SNMPTN (atau SMBPTN) sudah di depan mata. Teman-teman junior yang ingin melanjutkan studinya ke jenjang yang lebih tinggi tentu sudah tidak sabar menanti momen tahunan ini. Baik SMA, SMK, maupun Madrasah Ibtida'iyah (MI) pun dapat ikut serta. Tidak ada batasan. Namun demikian, sangat menyedihkan rasanya saat saya mengetahui bahwa mekanisme penilaian SNMPTN tahun 2013 agak 'melenceng'--jika tidak ingin mengatakan berbeda--dari sistem penilaian SNMPTN tahun 2012 lalu. Tahun ini, mekanismenya hanya mengambil murni dari nilai rapor saja. Wah. Kacau. Saya masih tidak habis pikir mengapa nilai-nilai rapor bisa dijadikan tolak ukur untuk masuk ke sebuah institusi pendidikan. Oh! Saya baru sadar. Ternyata rumornya, saat Ujian Nasional (UN) berlangsung, banyak oknum-oknum sekolah yang--entah sengaja atau tidak--memberikan 'bantuan' berupa bocoran kepada siswa-siswanya hanya demi menyejahterakan nama baik sekolah tersebut. Lho wong waktu saya UN saja (tahun 2012), semua muridnya diberikan bantuan dan tidak ada pihak berwenang yang angkat bicara kok?! Hayolo. Kenapa justru tahun ini malah dicekal? Seharusnya, orang-orang kita sudah paham bahwa tradisi "memberikan bantuan" di sekolah-sekolah tertentu, sudah digencarkan sejak entah berantah. Sekali lagi, saya menekankan kata 'tradisi'--turun-temurun. Subhanallah. Sungguh miris ya jika harus "dipaksa" melihat keadaan 'buta' seperti ini, bahwa negara kita tumbuh dan besar dengan kecurangan. Lebih parahnya lagi, tidak ada yang berani angkat bicara mengenai hal tersebut. Ini merupakan masalah basis dimana semua aspek masalah--ekonomi (korupsi), geografi (banjir), dan krisis-krisis lainnya--muncul di masa sekarang dan yang akan datang. Curang. Ck ck. Parah ya. Hanya untuk embel-embel mau menyejahterakan nama baik sebuah sekolah kok harus bohong dan curang. Saya sedih, sekaligus menertawakan kebodohan saya sendiri dalam hati. Satu aspek masalah tersebut seolah-olah--selain menjadi tradisi tadi--telah berubah menjadi lingkaran setan yang tak kunjung putus. Yang setiap saat selalu berubah dan bertambah besar. Mengapa saya tidak setuju SNMPTN tahun ini hanya mengacu pada nilai rapor? Nilai rapor merupakan akumulasi seluruh nilai dari hasil KBM (kegiatan belajar mengajar), UTS, UAS, dan praktek (jika ada). Tentu kita tidak bisa mengetahui persis dari mana nilai-nilai tersebut didapatkan? Hasil menyontek? Belajar dan usaha keras sendiri? Dapat bantuan? Tidak ada yang bisa menerka. Semuanya dianggap sama. Dengan demikian, akhirnya beberapa siswa banyak yang menyesal karena tidak mendapatkan nilai-nilai yang cukup sewaktu mereka masih berada di semester lalu atau kelas sebelumnya. Pemerintah hanya 'menarik' nilai para siswa dari kelas 10 sampai kelas 12. Lalu, ujian tulis pun ditiadakan. Padahal, ujian sesungguhnya ya ada di ujian tulis itu. Tentu jauh berbeda dengan keadaan ketika para siswa sedang UTS, UAS, atau UN. Peluang untuk mencontek, diberikan bantuan, berkontak (ber-sms ria) dengan teman yang duduk tidak jauh dari bangkunya, masih sangat besar. Dan tidak tertutup kemungkinan hampir 90% siswa di sekolah tersebut dinyatakan lulus. Padahal, sesungguhnya itulah awal sumber bencana umat manusia. Sementara itu, tes tulis justru menuntut mereka yang sudah lulus UN untuk bertarung di medan pertempuran yang sesungguhnya; mereka didudukkan dalam satu ruangan--di mana hampir satu kelas itu tidak ada yang mereka kenal--dengan orang-orang dari berbagai sekolah, dengan soal-soal yang berbeda (tetapi dengan konsep yang sama dengan tahun-tahun sebelumnya), dan diberikan waktu yang lebih ketat, meja dan kursi yang sudah ditata sedemikian rupa agar tidak ada kesempatan sekecil apapun untuk melakukan contek-mencontek, serta diawasi oleh para pengawas dari berbagai sektor sekolah. Berbeda dengan UN, pengawasnya itu-itu lagi, soalnya itu-itu lagi, teman di depan atau di belakangnya itu-itu lagi, ditambah meja dengan kolong yang luas (yang memberikan kesempatan untuk meletakkan textbook atau catatan berupa kertas kecil kasat mata). Para siswa tahun 2013 yang akan mengikuti tes dengan mekanisme baru ini, semata-mata digerayangi oleh nilai-nilai buruk sewaktu mereka masih duduk di kelas 10 atau 11. Walhasil, bagi para siswa yang 'kurang kompeten', malas, atau yang hanya mengejar nilai akhirnya bekerja sekeras mungkin dan berpikiran bahwa nilai-nilai di kelas 12 ini harus sempurna. Dan tidak sedikit dari para siswa tersebut yang akhirnya jatuh sakit atau drop pada momen-momen tertentu, yang terkadang merupakan momen kritis (ada kuis atau tes di kelas), karena terlalu memforsir diri untuk meraih nilai sempurna. Belum lagi jika mereka, khususnya kelas 12, harus mengikuti Pendalaman Materi (PM) yang diadakan sehabis jam pulang sekolah. Atau mereka yang mengomitmenkan diri untuk ikut serta dalam bimbingan belajar. Tentu hal ini, jika mereka tidak bisa me-manage waktu dengan baik, akan membuat mereka frustasi. Tidak hanya itu, terkadang, tugas-tugas mingguan juga terus menerus hadir dalam mimpi-mimpi buruk mereka. Capek ya jadi anak kelas 3 SMA. He he he. Memang.Terutama bagi para siswa yang sibuk dan aktif di sekolahnya, mereka harus lebih banyak meluangkan waktunya untuk organisasi atau ekstrakurikuler. Tapi, untunglah, biasanya kegiatan-kegiatan semacam itu sudah dilarang untuk diikuti oleh siswa kelas 12. Tapi tetap saja. Pusing. Lalu, ketika nilai-nilai itu hanya menjadi tolak ukur bagi masa depan seseorang, dan secara tidak langsung nilai-nilai itu juga menjadi bagian penyesalan dari diri mereka, yang membuat kader-kader dan generasi muda Indonesia melebarkan lingkaran setan yang sudah terangkai. Dan jika memang orang-orang tinggi di negara itu menganggap bahwa nilai-nilai di rapor merupakan nilai final, lalu kalau begitu, apa artinya kejujuran? Saya sungguh kecewa SNMPTN tulis ditiadakan. The Real Battle has been abolished. Perjuangan para siswa untuk meraih masa depan dan prioritas yang sesuai dengan minat mereka, seolah-olah dilenyapkan begitu saja. Mimpi-mimpi mereka yang sudah dibentuk dan ditanam kuat-kuat, seolah-olah lesap tak berbekas, meninggalkan ruap sesal yang tak kunjung reda (kok jadi puisi gini), padahal nilai-nilai itu bisa saja dari hasil kecurangan yang kita sendiri tak pernah sadari. Akhirnya, masa depan mereka pun ditentukan oleh nilai rapor mereka sendiri, yang nilai-nilainya ada yang bagus dan buruk, yang entah dari hasil mencontekkah, dari usaha sendirikah, dari bantuankah? Tidak ada yang bisa menjawab. Sekarang, saya hanya bisa memendam dalam hati rasa kekecewaan saya. Bahwa para murid tahun 2013 yang hendak melanjutkan studinya ke jenjang universitas tidak bisa merasakan apa yang saya dulu rasakan. Ketika dulu saya harus bertarung dengan waktu, tenaga, dan biaya untuk menuju  medan pertempuran yang dulu terkenal dengan nama SNMPTN. Ketika saya harus mengorbankan banyak hal demi secuil minat saya. Sekarang, mereka hanya bisa duduk berdiam diri, dicekoki nilai-nilai rapor yang mau tidak mau harus mereka terima. Mereka tidak bisa merasakan perjuangan yang saya dulu rasakan. Gak seru. Sekarang, jika tidak lulus, tentu kesalahan sepenuhnya sudah sepatutnya diberikan pada diri sendiri. Mengapa tidak menyempurnakan ikhtiar? Malah mencontek dan melakukan hal-hal terlarang lain? Padahal, Alquran juga telah berfirman bahwa segala bentuk kecurangan merupakan kerikil-kerikil kecil dari neraka Jahannam. Hiks. Please, jangan hapus SNMPTN tulis. Biar mereka merasakan pertarungan yang sebenarnya dari (kurang lebih) dua belas tahun mereka belajar. Tapi apa guna, saya hanya bisa memendam suara hati saya dalam-dalam dengan bisik-bisik halus. Semoga dengan tulisan ini, bisikan-bisikan itu bisa membuka mata hati mereka yang juga kecewa. Hehehe. Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H