Mohon tunggu...
Ryanda Adiguna
Ryanda Adiguna Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Pernah jadi: - Paskibraka. - Pertukaran Pemuda. - Duta Wisata. - Penerima Beasiswa. - Pengajar Muda. "Menulislah, agar orang di masa yang akan datang tahu kalau kau pernah hidup di masa lalu"

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Sudah Pernah Menggunakan Paspor??

29 Oktober 2012   18:31 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:14 3887
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pernah suatu hari saya membaca tulisan Bapak Rhenald Kasali yang ditag di facebook oleh teman saya. Kemudian saya coba cari lagi tulisan itu di google dan ternyata ada banyak link yang  meneruskan tulisan itu. Seperti ini tulisannya :

Rhenald Kasali. Pasport - Jawapos 8 Agustus 2011 Setiap saat mulai perkuliahan, saya selalu bertanya kepada mahasiswa berapa orang yang sudah memiliki pasport.  Tidak mengherankan, ternyata hanya sekitar 5% yang mengangkat tangan.  Ketika ditanya berapa yang sudah pernah naik pesawat, jawabannya melonjak tajam. Hampir 90% mahasiswa saya sudah pernah melihat awan dari atas. Ini berarti mayoritas anak-anak kita hanyalah pelancong lokal. Maka, berbeda dengan kebanyakan dosen yang memberi tugas kertas berupa PR dan paper, di kelas-kelas yang saya asuh saya memulainya dengan memberi tugas mengurus pasport.  Setiap mahasiswa  harus memiliki "surat ijin memasuki dunia global.". Tanpa pasport manusia akan kesepian, cupet, terkurung dalam kesempitan, menjadi pemimpin yang steril.  Dua minggu kemudian,  mahasiswa sudah bisa berbangga karena punya pasport. Setelah itu mereka bertanya lagi, untuk apa pasport ini?  Saya katakan, pergilah keluar negeri yang tak berbahasa Melayu.   Tidak boleh ke Malaysia, Singapura, Timor Leste atau Brunei Darussalam.  Pergilah sejauh yang mampu dan bisa dijangkau. "Uang untuk beli tiketnya bagaimana, pak?" Saya katakan saya tidak tahu.  Dalam hidup ini, setahu saya hanya orang bodohlah yang selalu memulai pertanyaan hidup, apalagi memulai misi kehidupan dan tujuannya dari uang. Dan begitu seorang pemula bertanya uangnya dari mana, maka ia akan terbelenggu oleh constraint.  Dan hampir pasti jawabannya hanyalah tidak ada uang, tidak bisa, dan tidak mungkin. Pertanyaan seperti itu tak hanya ada di kepala mahasiswa, melainkan juga para dosen steril yang kurang jalan-jalan.  Bagi mereka yang tak pernah melihat dunia, luar negeri terasa jauh, mahal, mewah, menembus batas kewajaran dan buang-buang uang.  Maka tak heran banyak dosen yang takut sekolah ke luar negeri sehingga memilih kuliah di almamaternya sendiri.  Padahal dunia yang terbuka bisa membukakan sejuta kesempatan untuk maju.  Anda bisa mendapatkan sesuatu yang yang terbayangkan, pengetahuan, teknologi, kedewasaan, dan wisdom. Namun beruntunglah, pertanyaan seperti itu tak pernah ada di kepala para pelancong, dan diantaranya adalah mahasiswa yang dikenal sebagai kelompok backpackers. Mereka adalah pemburu  tiket dan penginapan super murah, menggendong ransel butut dan bersandal jepit, yang kalau kehabisan uang bekerja di warung sebagai pencuci piring.  Perilaku melancong mereka sebenarnya tak ada bedanya dengan remaja-remaja Minang, Banjar, atau Bugis, yang merantau ke Pulau Jawa berbekal seadanya.Ini berarti tak banyak orang yang paham bahwa bepergian keluar negeri sudah tak semenyeramkan, sejauh, bahkan semewah di masa lalu. Seorang mahasiswa asal daerah yang saya dorong pergi jauh, sekarang malah rajin bepergian.  Ia bergabung ke dalam kelompok PKI (Pedagang Kaki Lima Internasional) yang tugasnya memetakan pameran-pameran besar yang dikoordinasi pemerintah. Disana mereka membuka lapak, mengambil resiko, menjajakan aneka barang kerajinan, dan pulangnya mereka jalan-jalan, ikut kursus, dan membawa dolar.  Saat diwisuda, ia menghampiri saya dengan menunjukkan pasportnya yang tertera stempel imigrasi dari 35 negara.  Selain kaya teori, matanya tajam mengendus peluang dan rasa percaya tinggi.  Saat teman-temannya yang lulus cum-laude masih mencari kerja, ia sudah menjadi eksekutif di sebuah perusahaan besar di luar negeri. The Next Convergence Dalam bukunya yang berjudul The Next Convergence, penerima hadiah Nobel ekonomi Michael Spence mengatakan,  dunia tengah memasuki Abad Ke tiga dari Revolusi Industri.  dan sejak tahun 1950, rata-rata pendapatan penduduk dunia telah meningkat dua puluh kali lipat.  Maka kendati penduduk miskin masih banyak, adalah hal yang biasa kalau kita menemukan perempuan miskin-lulusan SD dari sebuah dusun di Madura bolak-balik Surabaya-Hongkong. Tetapi kita juga biasa menemukan mahasiswa yang hanya sibuk demo dan tak pernah keluar negeri sekalipun.  Jangankan ke luar negeri, tahu harga tiket pesawat saja tidak, apalagi memiliki pasport.Maka bagi saya, penting bagi para pendidik untuk membawa anak-anak didiknya melihat dunia.  Berbekal lima ratus ribu rupiah, anak-anak SD dari Pontianak dapat diajak menumpang bis melewati perbatasan Entekong memasuki Kuching.  Dalam jarak tempuh sembilan jam mereka sudah mendapatkan pelajaran PPKN yang sangat penting, yaitu pupusnya kebangsaan karena kita kurang urus daerah perbatasan. Rumah-rumah kumuh, jalan berlubang, pedagang kecil yang tak diurus Pemda, dan infrastruktur yang buruk ada di bagian sini.  Sedangkan hal sebaliknya ada di sisi seberang. Anak-anak yang melihat dunia akan terbuka matanya dan memakai nuraninya saat memimpin bangsa di masa depan. Di universitas Indonesia, setiap mahasiswa saya diwajibkan memiliki pasport dan melihat minimal satu negara. Dulu saya sendiri yang menjadi gembala sekaligus guide nya.  Kami menembus Chiangmay dan menyaksikan penduduk miskin di Thailand dan Vietnam bertarung melawan arus globalisasi.  Namun belakangan saya berubah pikiran, kalau diantar oleh dosennya, kapan memiliki keberanian dan inisiatif? Maka perjalanan penuh pertanyaan pun mereka jalani.  Saat anak-anak Indonesia ketakutan tak bisa berbahasa Inggris, anak-anak Korea dan Jepang yang huruf tulisannya jauh lebih rumit dan pronounciation-nya sulit dimengerti menjelajahi dunia tanpa rasa takut. Uniknya, anak-anak didik saya yang sudah punya pasport itu 99% akhirnya dapat pergi keluar negeri.  Sekali lagi, jangan tanya darimana uangnya.  Mereka memutar otak untuk mendapatkan tiket, menabung, mencari losmen-losmen murah, menghubungi sponsor dan mengedarkan kotak sumbangan.  Tentu saja, kalau kurang sedikit ya ditomboki dosennya sendiri. Namun harap dimaklumi, anak-anak didik saya yang wajahnya ndeso sekalipun kini dipasportnya tertera satu dua cap imigrasi luar negeri. Apakah mereka anak-anak orang kaya yang orangtuanya mampu membelikan mereka tiket? Tentu tidak.  Di UI, sebagian mahasiswa kami adalah anak PNS, bahkan tidak jarang mereka anak petani dan nelayan.  Tetapi mereka tak mau kalah dengan TKW yang meski tak sepandai mereka, kini sudah pandai berbahasa asing. Anak-anak yang ditugaskan ke luar negeri secara mandiri ternyata memiliki daya inovasi dan inisiatif yang tumbuh.  Rasa percaya diri mereka bangkit.  Sekembalinya dari luar negeri mereka membawa segudang pengalaman, cerita, gambar dan foto yang ternyata sangat membentuk visi mereka. Saya pikir ada baiknya para guru mulai membiasakan anak didiknya memiliki pasport.  Pasport adalah tiket untuk melihat dunia, dan berawal dari pasport pulalah seorang santri dari Jawa Timur menjadi pengusaha di luar negeri.  Di Italy saya bertemu Dewi Francesca, perempuan asal Bali yang memiliki kafe yang indah di Rocca di Papa. Dan karena pasport pulalah, Yohannes Surya mendapat bea siswa di Amerika Serikat.  Ayo, jangan kalah dengan Gayus Tambunan atau Nazaruddin yang baru punya pasport dari uang negara. Rhenald Kasali Guru Besar Universitas Indonesia

Bermimpilah, Selalu Ada Yang Pertama Untuk Segalanya Saya teringat akan tulisan di atas karena pada bulan awal bulan Oktober 2012 yang lalu bernostalgia tentang perjalanan pertama saya ke luar negeri, ke negara yang tidak berbahasa Indonesia. Bulan September 2010, saat itu pertama kali saya menggunakan paspor untuk pergi ke sebuah negeri yang antah berantah. Jika disana malam, maka di Indonesia siang, begitu sebaliknya. Suhu udara di sana rata-rata lebih kurang sama dingin dengan suhu kulkas, kadang pernah sedingin freezer yang suhunya mencapai  minus derajat celcius. Nama negaranya Kanada. Asal usul mengapa saya bisa sampai kesana. Singkat cerita dalam sebuah kesempatan, ada sebuah tes yang dilaksanakan oleh Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora) Riau. Di Provinsi lan juga melakukan hal yang sama. Peserta yang terpilih berhak mengikuti kegiatan yang bernama Pertukaran Pemuda Antar Negara (PPAN) ke beberapa negara tujuan. Jadi saya ikut tes itu 3 kali (tes dilaksanakan sekali setahun) dan akhirnya terpilih untuk negara tujuan Kanada di tahun 2010. Seluruh biaya perjalanan itu ditanggung oleh sponsor, negara Kanada dan Indonesia. Lebih kurang pengalaman di Kanada seperti yang ada di novel karya Ahmad Fuadi yang berjudul Ranah 3 Warna. Saya ikut program yang sama seperti beliau ikuti. Di Kanada saya tinggal disana selama 3 bulan, bersama 29 orang lainnya yang berasal dari tiap-tiap provinsi di Indonesia. Totalnya 30 orang, dibagi menjadi 3 kelompok dan tinggal di 3 kota yang berbeda. Tiap-tiap kelompok totalnya 10 orang dan dipasangkan dengan 10 orang Kanada. Nikmat sekali rasanya tinggal di negara itu, yang kata orang adalah salah satu negara yang paling diinginkan untuk ditinggali. Udaranya bersih seperti tidak ada polusi. Tingkat kriminalitas rendah, jika keluar rumah atau memarkirkan mobil tak masalah jika tak dikunci. Koneksi internet cepat. Jalan raya mulus dan lurus. Pendidikan gratis hingga tingkat SMA, layanan kesehatan pun begitu. 3 bulan berlalu dan kami pun kembali ke Indonesia. Sesampainya di Indonesia, kami kembali hidup seperti semula. Saya dan mungkin kami semua yang pergi dan pulang dalam satu rombongan berfikir. Mengapa negeri kami tak seperti Kanada? Macet, polusi, mati lampu, sekolah tidak gratis, berobat mahal, dan hal negatif lainnya. Tapi memang terasa nyaman setibanya di Indonesia. Bisa merasakan udara yang tidak sedingin di Kanada. Selera terpuaskan dengan segala jenis makanan, nasi goreng, nasi padang, nasi uduk, nasi gudeg, nasi rawon, dan segala jenis masakan khas Indonesia. Ada pepatah yang berbunyi: "hujan emas di negeri orang, masih lebih baik hujan batu di negeri sendiri". Pepatah itu betul. Pun seperti dalam penggalan lagu Tanah Air ciptaan Ibu Soed.

