Mohon tunggu...
Himawan Pradipta
Himawan Pradipta Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Copywriter

Teknisi bahasa di perusahaan konsultasi teknologi di Jakarta Barat. Suka membaca, nonton film, dan berenang.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Pengalaman Pertama Menjadi Interpreter

16 September 2014   04:50 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:34 1284
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sepertinya tidak perlu bagi saya untuk menuliskan juga kata per kata yang diucapkan Mas Adit. Yang jelas, dia menunjukkan cara-cara bermain angklung. Dari posisi tangan kiri, tangan kanan, dan tangan mana yang digunakan untuk "menggoyang" angklung agar tercipta bunyi. Singkat kata, menurut saya, apa yang saya ucapkan dalam bahasa Inggris bisa dimengerti oleh para tamu dari luar negeri. Setidaknya saya pikir demikian. Mengingat mereka mengangguk dan tersenyum saat saya menerjemahkan frase per frase dari mulut Mas Adit, menunjukkan bahwa mereka mengerti, which made my day. Alhamdulillah lah. Hehehe.

[caption id="attachment_324171" align="aligncenter" width="614" caption="Saya dan teh Fitria Jamal (dok.pri)"]

14107924671979430297
14107924671979430297
[/caption]

Walhasil, dengan arahan Mas Adit, kami semua di aula Graha Sanusi sukses memainkan tiga buah lagu. Mulai dari yang tingkat kesulitannya rendah hingga tinggi. Lagu pertama yang kami mainkan adalah Bulanku, kemudian disusul Heal the World-nya Michael Jackson, dan terakhir Mau Dibawa Kemana-nya Armada. Saya tak pernah menyangka. Harmoni yang diciptakan dari alat musik bambu itu bisa mengalun dengan sebegitu indahnya! Cantik sekali. Ditambah iringan musik dari UPT Kesenian Unpad, berupa band, bass, gitar elektrik, dan arumba, Graha Sanusi seolah tersulap menjadi ballroom yang dipenuhi simfoni.

Selesai acara bermain angklung bersama, kami menutup acara. Akhirnya, setelah hampir satu setengah jam berbicara dengan teknik-teknik tertentu dalam keprotokoleran, tenggorokan saya rasanya tercekat. Itu baru bicara "dengan teks" saja, belum yang "spontan" saat saya  melakukan simultaneous interpreting tadi. (Belum lagi ditambah deg-degan, nervous, dan takut salahnya). Hahaha. Jadinya makin gak keruan deh kayak apa. Akhirnya lega sudah ketika tenggorokan ini dibasuh air bening. Saya semakin lega, ketika Mas Abo, koordinator acara Gala Dinner UNPAD malam itu, memuji kami berdua dengan ucapan Bravo! sambil mengacungkan dua jempolnya tinggi-tinggi. Alhamdulillaaaaaah, kami membatin sambil tersenyum.

Sepanjang perjalanan kembali ke Jatinangor, saya pun semakin tertarik dengan dunia interpreting. Di kelas, Pak Rasus Budhyono mengatakan bahwa beliau, sebagai satu dari banyaknya interpreter profesional di Indonesia, harus mengistirahatkan otaknya sehabis melakukan interpreting, mengingat kegiatan itu menguras kinerja otak kiri dan otak kanan secara bersamaan. Apalagi jika dilakukan dalam durasi yang lama. Namun rasanya tidak demikian bagi saya. Ya mungkin Pak Rasus bisa mengatakan hal itu karena beliau biasa melakukan interpreting selama 8 jam penuh, dan kepalanya kemudian panas. Sedangkan saya baru merasakan pengalaman ber-interpreting selama satu setengah jam. Belum ada apa-apanya.

Saya mengatakan di awal bahwa mendalami interpreting "hanya" dengan modal bahasa Inggris yang baik. Kedengarannya begitu enteng dan gampang ya? Iya! Percaya deh. Setiap kali masuk kelas Interpreting, saya selalu iseng menerjemahkan apa yang diucapkan Pak Rasus ketika dia memberikan kuliah di kelas. Kata per kata, dan di dalam hati tentunya. Sejak awal beliau berbicara, misalnya, "oke, hari ini kita akan belajar tentang," saya langsung menggumam sendiri "okay, today we're going to learn about..." begitu seterusnya. Memang sih, agak melelahkan, dan...kurang kerjaan, kalau boleh dibilang begitu. Tapi, ya, namanya juga kelas Interpreting. Melakukan interpreting bisa dilakukan dengan cara apa saja. Ya tho? Hehehe. Alesan aja, Wan. Tapi ya memang betul. Belajar interpreting bisa menjadi sangat menarik. Sayangnya, mengingat Indonesia tidak memiliki sekolah interpreting, (sekolah penerjemahan di UI menjadi pengecualian), wajar saja kalau skill interpreting orang Indonesia masih bisa dibilang minim, bahkan payah. Namun, asal punya tekad yang kuat, dan mau men-self-train kemampuan kita sendiri, dengan banyak referensi di internet, pasti tidak ada yang sia-sia.

Saat masuk ke kelas Interpreting pertama kali pun, dan mengetahui bahwa dosen pengampunya adalah Pak Rasus, saya bisa dibilang agak minder, dan sempat berpikir, "duh gak mungkin deh gue bisa kayak beliau [Pak Rasus]," apalagi beliau pernah berkata bahwa "kita tidak bisa belajar interpreting ketika pada saat yang bersamaan kita masih mempelajari bahasa kedua". Maksudnya, ketika saya ingin belajar interpreting Indonesia-Inggris atau sebaliknya, usaha saya tidak akan maksimal kalau saya masih mempelajari bahasa tersebut (bahasa inggris). Harus rampung dulu mempelajari murni si bahasanya. Pak Rasus, contohnya, mempelajari interpreting setelah beliau lulus dari Sastra Inggris UNPAD, baru kemudian mampu mendalami dunia interpreting dengan maksimal. Dan sekarang? Nama beliau sudah tercantum di dalam kategori "interpreter Indonesia."

Meskipun kelas Intepreting hanya pilihan, dan waktu tatap mukanya hanya sekali dalam seminggu, saya tidak akan menyia-nyiakan kesempatan untuk memaksimalkan apa yang saya punya. Begitu juga Anda! Seharusnya. (Dalam hal apapun).

Salam, Himawan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun