Baru-baru ini saya membaca sebuah petisi untuk mengembalikan kebijakan WFH pasca penghapusan sistem PPKM pada 30 Desember 2022 lalu, petisi tersebut kabarnya sudah mencapai 12 ribu penanda tangan.Â
Petisi itu diinisiasi oleh Riwaty Sidabutar. Menurutnya, ia mengaku stress bahkan tidak senang jika ia harus kembali bekerja di kantor. Menurut pandangannya, bekerja di kantor belum tentu meningkatkan produktifitas dirinya dan pegawai kantoran pada umumnya.Â
Ia beralasan, negara Belanda sudah menerapkan sistem WFH dan juga WFO bahkan sebelum wabah Covid menyerang. Ia juga meminta agar sistem pilihan WFH atau WFO itu diterapkan di Indonesia.Â
Menurut saya, sebagai seorang pencari kerja karena sudah hampir 2,5 Tahun menganggur akibat wabah kebijakan WFH ini sangat tidak ideal diterapkan secara terus menerus di Indonesia
Alasannya, kebijakan WFH adalah kebijakan 'gagal move on' sebab, dikebanyakan negara pasca-Pandemi yang sudah berlangsung selama 3 Tahun ini sudah banyak yang menyuarakan agar mereka kembali bekerja di Kantor.Â
Alasannya, dengan bekerja di kantor maka spirit mereka untuk keluar rumah semakin tinggi dan kita akan lebih banyak bergerak aktif diluar sana.Â
Sebagian dari mereka menganggap bahwa dengan bekerja dirumah mereka tidak fokus bekerja karena ada anak mereka yang masih kecil dan tidak ada yang mengasuhnya.Â
Apalagi jika anak kecilnya itu sangat hiperaktif, maka bisa saja orangtuanya tidak fokus bekerja bahkan ia bisa saja ditegur atasannya karena ketidak fokusannya akibat tingkah anaknya itu.Â
Karena itu, petisi yang dibuat ini hanya diperuntukkan bagi kaum yang lemah dan malas. Niatnya mungkin hanya mengurangi kemacetan dan polusi tetapi sebenarnya memang dia yang malas, ataupun mentalnya yang lemah
Memang, kebijakan WFH sendiri beru diterapkan sejak wabah Covid melanda di Indonesia. Suka tidak suka para pekerja baik itu pegawai swasta, BUMN ataupun ASN harus mengikutinya.Â