panas itu, ia melanjutkan ceritanya dengan isak-isak lembut, menahan air matanya yang hendak tumpah. Betapa perih hatinya, katanya, untuk menyaksikan hidup selama bertahun-tahun berada dalam kondisi yang mendera seperti itu. Aku mencoba untuk tetap tenang mendengarkan ceritanya. Lalu, ia mengakhiri narasinya dengan bertanya kepadaku:

"Gimana ya, Wan?" sambil memasang wajah tertekan yang membegitu.

"Mpok," kataku, "serahkanlah segala sesuatunya sama Allah." I was trying not to sound cliche, but keep on going anyway. "Serahkan segala sesuatunya sama Yang Maha Memberi Masalah, karena dari-Nya juga lah masalah itu bisa diselesaikan."

"Tapi, Wan...mpok udah coba doa segala macem, tetep aja besoknya kelakuan dia gak berubah..."

"Itu cobaan, Pok. Sekarang, Mpok sedang berada dalam titik jenuh yang kondisinya amat genting. Kuncinya adalah dengan berdoa. Karena doa itu kunci setiap makhluk." kataku.

"Emang kenapa, Wan, kalo doa? Kalo gak doa emang kenapa?" tanyanya.

Aku spontan mengernyitkan kening. Kaget bukan kepalang mendengar responsnya, dan ber-istighfar dalam hati, lalu melanjutkan, "Lho! Pok, doa seorang ibu terhadap anaknya, dan doa seorang yang dizalimi itu tidak ada penghalangnya lho sama Allah."

"Tapi, Wan--"

"Mpok! Dengerin. Mau seberapa keras hidup Mpok. Terus aja berdoa. Jangan putus. Usaha yang keras dulu, serahkan ke Allah, lalu minta yang terbaik. Pasti Allah akan beri jalan keluarnya."

"O gitu ya, Wan?" sergahnya.

"Iyalah," nadaku tak sadar naik lebih tinggi, "coba Mpok sepulang dari sini, sholat duha deh. Itu kunci pembuka pintu-pintu rejeki."

"Wah, Wan. Mpok ga pernah sholat duha.... Mpok pernah sih, tapi udah lupa doa-doa sama bacaannya."

"Ya Allah. Nanti saya kasih buku pedoman doanya. Yang penting, doa dulu ya, Mpok. Dan jangan lupa, usaha. Lalu, serahkan dan minta yang terbaik. Mau nanti hasilnya itu gak sesuai sama apa yang Mpok minta, itu PASTI yang terbaik. Jalani itu. Hiduplah dengan itu. Insya Allah, Allah akan mengingat Mpok atas perjuangan Mpok."

"Oh, gitu ya, Wan..."

Ia pun pulang dengan senyum yang berbinar...

...kali ini di matanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun