Pemilihan anggota legislatif akan segera dilaksanakan dalam waktu dekat, semua calon gencar melakukan berbagai cara untuk menarik minat pemilih dari cara yang wajar sampai di luar kewajaran.
Cara yang paling sering kita lihat, ketika momen politis pemilihan caleg semakin dekat adalah penggunaan media kampanye berupa poster bergambar calon anggota legislatif, tentu dengan berbagai macam pesan maupun jargon politik. Terkadang kita akan tersenyum simpul saat membacanya, diantara kita mungkin akan bertanya, siapa orang ini, tiba-tiba muncul dengan menjanjikan harapan pada masyarakat.
Ada beberapa bentuk tulisan dalam poster yang menurut saya mengganggu, diantaranya adalah menggunakan gaya patron pada ayah, kakek, anak dan jabatan tertentu di luar partai politiknya, yang mungkin menurut tim suksesnya dapat lebih cepat menarik keseganan calon pemilih pada calon tersebut.
Sah-sah saja memang, hanya saat menggunakan nama orang lain seperti ‘putra dari walikota’, ‘cicit dari pendiri organisasi tertentu’ memberikan pesan bahwa caleg seperti ini tidak percaya diri akan kehadirannya dalam kontestasi politik hingga harus dibantu dengan nama orang lain. Dan menurut saya yang seperti ini tidak masuk dalam kriteria subyektif yang pantas menjadi wakil rakyat.
Pertanyaannya yang harus dijawab caleg adalah berapa banyak poster yang dibutuhkan untuk setiap caleg ? adakah hubungan positif banyaknya poster dengan kemenangan seorang caleg? Bagaimana misalkan kampanye tanpa menggunakan poster ?
Jawabannya tentu melihat karakter perilaku pemilihan di suatu daerah, untuk mengukur itu tidak butuh metode rumit, Â kuncinya adalah tingkat akurasi. Â Seringkali para caleg tidak memahami dan mengukur bagaimana karakter pemilihnya, setiap daerah pemilihan dipukul rata dengan metode kampanye yang standar saja.
Caleg yang tidak memberi porsi lebih pada peta calon pemilihnya sebenarnya akan memperberat kerja caleg tersebut. kalau pake perumpamaan tentara yang akan berperang, maka tidak paham medan akan mempercepat kematian.
Dalam praktek istilah rumitnya, metode yang biasa digunakan oleh para caleg untuk melakukan persuasi yaitu dengan pendekatan sosiologis, pendekatan isu maupun orientasi calon. Namun semua pendekatan itu tergantung pada tingkat akurasi pemetaan satelit politik masing-masing caleg.
Kalau sudah berniat menjadi caleg maka syarat utamaya tidak boleh malas bergerak, jangan melulu memikirkan uang untuk kampanye tapi yang juga penting adalah menghitung dan membagi hari untuk turun langsung bertemu konstituen.
Jangan terlalu percaya dengan mesin partai walaupun sudah teruji, karena kebanyakan masih menjadi calon anggota legislatif saja sudah elitis dengan tidak mau campur tangan terkait pemenangan, ‘saya kasih uang segini, pokoknya saya mau menang’ adalah pertayaan yang menurut ukuran subyektif saya tidak masuk untuk kriteria wakil rakyat.
Malam makin larut dan saya mengantuk, nanti saya sambung lagi tulisan saya dengan tema yang sama. Terim kasih
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H