Mohon tunggu...
radi hardiansyah
radi hardiansyah Mohon Tunggu... -

never lost direction

Selanjutnya

Tutup

Politik

Butuh Nyali Memimpin Jakarta

14 Juni 2012   07:01 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:00 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tawuran pelajar atau antarwarga adalah hal biasa di Jakarta. Beberapa titik di ibukota kerap diibaratkan ‘wilayah tak bertuan’, karena hukum dan aparat keamanan seolah tak dianggap di sana. Masih segar dalam ingatan peristiwa berdarah di RSPAD Gatot Soebroto Jakarta, Februari lalu. Penyerangan belasan preman kepada seterunya di tempatberlabel ‘AD’.

Peristiwa mutakhir paling mengenaskan adalah pengeroyokan yang terjadi mengiringi laga antara Persija Jakarta dan Persib Bandung di Stadion Gelora Bung Karno pada 27 Mei 2012. Tiga nyawa melayang sia-sia sebagai buntut dari kegiatan olahraga yang sejatinya menjunjung tinggi sportivitas. Seironis peristiwa di RSPAD atau masih banyak lagi bentrok antar organisasi masyarakat (ormas) yang terlalu panjang kalau harus dideretkan di tulisan ini.

Bulan Mei lalu, Kepolisian Daerah Metro Jaya membeberkan angka keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas) hingga Mei 2012. Pada Januari tercatat 4.673 kasus, Februari 4.750 kasus, Maret 4.860 kasus, April 4.540 kasus, dan Mei 3.869 kasus. Total dari Januari hingga Mei tercatat 23.375 kasus gangguan kamtibmas. Bila dirata-rata selama lima bulan, terjadi sekitar 4.500 lebih kejahatan atau 150 kasus perharinya.

Sumber di kepolisian menyebutkan gangguan kamtibmas yang mendominasi adalah kasus pencurian kendaraan bermotor (curanmor). Dari kejahatan curanmor ini, paling banyak dilakukan dengan pencurian pemberatan (curat) dan pencurian kekerasan (curas) atau perampokan. Siapa lagi yang melakukan semua itu kalau bukan penjahat-penjahat beringas, atau sebut saja para preman.

Sebagai metropolitan, wajar kriminalitas di DKI Jakarta diprediksi bakal terus masih menghantui kehidupan warga. Apalagi angka-angka di atas bisa saja masih merupakan fenomena puncak gunung es, akibat tindak kriminalitas kecil terkadang masyarakat enggan melapor. Lebih gawat lagi ada sebagian yang malah trauma, sehingga kejahatan semacam pelecehan seksual disimpan sendiri oleh korban.

Secara umum, meminjam pendapat kebanyakan para kriminolog, jalanan tercipta sebagai peradilan akibat lemahnya aturan dan ketakberdayaan aparat. Hal tersebut sebagai refleksi dari frustrasi masyarakat terhadap norma-norma yang ada. Ditambah lagi, hukum telah terbeli oleh intervensi aparat-aparat korup.

Persoalan yang bersinggungan secara normatif tersebut kemudian tersanding lagi dengan urusan perut. Hingga kini, masih ada sekitar 10 persen pengangguran di Jakarta. Berdasarkan jumlah penduduk sekitar 11 juta jiwa, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) DKI Jakarta akhir tahun lalu, tercatat jumlah orang miskin mencapai 363.420 jiwa. Warga yang masih bermasalah dengan urusan perut ini berpotensi menjadi preman yang mengancam ketertiban masyarakat.

Menurut UU Nomor 12 Tahun 2008 tentang perubahan kedua atas UU Nomor 32 Tahun 2004, disebutkan tugas dan wewenang Wakil Kepala Daerah, meliputi (1) membantu Kepala Daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah; (2) membantu Kepala Daerah dalam mengkoordinasikan kegiatan instansi vertikal di daerah, menindaklanjuti laporan dan/atau temuan hasil pengawasan aparat pengawasan, melaksanakan pemberdayaan perempuan dan pemuda, serta mengupayakan pengembangan dan pelestarian sosial budaya dan lingkungan hidup; (3) memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan pemerintahan kabupaten dan kota bagi Wakil Kepala Daerah provinsi; (4) memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan pemerintahan di wilayah kecamatan, kelurahan dan/atau desa bagi Wakil Kepala Daerah kabupaten/kota; (5) memberikan saran dan pertimbangan kepada Kepala Daerah dalam penyelenggaraan kegiatan pemerintahan daerah; (6) melaksanakan tugas dan kewajiban pemerintahan lainnya yang diberikan oleh Kepala Daerah; (7) melaksanakan tugas dan wewenang Kepala Daerah apabila Kepala Daerah berhalangan.

Persoalan kamtibmas adalah bagian dari tugas dan wewenang Wakil Kepala Daerah berdasarkan poin 2 pada aturan perundang-undangan di atas. Artinya, dalam konteks Jakarta Memilih 11 Juli 2012, dibutuhkan seorang Wakil Gubernur yang paham sepaham-pahamnya bersoalan kamtibmas. Sehingga, tokoh berlatar belakang militerdengan kemampuan intelijen, menjadi pilihan beberapa kandidat. Sebutlah Fauzi Bowo yang kini coba menggandeng Mayjen TNI (purn) Nachrowi Ramli. Lalu, ada juga Alex Noerdinyang berpasangan dengan Letjen Marinir (purn) Nono Sampono.

Ada sedikit catatan dari Fauzi Bowo. Pada Pilkada sebelumnya, ia juga berpasangan dengan Wakil Gubernur berlatar belakang militer, yakni Mayjen TNI (purn) Prijanto. Di tengah jalan, mereka pecah kongsi. Prijanto mundur tanpa alasan yang jelas. Namun, tanpa menarik lebih luas persoalan pecah kongsi ini, Fauzi Bowo paham betul akan beratnya tugas Wakil Gubernur dalam menjaga kamtibmas. Itulah sebab kemudian ia kembali merayu jenderal lainnya untuk maju. Berikutnya, publik hanya bisa berharap pecah kongsi jangan jadi kebiasaan Bang Kumis.

Sedikit catatan juga tentang Alex Noerdin. Kapasitas dan kapabilitasnya sebagai Kepala Daerah tidak perlu diragukan. Ia juga seorang Gubernur di Sumatera Selatan, dan bahkan sebelumnya, berpengalaman dua kali menjabat BupatiMusi Banyuasin. Berdasarkan pengalaman dan pemahamannya tentangperan vital Wakil Kepala Daerah, boleh jadi hal utama yang mendasari pilihannya untuk berpasangan dengan Nono Sampono. Bahkan, jenderalyang dipilihnya ini, semasa aktif,memiliki pangkat yang lebih tinggi dari rival mereka di Pilkada DKI Jakarta.

Kembali kepada berbagai persoalan Jakarta yang nantinya menjadi PR besar Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih, bukan berarti empat kandidat lain tidak mencermati masalah kamtibmas. Hanya saja, sulit membayangkan bila yang dihadapkan pada persoalan premanisme ini bukan orang yang memiliki latar belakang militer. Atau pertanyaannya kini, masih punya nyalikah mereka masuk ke ‘wilayah tak bertuan’ di ibukota? Jakarta butuh pemimpin, yang dalam artian harfiah, bernyali.****

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun