[caption id="attachment_339975" align="aligncenter" width="630" caption="Dokter Junior dan Dokter Senior (sumber: filmpress blogspot)"]
Pemain
Dian Sastrowardoyo, seperti yang sudah kita lihat kemampuan aktingnya di AADC 12 tahun lalu, merupakan salah satu aktris yang masterful dalam memainkan peran heroin, supel, Â dan bisa dibilang agak 'cuek.' Dalam 7 Hari 24 Jam, kebanyakan line-nya diinterpretasi Dian dengan caranya sendiri, yaitu dengan nada remaja dan cenderung santai. Namun demikian, menjadi agak kurang afdol ketika mengetahui fakta bahwa Tania, yang digambarkan sebagai seorang staf Customer Relationship Management (CRM) di kantornya, justru berbicara dengan kalimat-kalimat yang terpenggal dan sempat terpecah strukturnya. Belum lagi ditambah fakta bahwa ia akan diangkat menjadi senior di bidangnya. Awalnya mungkin penonton tidak akan memerhatikan hal ini, tetapi mereka tahu bahwa seorang staf CRM tentu kerap melakukan negosiasi, presentasi, dan forum diskusi dengan calon partner kerja yang tingkat jabatannya sama atau bahkan lebih tinggi darinya. Ironis, ya?
Hal yang sama juga terjadi pada Lukman Sardi, yang digambarkan sebagai seorang sutradara film. Dialog-dialognya dengan Dian yang selalu diselingi dengan selorohan mungkin menjadi penanda kuat bahwa Fajar Nugros ingin membangun citra "hangat" tertentu dalam film ini. Beberapa adegan, akhirnya, tampak sangat natural dan beberapa yang lain justru tampak agak palsu. Adegan yang begitu natural tampak, misalnya, saat Tyo menghakimi Tania saat Tania mengijinkan dirinya sendiri untuk pulang lebih awal dari rumah sakit. Sementara, adegan yang menurut saya agak terlihat fake tampak ketika Tyo menghakimi Tania dengan menyinggung bos Tania sebagai "pewangi ruangan." Di adegan itu, terdengar segelintir nada dalam percakapan mereka yang intonasinya agak dibuat-buat, sehingga emosi penonton agak buyar di tengah-tengah adegan.
[caption id="attachment_339976" align="aligncenter" width="640" caption="Adegan Tyo sedang merayu Tania (sumber: filmpress blogspot)"]
Pemain yang lain seperti Minati Atmanegara (ibu Tania), Ari Wibowo, Hengki Solaeman, Verdi Solaeman, dan Dahlia Poland (Ayla, anak Tyo dan Tania) menambah "hangatnya" jalan cerita dalam film ini. Meski beberapa nama masih awam dalam perfilman, seperti Hadijah dan Husein Alatas , namun kemampuan akting mereka untuk genre komedi bisa dibilang cukup mempermanis hubungan antara karakter satu dengan karakter yang lainnya.
Bahasa: Bahasa Inggris tanpa Subtitle
Secara dominan, film ini 95% menggunakan bahasa Indonesia dan 5% bahasa Inggris. Bahasa Indonesia yang digunakan, seperti yang sudah saya katakan sebelumnya, adalah jenis bahasa sehari-hari yang dibuat menjadi lebih ke-anak-muda-an. Hampir di seluruh dialog antara Tyo dan Tania, keduanya menyisakan jeda ketika berbicara, sesekali diiringi dengan gumaman atau suara tawa yang alamiah. Dengan bantuan-bantuan piranti ujar tersebut, kata-kata yang keluar bisa mengarah ke dua hal yang berbeda: benar-benar alamiah atau benar-benar palsu. Hal ini tentu tak bisa dipungkiri di film-film atau karya lain manapun yang menggunakan naskah. Masalah penonton menanggapinya bagaimana, itu akan menjadi hal yang sangat subjektif, masalah interpretasi naskah/skrip ini.
Namun begitu, ketika film ini memasukkan bahasa Inggris tanpa menyediakan subtitle, seperti dalam adegan Tania melakukan teleconference, penonton yang kemampuan listening-nya rendah tetapi ingin tau apa yang Tania ucapkan saat itu, tentu akan kebingungan. Mungkin itu yang terjadi pada seorang penonton yang duduk di sebelah saya, tepatnya ketika seorang investor dari Inggris di adegan itu mulai berbicara dalam bahasa Inggris (dengan aksen British-nya yang medok), penonton sebelah saya menghembuskan nafas panjang, yang saya tafsir bahwa, bisa jadi, dia jengah. Meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa film-film Indonesia sekarang kebanyakan lebih banyak memasukkan unsur-unsur bahasa Inggris, khususnya pada dialog atau monolog, bukan berarti kemudian para sineas film melupakan fakta bahwa film tidak hanya ditonton orang-orang kelas menengah ke atas, tetapi juga kelas menengah ke bawah. Memasukkan unsur asing tanpa membaurkannya dengan lokalitas tentu akan agak problematis, Â mengingat melakukannya sama saja dengan mengabaikan keaslian diri kita sendiri.
Isu Teknis: Bayangan Kamera dan Microphone yang "Bocor"
Yang membuat saya agak terganggu ketika menonton film ini adalah "bocornya" bayangan kamera dan microphone di beberapa adegan. Misalnya, saat karakter Indra Birowo dan Husein Alatas sedang menuju pintu kamar VIP tempat Tyo dirawat; mereka ingin pulang sehabis menjenguk Tyo di rumah sakit, saat itu kamera menyorot pintu kamar, tepat ketika kedua karakter tersebut berjalan mendekatinya dan menutupnya. Tak lama setelah tubuh mereka tidak lagi tertangkap kamera, bayangan seseorang (kameramen) tampak sangat kentara di kaca pintu kamar tersebut. Tidak hanya itu, adegan ketika Tania sedang "curhat" ke ibunya setelah membacakan dongeng pada Alya, bayangan panjang yang bergoyang-goyang "merusak" wajah Dian sepanjang adegan itu. Awalnya, saya kira itu adalah bayangan lampu gantung di langit-langit kamarnya, namun, ketika sudut kamera berubah menjadi long-shot, lampu kamar itu tidak terletak tepat di atas kepala Dian. Tentu saja, itu adalah microphone.