Mohon tunggu...
Himawan Pradipta
Himawan Pradipta Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Copywriter

Teknisi bahasa di perusahaan konsultasi teknologi di Jakarta Barat. Suka membaca, nonton film, dan berenang.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Ulas Film: Dawn of the Planet of the Apes

25 Juli 2014   13:29 Diperbarui: 18 Juni 2015   05:16 3823
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Film ber-genre science-fiction (sci-fi) belakangan makin menarik di mata para pencinta film. Beberapa di antaranya yang cukup menjadi sorotan adalah The Hunger Games: Catching Fire (Jennifer Lawrence), Ender's Game (Harrison Ford), dan The Last Days on Mars (Liev Schreiber), ketiganya dirilis tahun 2013. Hal-hal menarik dan "tak disangka-sangka" yang ditawarkan filmnya seolah menjadi magnet tersendiri untuk merebut perhatian para movie-goers. Portal yang dirupakan seperti jam sebagai penentu datangnya bencana dalam Catching Fire, simulasi pertarungan sengit imajiner yang ternyata merefleksikan keadaan planet bumi sebenarnya dalam Ender's Game, dan perjuangan para astronot untuk mengumpulkan bebatuan langka di planet Mars dalam The Last Days on Mars, seakan menjadi perhatian tersendiri karena semua hal itu tidak terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga, sesuatu yang dianggap tabu atau aneh dalam dunia palsu (hiperrealita) yang digambarkan lewat film, menjadi sesuatu yang lumrah justru. Tahun ini, film-film sci-fi kembali hadir mengobati rasa rindu para pencinta film khayalan, satu di antaranya adalah Dawn of the Planet of the Apes, yang menggambarkan atmosfer di masa depan, di mana teknologi sudah jadi teman hidup, dengan arahan sutradara-aktor-screenplay writer Matt Reeves. Kali ini, bukan lagi portal penanda bencana, atau simulasi tarung di lapisan horizon, bukan juga kondisi planet Mars yang melepuh, melainkan kera. Hewan yang kerap dijadikan pembanding manusia dilihat dari segi fisiknya ini, ditambah karena kemampuan kecerdasannya yang di atas rata-rata dibandingkan hewan-hewan lain, menjadi nilai jual film berdurasi 130 menit ini. Tanpa terduga, para kera buatan para cempiang di masa depan ini akan membuat para penonton tercengang dan bahkan, kalau boleh dibilang, ngeri dibuatnya. Tapi yang jelas, para kera dalam film ini akan membuat tanda pada jamannya sendiri, membuat terobosan dalam dunia ke-sci-fi-an. [caption id="" align="aligncenter" width="618" caption="Poster Film (sumber: jrook.com)"][/caption] Sinopsis Dawn of the Planet of the Apes bercerita tentang perang yang terjadi antara kaum para kera canggih yang terlahir dari hasil uji coba laboratorium para peneliti di Amerika dan para manusia yang masih tersisa di bumi. Di film sekuelnya ini, digambarkan bahwa para kera tersebut, masih di bawah pimpinan Caesar (disuarakan oleh Andy Serkis: The Adventure of Tin Tin, The Hobbit: An Unexpected Journey) yang berwiba, sudah memiliki rumah sendiri jauh dari tempat para manusia tinggal. Sementara itu, para manusia, yang sedang krisis daya (listrik padam dan kekurangan air dan bahan pangan), tentu membutuhkan daya yang cukup besar untuk menopang hidup mereka. Sayang sungguh sayang, satu-satunya kekuatan yang ada ternyata terdapat di tengah-tengah rumah para kera itu, yaitu sebuah bendungan raksasa berkekuatan besar yang bahkan mampu menyelamatkan jiwa manusia. Tetapi, para manusia itu terlalu ngeri untuk datang ke sana mengingat mereka sendiri tak tahu apa yang akan terjadi. Mereka takut ketika sedang "melihat-lihat" di sekitar hutan, tidak hanya para kera yang mengoyak tubuh mereka, tapi juga rusa liar, beruang yang kelaparan, atau hewan-hewan ganas lainnya. Tapi tidak sekumpulan orang ini. Malcolm (Jason Clarke: Zero Dark Thirty) bersama rombongannya menerobos hutan tersebut dengan harapan mereka bisa tiba di bendungan itu tanpa kemungkinan terbunuh. Namun, harapan pasti pupus jua tanpa digerayangi rintangan, bukan? Benar saja, di tengah-tengah perjalanan, salah satu anggota rombongannya, Carver, berpapasan dengan dua ekor kera yang habis berburu. Sontak, dan tak tahu harus berbuat apa, Carver mengangkat senjata dan menarik pelatuknya hingga raungannya terdengar ke seluruh penjuru hutan. Mengetahui hal ini, Caesar langsung "memanggil" keluarga besarnya dan mendatangi sumber bunyi tembakan. Dalam waktu beberapa menit saja, Malcolm dan rombongannya sudah dikepung dalam sebuah lingkaran yang kecil di antara keluarga besar para kera yang bergelantungan di mana-mana. Caesar murka, mengetahui bahwa salah satu anggota keluarganya hampir terbunuh (lagi) oleh tangan manusia, dan memperingati para manusia itu untuk pergi dan tak boleh kembali. Tapi apa mau dikata. Namanya manusia, pasti berontak juga. Malcolm, setelah berpikir matang-matang, dan atas seijin keluarganya dan walikotanya, Dreyfus (Gary Oldman: Harry Potter and the Prisoner of Azkaban, Tinker Tailor Soldier Spy), akhirnya kembali ke hutan untuk meminta ijin pada Caesar agar beberapa dari rombongannya bisa bekerja di bendungan itu, yang disetujui oleh Caesar. Tentu saja, ada kawan muncul lawan. Sikap setuju Caesar untuk membiarkan para manusia bekerja di rumahnya, memicu percik-percik perlawanan dalam diri beberapa anggota-anggota kera yang lain, satu yang paling ambisius adalah Koba (disuarakan oleh Tobby Kebbell: War Horse, The Sorcerer's Apprentice). Ambisius Koba perlahan-lahan makin memuncak ketika melihat para kera yang mulai mengenal para manusia dengan berbagai cara; ini membuatnya makin geram, yang mengakibatkan perpecahan tidak hanya bagi keluarga para manusia, tetapi juga rumah mereka sendiri. [caption id="" align="aligncenter" width="518" caption="- Malcolm dijaga dua kera ke bendungan (jrook.com)"]

[/caption] Naratologi Film ini bergerak maju. Transisi antara satu naratif ke naratif yang lain begitu jelas dan dibungkus dengan penggambaran yang ciamik. Tidak hanya itu, pergantian scene dari, misalnya, keadaan di hutan hingga keadaan di pusat kota dibundel dengan sangat rapi, membuat para penonton dengan luwesnya mengikuti jalan cerita tanpa merasa diseret. Tidak seperti film-film atau serial televisi arahan Matt Reeves sebelumnya, seperti Conviction (2006) atau Let Me In (2010), yang menampilkan alur cerita yang kerap memainkan teknik foreshadowing (bolak-balik, maju-mundur), film yang memakan bujet cukup besar untuk pembuatan CGI ini terasa mengalir dalam penceritaannya. Tak hanya itu, sekuel film Rise of the Planet of the Apes, yang dirilis tahun 2011 ini, menyuguhkan cerita yang segar dengan penjelasan yang cukup menyeluruh. Singkat kata, tanpa harus menonton film pertamanya, penonton bisa tetap menikmati film yang meraih skor 8,3 dari laman film virtual IMDB ini. Sinematografi Berbicara masalah sinematografi, Michael Seresin juaranya. Di film ini, ia kembali bermain-main dengan teknik penggambaran, dan dengan demikian mampu menyiduk emosi penonton dengan sedemikian rupa, dalam scene yang padahal cukup rumit dalam proses pengambilannya. Lihat saja karya-karyanya terdahulu, seperti Step Up (2006), di mana dalam kondisi para pemainnya harus bergerak luwes "ke sana ke mari" mengiringi musik dalam tempo cepat, Seresin berhasil menangkap momen itu dengan teknik pengambilan yang menyeluruh. Atau seperti Harry Potter and the Prisoner of Azkaban (2004). Adegan permainan Quidditch, di mana pemainnya harus berada di atas sapu terbang, kamera tentu harus menangkap semua hal yang penting dalam game itu, seperti rival game-nya (yang tampak berada jauh di seberang sana), atau para penonton (yang jaraknya dengan pemain di sapu terbang tidak dekat). Kemampuan sinematografi yang handal tentu sangat dibutuhkan dalam pengambilan semua itu. Michael Seresin melakukannya lagi dalam film ini. Teknik pengambilan adegan para kera di hutan dengan wide-shot betul-betul mujarab. Dari satu adegan itu saja, para penonton disuguhkan tidak hanya panorama hutan yang begitu teduh, tetapi juga pemandangan keluarga besar para kera yang bergelantungan di atas pohon yang menjulang. Yang lebih menariknya, kepiawaian Seresin dalam memilah-milah adegan sesuai dengan emosi penonton juga tidak boleh diilewatkan. Misalnya, adegan ketika para kera yang menyerang pusat kota saat suasana mulai memuncak, tentu kamera harus menangkap secara seimbang keadaan kota yang kacau balau (diam) dengan gerakan para kera yang agresif (bergerak). Di sini, Seresin memilih menggunakan teknik panning sehingga atmosfer film terkesan terjaga dan dinamis. Atau adegan lain, ketika Koba dan Ash bertarung di bendungan karena geram satu sama lain, Seresin menggunakan teknik shaky camera seperti halnya ia pada saat yang bersamaan juga mengaduk-ngaduk emosi penonton saat itu. [caption id="" align="aligncenter" width="496" caption="- Koba bertarung dengan Ash (jrook.om)"]
[/caption] [caption id="" align="aligncenter" width="490" caption="- Adegan penyerbuan ke pusat kota (jrook.com)"]
[/caption] Musik
"Film tanpa musik bagaikan sayur tanpa garam", begitu kata mutiaranya.

Gubahan tangan Michael Giaccino, yang juga biasa didampuk untuk mengisi soundtrack film-film science fiction, seperti Super 8 (2011), dan Startrek: Into Darkness (2013), memberikan nuansa baru dalam film ini. Permainan strings, genderang, dan tuba yang terasa dominan dalam film ini, membuat cerita yang juga ber-genre drama dan aksi ini makin terasa gurih. Adegan para kera "menyabot" para manusia, misalnya, yang diiringi dengan sederet bunyi genderang membuat adegan terlihat lebih apik. Adegan lain, ketika Caesar dirawat di rumah Will Rodman (James Franco) yang diiringi dengan suara selo menciptakan suasana sedih dalam diri penonton. Kemudian, adegan Malcolm bersembunyi dari para kera pembunuh untuk mengambil obat-obatan untuk Caesar dan bertemu anak laki-laki Caesar terasa begitu mengaduk-ngaduk emosi para penonton dengan suara violin yang dimainkan dalam nada yang tinggi dan dinamisasi yang kompleks. Pemain Wajah-wajah baru dalam film ini bisa dibilang pendatang baru, kecuali Gary Oldman dan Jason Clarke. Kehadiran Gary Oldman, jelas, tidak hanya menambah citra film sains fiksi di mata para sineas dunia hiburan. Perannya sebagai Dreyfus, mantan polisi yang sekarang menjadi seorang walikota, memberi bekas yang takkan mau hilang dalam dunia perfilman. Oldman, pantaslah, memang dikenal sebagai aktor yang terkenal memerankan tokoh-tokoh kebapakan atau seseorang yang bertanggung jawab atas sesuatu (in charge), sehingga tokoh Dreyfus, bisa dikatakan, dapat dikejawantahkan dengan baik. Lain halnya dengan Jason Clarke, meski namanya baru terdengar belakangan, terlebih karena peran anta-protagonisnya dalam Zero Dark Thirty (2013), karakternya sebagai Malcolm mampu ia transfer ke penceritaan dengan begitu stabil. Karakternya kuat, tidak mudah terpengaruh oleh pencitraan karakter lain, yang membuat Malcolm dicirikan sebagai sosok pemimpin dalam rombongannya. Perannya sebagai seorang ayah juga memperkuat fakta itu. Inilah yang mungkin akan membawa nama Clarke menjadi hot stuff dalam dunia perfilman, khususnya jenis sains fiksi atau drama. Pemain lain seperti Kerri Russell (Ellie), Kodi Smitt-McPhee (Alexander), dan Kirk Avecedo (Carver), meskipun seakan seperti pemanis, namun berpengaruh penting dalam penjalanan cerita secara keseluruhan. Seperti halnya Andy Serkis, yang tubuhnya dimanipulasi oleh teknik komputer tingkat tinggi CGI dalam bentuk Caesar, dan Toby Kebble dalam bentuk Koba, juga memiliki pengaruh yang vital (mengingat mereka protagonisnya). Terlepas dari itu, suara Serkis dan Kebble, dengan bantuan teknologi sulihsuara, yang memungkinkan suara mereka menjadi lebih berat dan "menyeramkan," terdengar sangat apik dan tidak mengganggu penonton. [caption id="" align="aligncenter" width="612" caption="- Aktor Andy Serkis memerankan Caesar dengan teknik CGI"]

[/caption] Kesimpulan Sebetulnya masih banyak yang bisa dikupas dari film ini, namun setidaknya aspek-aspek di ataslah yang perlu digarisbawahi terlebih dahulu. Dari alur cerita, teknik pengambilan gambar, musik pengiring, sampai para pemain, sangat disayangkan jika semua itu terlewat begitu saja. Tanpa basa-basi, film ini, sekali lagi, kalau diibaratkan hadiah, merupakan sebuah tontonan yang dibungkus dengan kertas kado yang cantik. Yang jika siapapun membuka kertas kado pertama, pasti akan terpesona dengan kertas kado di lapisan kedua, dan seterusnya hingga filmnya usai. Dengan demikian, Dawn of the Planet of the Apes bukanlah suguhan "kacangan" yang bercerita tentang sekumpulan monyet liar yang berambisi menguasai dunia, melainkan lebih dari itu. Film ini mengingatkan pada kita, sebagai umat manusia, untuk tidak saling menyerang satu sama lain, tidak untuk kepuasan pribadi semata. [caption id="" align="aligncenter" width="450" caption="- Malcolm dan Caesar bersikutan"]
[/caption] Selamat menonton! :) Salam, Himawan Pradipta.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun