Mohon tunggu...
radi hardiansyah
radi hardiansyah Mohon Tunggu... -

never lost direction

Selanjutnya

Tutup

Politik

Jakarta Butuh Sesuatu, Bukan Sekadar Angka dan Data

29 Mei 2012   07:28 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:39 353
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sulitnya jadi pemerintah di negara ini adalahsetiap kali mengumumkan suatu hasil yang positif dalam pembangunan, respon di masyarakat kerap malah kebalikannya. Angka dan data yang disajikan secara apik sering lebih diartikan sebagai sebuah pembohongan publik semata demi pencitraan penguasa.

Awal Mei 2012, Badan Pusat Statistik (BPS) sumringah mengabarkan tingkat pengangguran terbuka (TPT) di DKI Jakarta per Februari 2012 mengalami sedikit penurunan, yakni 0,11 poin. Tercatat pada Februari 2012 sebesar 10,72% yang berarti sedikit lebih rendah dibandingkan Februari 2011 sebesar 10,83%. Namun, masih dari sumber yang sama, jumlah pencari kerja mengalami peningkatan sebesar 23,8 ribu orang, dari 542,71 ribu orang pada Februari 2011, menjadi 566,51 ribu pada Februari 2012. Sementara jumlah angkatan kerja di Jakarta pada Februari 2012 tercatat 5,28 juta orang.Sedangkan jumlah penduduk yang bekerja saat ini hanya sebanyak 4,72 juta orang.

Secara nasional, jumlah angkatan kerja per Februari 2012 mencapai 120,4 juta orang. Dari angkatan kerja tersebut, jumlah penduduk yang bekerja di Indonesia saat ini mencapai 112,8 juta orang. BPS juga merilis data adanya perpindahan sektor tenaga kerja dari pertanian ke industri, khususnya sebagai refleksi dari fenomena urbanisasi dari daerah ke ibukota.

Dari kilas angka dan data di atas, penurunan tingkat pengangguran di ibukota sebesar 0,11 poin merupakan sudut pandang positifdari fakta meningkatnya jumlah pencari kerja dalam periode yang sama. Sejumlah pemberitaan di media massa boleh jadi tergiring ke sisi positif ini. Padahal, ada fenomena perpindahan sektor tenaga kerja dari pertanian ke industri. Ini tidak diikuti data valid atauvariabel apa saja yang mempengaruhi sampai hal itu berlaku.

Meski begitu, pemerintah ingin good news tentang penurunan tingkat pengangguran menjadi good news pula di headline media massa. Dalam ilmu komunikasi, ini disebut teori agenda setting yang sangat dasar. Ujar Profesor Jurnalisme Maxwell McCombs dan Donald Shaw (1997), “we judge as important what the media judge as important. The media may not only tell us what to think about, they also may tell us how and what to think about it, and perhaps even what to do about it.”

Teori yang sama rupanya juga digunakan dalam membesut berita tentang keberhasilan Jakarta yang kabarnya menduduki peringkat ke-17 sebagai Kota Ekonomi Terbaik di Dunia. Pendapatan perkapita penduduk Jakarta sebesar US$3.468dengan jumlah pertumbuhan pekerja (employment) 3%. Jakarta mengungguli Kuala Lumpur yang berada di peringkat 20 dengan pertumbuhan perkapita warganya 1,0% dan pertumbuhan pekerja 4,9%, Hongkong (23), dan Singapura (39). Demikian website setkab.go.id, pada Maret 2012, mengutip laporanGlobal Metro Monitor 2011 yang diterbitkan Metropolitan Policy Program 2012 dari The Brooking Institute, organisasi nirlaba di bidang kebijakan publik yang berbasis di Washington, Amerika Serikat.

Opini publik yang terbentuk melalui media massa, sebagaiumpan balik agenda setting, akan dengan mudah termentahkan, bila pada kenyataan di depan mata uang adalah alat ukur utama moralitas. Bagi sebagian warga Jakarta yang beruntung beroleh pekerjaan, akan segera menduduki posisi terhormat, linier dengan peningkatan peringkat kota ini. Tapi, bagaimana dengan fakta masih adanya lebih 10%pengangguran? Belum lagi bila ternyata data-data yang disajikan merupakan fenomena gunung es. Termasuk para pekerja di bidang pekerjaan bukan pilihannya atau yang sebenarnya tidak memberi kemungkinan baginya untuk menjadi kaya.

Bukan data, angka atau peringkat yang dibutuhkan warga Jakarta. Apalagi bila semua itu ternyata hanya fenomena gunung es. Bentuk konkret dalam memenuhi tuntutan, penciptaan seluas-luasnya lapangan pekerjaan, adalah jauh lebih berarti sesuatu. Dan, itu sangat tergantung dari kemampuan seorang pemimpin memanfaatkan situasi untuk membuahkan hasil nyata, ketimbang pembentukan opini belaka.

Bicara soal tergantung, Theotonio Dos Santos, dalam Teori Dependensi Klasik mengurai tiga bentuk ketergantungan. Satu di antaranya adalah Ketergantungan Teknologis-Industrial yang menjelaskan kegiatan ekonomi di negara pinggiran tidak lagi berupa ekspor bahan mentah untuk negara pusat. Penjelasan berikutnya, perusahaan multinasional menanamkan modalnya di negara pinggiran dengan tujuan untuk kepentingan negara pinggiran.

Bila dimisalkan Jakarta sebagai negara pinggiran dan dunia luar sebagai negara pusat, maka sebagian penjelasan teori di atas memang telah mulai dilakukan. Dalam berbagai kebijakannya, pemerintah sudah berupaya melakukan alih teknologi agar industri dalam negeri berkembang. Terkait penjelasan berikutnya, soal penanaman modal asing untuk semaksimal mungkin kepentingan dalam negeri, masih berada pada wilayah abu-abu. Buktinya, isu keamanan kerap mengemuka dalam setiap wacana investasi. Artinya, investor lebih memikirkan urusan mereka sendiri daripada kepentingan daerah/negara tempat investasi ditanamkan. Apa harus selalu begitu? Apakah tidak ada lagi ruang untuk simbiosis mutualisme?

Niscaya, cukup banyak contoh Ketergantungan Teknologis-Industrialis yang mampu diakomodasi secara positif. Hanya saja mungkin tidak masuk wilayah agenda setting pemerintah, sehingga publik tidak banyak tahu. Sebutlah sukses Sumatera Selatan sebagai tuan rumah SEA Games beberapa waktu lalu. Hal itu samar terdengar, terdistorsi riuh rendah kasus korupsi Wisma Atlet, yang oleh intensitas pemberitaan di media massa, menjadi isu sangat seksi.

Adalah kesalahan besar ketakberdayaan membumikan keberhasilan Pemerintah Sumatera Selatan dalam gelaran SEA Games XXVI pada November silam. Adalah kesalahan lainnya bila penguasa terlalu memikirkan kepentingan kelompok, yang berdampak gelombang isu hanya bergulung di seputar Wisma Atlet dan membuihi orang-orang partai tertentu. Padahal, siapa yang bisa menyangkal nama bangsa terharumkan berkat sukses SEA Games Palembang? Sedikit sekali, jika tak ingin mengatakan nyaris tidak ada,cerita tentang bagaimana Alex Noerdin, Gubernur Sumatera Selatan,berjibaku dengan segala daya upaya menyiapkan Jaka Baring Sport City, kunci sukses gelaran internasional itu.

Bukan dalam arti menyampingkan nilai penting pemberantasan korupsi, tapi dilihat dari indikasi penyimpangan dana pembangunan Wisma Atlet sebesar Rp4,3 miliar, agaknya kurang signifikan dibandingkan total biaya pembangunan arena SEA Games yang mencapai Rp2,2 triliun. Dari kebutuhan dana tersebut, kemampuan pemerintah melalui APBN hanya 20%. SeorangAlex Noerdin, demi prestise RI di mata internasional, harus berjuang menutup kekurangan Rp1,6 triliun dari pihak ketiga. Antara lain menggunakan dana Corporate Social Responsibility (CSR) sejumlah perusahaan. Lalu ditempuh pula sistem Building Operate Transfer (BOT), beberapa hibah dan investasi dari group perusahaan multinasional.

Penyertaan dana pihak ketiga dalam pembangunan Jaka Baring Sport City, masuk dalam Teori Dependensi dengan pertimbangan perusahaan penanam modal harus juga sepakat bertujuan untuk kepentingan setempat. Hal itu langsung teruji selama kurun waktu 11 bulan pembangunan Jaka Baring Sport City yang menyedot puluhan ribu tenaga kerja. Bahkan, lebih 100 ribu tenaga kerja terserap sebagai multiplier effect hajatan tuan rumah SEA Games. Semisal hadirnya 10 hotel baru dengan penyerapan tenaga kerja baru sekitar 1.100 orang untuk operasionalnya. Atau, catatan menarik tentang impor 600 tenaga kerja dari Jawa untuk pembangunan stadion atletik, kolam renang dan lapangan tembak di Jakabaring. Penyerapan lebih 100 ribu tenaga kerja benar-benar sesuatu dalam kurun waktu 11 bulan. Yang kemudian terefleksi pada sukses penyelenggaraan SEA Games XXVI.

Kembali ke awal tulisan tentang masalah pengangguran di Jakarta, model pembangunan seperti yang dilakukan Alex Noerdin dalam membesut Jaka Baring Sport City, mestinya bisa diadopsi di ibukota. Tentu melalui kreasi pengembangan yang dimutakhirkan sesuai problematika Jakarta. Terkhusus, penguatan pada agenda setting, agar publik tidak lagi terjebak dalam keberhasilan semu sekadar data dan angka. Apa yang dikatakan McCombs dan Shaw, “the media may not only tell us what to think about,…”salah satu pemicunya adalah makna yang terbangun sendiri dalam perspektif masyarakat secara umum. Sungguh sayang bila ada lagi cerita seperti heboh Wisma Atlet yang begitu leluasa menutupi sukses Jaka Baring Sport City. “…they also may tell us how and what to think about it, and perhaps even what to do about it.”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun