Pagi itu, badanku dalam keadaan kurang sehat sebab habis pulang dari Solo, sekitar jam 01.30 AM aku baru sampai rumah. Alhasil aku telat sholat subuh. Tentu, mamahku marah dan berkata,
"Kamu males banget! mesti telat sholat subuhnya! Sholat subuh itu waktunya pendek. Jangan malesan gitu jadi orang!"
Aku sakit hati mendengarnya karena rasanya jadi sangat bersalah dan di mata mamah aku hanya anak pemalas yang sering telat untuk beribadah sholat. Aku tahu aku salah tapi jujur perkataan seperti itu keterlaluan. For your information ini bukan self-claimed tapi aku jarang telat  sholat subuh tapi memang setelah sholat subuh biasanya aku ketiduran gara-gara tidur larut malam.
Sepanjang pagi aku berpikir, kenapa ya Mamah bisa menyimpulkan bahwa aku anak pemalas yang sering sholat subuh?
Padahal pada kenyataanya, frekuensi aku telat sholat dengan tidak, lebih banyak tidaknya. Pun alasanku telat sholat subuh karena kecapekan setelah perjalanan dari Solo, bukan karena malas.
Jadi, siapa yang salah disini? Dua-duanya salah.
- Aku salah, karena melanggar aturan agama. Ini sudah hal konkret, tidak bisa diganggu gugat.
- Mamah salah, karena melakukan kesalahan dalam menilai diriku atas perilaku yang kulakukan. Untuk konteks ini, malas dan telat sholat subuh.
Dalam hal ini, mamah melakukan; fundamental attribution error atau kesalahan atribusi mendasar. Mudahnya attribution error adalah kesalahan dalam cara kita menilai atau mengatribusikan penyebab perilaku orang lain atau diri kita sendiri. Saat kita mengalami attribution error, kita cenderung menilai perilaku orang lain berdasarkan kepribadian atau karakter mereka, tanpa mempertimbangkan faktor situasional yang mungkin mempengaruhinya.Â
Seperti kejadian diatas, aku yakin Mamah tahu, bahwa aku 'tidak sepamalas' itu sampai menyebabkan telat sholat subuh terus, tapi karena Mamah lebih fokus pada perilaku atau kebiasaanku yang tidak ia sukai, tanpa benar-benar memahami keadaan tubuhku yang kurang sehat. Akhirnya, mamah menilaiku sebagai anak  pemalas yang suka telat sholat subuh.
Sakit hati? tentu saja, tapi banyak hal yang bisa diambil dari kejadian ini. Selain karena aku sudah mengerti karakter mamah, aku juga sadar bahwa siapapun bisa melakukan kesalahan ini, termasuk diriku sendiri.
Coba dipikir kembali, berapa kali kita menilai jelek seseorang berdasarkan attribution error? atau berapa kali kita dinilai jelek oleh orang lain berdasarkan attribution error?Â
Sesekali? Beberapakali? Seringkali? Jawablah dengan jujur pada dirimu sendiri.
Setelah membaca ini, kuharap kita semua bisa menjadi lebih aware, terbuka dan bisa memahami konteks dibalik tindakan orang lain sebelum membuat penilaian, sehingga kita bisa menghindari kesalahan ini.
references :
- https://effectiviology.com/fundamental-attribution-error/
- https://opentextbc.ca/socialpsychology/chapter/biases-in-attribution/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H