Tanah air ku tidak kulupakan Kan terkenang selama hidupku Biarpun saya pergi jauh Tidakkan hilang dari kalbu Tanah ku yang kucintai Engkau kuhargai

Walaupun banyak negeri kujalani yang mahsyur permai di kata orang Tetapi kampung dan rumahku Disanalah ku rasa senang Tanah ku tak kulupakan Engkau kubanggakan

Tanah air ku tidak kulupakan Kan terkenang selama hidupku Biarpun saya pergi jauh Tidakkan hilang dari kalbu Tanah ku yang kucintai Engkau kuhargai Tapi bukankah akan lebih baik jika negeri yang nyaman untuk kita tinggali ini juga sama mahsyur permai seperti negeri orang lain? Maka saya berpendapat "sebaik-baiknya hujan adalah hujan emas di negeri sendiri". Does it make sense??

Beruntung rasanya bisa pergi ke suatu tempat yang dalam banyak hal berbeda dengan tempat kita tinggal. Beruntung bisa melihat bagian lain dari belahan dunia. Dan yang paling beruntung adalah karena perjalanan ini dibiayai negara alias gratis.

Semoga semakin banyak anak bangsa ini yang dapat kesempatan melihat negara lain. Tentunya tidak hanya sekedar melihat dan jalan-jalan, tapi kembali pulang dengan segudang pengalaman untuk dimanfaatkan dalam memberikan "sesuatu " untuk negara. Ketika pulang muncul keinginan untuk membuat "rumah" ini senyaman "rumah" orang lain. Cara tercepat dan termudah untuk ke luar negeri adalah dengan uang. Tentukan negara tujuan, urus visa, beli tiket pesawat, persiapkan akomodasi selama disana, dll. Tetapi ika tidak punya, berharaplah ada yang mau membayarkan. Kalau saya, beruntung bisa ke Kanada dan dibayarkan. Alhamdulillah.

Mungkin ini juga mendasari kenapa akhir-akhir ini sering kita dengar di berita, pejabat, anggota DPR, dan mereka yang pergi studi banding ke negara lain dengan biaya negara. Mungkin mereka ingin belajar sebanyak mungkin tentang kemajuan di negara lain, kemudian membawa pengalaman tersebut untuk modal merubah Indonesia menjadi semaju negara lain. Mungkin, apa salahnya ber-positive thinking :)

Selamat Hari Sumpah Pemuda..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun