Mohon tunggu...
Radhiyah Radhiyah
Radhiyah Radhiyah Mohon Tunggu... Guru - Guru

guru yang senantiasa belajar

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Islamisasi Ilmu, Ilmuisasi Islam dan Integrasi Ilmu

8 Desember 2022   10:02 Diperbarui: 9 Desember 2022   08:36 3198
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

ISLAMISASI ILMU, ILMUISASI ISLAM

DAN INTEGRASI ILMU

Oleh:      

RADHIYAH 

 

PENDAHULUAN          

Allah SWT memerintahkan kepada seluruh ummat manusia untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dengan cara mengembangkan pemikiran pemikiran tentang seluruh yang ada di jagat raya ini melalui proses berpikir, mengamati, dan meneliti alam semesta. Al-Qurn menantang manusia untuk meneliti alam semesta hingga sekecil-kecilnya. Dalam Al-qur'an surah al-Ghasiyah, (88): 17-20 Allah Berfirman;

"Tidakkah mereka perhatikan bagaimana unta diciptakan, langit ditinggikan, gunung ditegakkan dan bumi dihamparkan". Ayat-ayat tersebut jika diresapi maknanya secara mendalam, sebenarnya merupakan perintah dan anjuran mengggali ilmu pengetahuan seluas-luasnya dengan melakukan riset terhadap alam semesta. Persoalannya adalah, bahwa selama ini para ilmuan seperti; ahli biologi, kimia, fisika, sosiologi, psikologi dan seterusnya, dalam mengembangkan dan meneliti alam semesta belum mengacu kepada ayat-ayat al-Qur'an. Sementara kebanyakan para ulama yang menekuni al-Qurn dan Hadits berhenti pada kajian teks saja, belum sampai pada konteks yang melahirkan semangat untuk meneliti alam semesta ciptaan Allah secara ilmiah sebagaimana yang dipesan al-Qurn.

Setelah munculnya filsafat sains modern pada abad ke 17 dan 18  yang mengusung 3 landasan filosofisnya yang memandang ilmu pengetahuan sebagai filsafat positivism, materialism dan pragmatism yang menggeser dominasi agama dan mengantikannya dengan sains modern yang menegaskan sekulerisme sebagai dasar sains modern. Hal ini terutama sekali terjadi penyangkalan filsafat positivism terhadap metafisika yang ingin menyingkirkan Tuhan dan etika kerja dalam ilmu pengetahuan. Meskipun kemajuan dari sains modern mampu menciptakan teknologi bagi kehidupan manusia namun filsafat ini tidak mampu menjawab persoalan persoalan non saintifik seperti makna kehidupan dan juga eksistensi Tuhan.

Berbagai sikap dari Ilmuan Muslim mulai muncul dan melahirkan pemikiran sains Islam sebagai dasar nilai nilai yang universail agama (Islam) dengan mengintegrasikan ilmu pengetahuan dan sains Islam tanpa adanya pengabaian atau penolakan pada capaian capain sain modern. Sejak abad pertengahan sejarah Islam sampai saat ini muncul pengelompokan disiplin ilmu agama dan ilmu umum yang secara implicit menunjukkan adanya dikotomi ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan yang dikaji dari al Qur'an dan hadits dipahami sebagai ilmu pengetahuan Islam, di sisi lain, ilmu yang dikaji/bersumber dari alam dipahami sebagai ilmu pengetahuan umum.

Jika pemisahan antara ilmu pengetahuan (sains Modern dangan sains Islam berlangsung terus-menerus akan berdampak negative bagi kehidupan manusia, dimana ilmu pengetahuan umum menjadi sekuler (bebas nilai). Sementara sains Islam dianggap hal yang tidak menguntungkan dan sia sia karena memikirkan yang tidak nyata secara empiris bagi perkembangan sains modern. Kondisi seperti inilah memotivasi para cendekiawan muslim berusaha mengintegrasikan antara keduanya. Langkah-langkah yang ditawarkan antara lain adalah: Islamisasi dan Integrasi Ilmu dengan menjadikan al Qur'an dan Sunnah sebagai sumber pengetahuan yang memiliki hubungan yang terikat.

PEMBAHASAN

  • Pengertian Islamisasi, Ilmuisasi dan Integrasi Ilmu

Islamisasi berasal dari kata "Islam" yang merupakan salah satu Agama yang dibawa oleh Rasulullah Nabi Akhir zaman yang mengambil pijakan berfikir yang bersumber pada Al-quran dan hadits.  Islamisasi menurut Echols dan Hasan Sadiliy berasal dari kata "Islamization" dalam kamus Bahasa Inggris to Inggris adalah kata benda Islamize (kata Kerja) bermakna "Convert to Islam" atau "mempercayai ajaran Islam" ditambah imbuhan "zation" yang merupakan bentukan kata kerja menjadi kata benda abstrak yang memiilki makna "pengIslaman"[1] 

 Islamisasi ilmu merupakan upaya untuk mengislamkan ilmu pengetahuan yang dihasilkan oleh ilmuwan barat atau disebut dengan sains modern dengan cara membangun dan merumuskan sains Islam. Dapat disimpulkan bahwa Islamisasi ilmu merupakan upaya untuk mengalihkan konteks kepada teks.[2] 

 Pengilmuan Islam (scientification of Islamic) dapat di jelaskan sebagai usaha untuk mengembangkan dan memposisikan sumber ilmu pengetahuan yang berasal dari Al-Qur'an dan Hadits bagi umat Islam. Dalam fungsinya memiliki seteraan antara manusia alam semesta dan juga sumber hukum Alqur'an. Ilmuwan muslim meyakini bahwa Alqur'an sebagai sumber ilmu yang dapat dikembangkan menjadi berbagai bentuk teori pengetahuan yang menjawab perkembangan zaman baik dalam hukum, kebenaran, ilmu sosial maupun sains. Dengan menjadikan Al-qur'an sebagi sumber ilmu akan menempatkan Islam (teks al Qur'an) sebagai sebuah paradigma dalam memotret realitas dimana sakralisasi teks (ayat ayat Al-qur'an) yang normatif diarahkan kepada konteks. Dengan demikian pengilmuan Islam merupakan usaha menjembatani menghubungkan  antara ilmuwan barat (sains modern) dan Ilmuan Muslim (sains Islam) sehingga tidak terjadi dikatomi yang terus bertentangan.

 Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia kata "Integrasi" bermakna "penyatuan supaya menjadi bulat atau utuh".[3]  Menurut Wathoni, L. M. N. (2018) yang dikutip oleh Muhamad Tisna Nugraha, menyatakan makna dari "integrase" diambil dari kata dasar "to integrate" yang bermakna melakukan penggabungan suatu unsur dengan unsur yang lain menjadi sesuatu yang lain yang lebih baik.[4] 

 sementara integrasi ilmu dipahami sebagai usaha menggabungkan atau mengkombinasikan suatu ilmu dengan ilmu yang lain yang menjawab kebenaran dari sudut pandang yang berbeda, baik dalam sudut pandang pengetahuan umum maupun sisi agama.

 Hubungan Ilmu dan Agama 

Agama Islam Meyakini bahwa, ilmu pengetahuan adalah bagian dari sarana mengenal pencipta dan memperkuat keimanan kepada sang pencipta. Menuntut ilmu dalam pandangan orang mukmin adalah, sama hal nya seperti berjihad di jalan Allah. Seperti firman Allah dalam Al-qur'an Surat At Taubah Ayat ke 122 sebagai berikut;

 Artinya;

 "Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya."[5]

 Para mufasir menjelaskan bahwa kedudukan ilmu pengetahuan bagian terpenting dalam membangun hubungan dengan Allah SWT. Bagaimana seorang muslim akan beribadah dengan benar  tanpa pengetahuan yang cukup serta untuk memahami esesnsi dari ibadah yang dilakukan. Dengan demikian hubungan ilmu dalam pandangn Islam adalah dasar dari setiap amalan.

Sementara Albert Einsten mengatakan hubungan antara ilmu dan agama adalah suatu kesatuan yang saling membutuhkan, ilmuan yahudi tersebut berkata;"science without religion is blind and religion without science is lame", yang bermakna bahwa "ilmu tanpa agama buta, dan agama tanpa ilmu adalah lumpuh".[6] Para ilmuan modern maupun cendikiawan muslim memandang hubungan Agama dan ilmu pengetahuan sebagai satu kesatuan yang memberi manfaat yang luar biasa dalam kehidupan. Mereka memandang agama sebagai inti kehidupan sementara ilmu pengetahuan adalah alat untuk mempelajari lebih dalam Agama dan mengamalkan pokok pokok ajarannya. Seperti halnya Alqur'an yang merupakan paradigm dalam memperoleh ilmu pengetahuan dari teks wahyu (kalam Alqur'an) kearah konteks kehidupan nyata manusia.  

Sekitar abad ke 13 sampai ke 19 Peradaban Umat Islam yang dikenal dengan Golden Age (jaman Keemasan) mengalami kemunduruan, Ilmuan Barat mengambil kesempatan memanfaatkan pengembangan ilmu pengetahuan yang telah terlebih dahulu dipelahari dari ilmuan muslim sehingga mencapai jaman renaissane. Sains atau Ilmu pengetahuan umum sangat berkembang pada saaat itu dibandingkan dengan ilmu pengetahuan Islam. Sehingga dalam kemunduran peradaban Islam muncullah dikatomi ilmu pengetahuan hingga kearah sekulerisme ilmu pengetahuan. 

Tokoh sekulerisme ilmu pengetahuan tidak hanya terjadi pada agama Islam, Galileo (1564-1633M) pernah dihukum mati karena dianggap menentang pihak gereja setelah mengeluarkan pendapat yang bertentangan dengan pandangan Gereja. Galileo menguatkan pendapat Copernicus, ia berpendapat bahwa matahari merupakan central jagat raya dengan mempertimbangkan hasil observasi dan data empiris yang diperoleh. Teori tersebut dikenal dengan Heliosentris. sementara pihak gereja meyakininya sesuai Bibel bahwa bumi sebagai pusat jagat raya atau disebut Geosentrisme. Dengan adanya kedua pandangan tersebut, makan muncullah dokrin sekulerisme yang anti pada dokrin agama. Hal ini membuat kepercaaayn terhadap gereja menurun.

Terdapat 3 paradigma sekulerisme ilmu pengetahuan oleh para ilmuan modern saat itu antara lain; sekulerisasi secara ontologis, methodelogis dan aksiologis. Pandangan Sekularisasi ilmu pengetahuan secara ontologis ini berusaha meninggalkan segala yang bersifat religius dan mistis, karena dianggap tidak relevan dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Pemikiran tentang Alam dipisahkan dari sesuatu yang bersifat ruh dan spirit dan didesakralisasi (mereka berfikir bahwa di alam ini tidak ada yang sakral).  Kedua, Sekularisasi ilmu pengetahuan dari segi epistimologi. Ilmuan menggunakan epistemologi rasionalisme dan empirisme, yang menyatakan bahwa rasio adalah alat pengetahuan yang obyektif karena dapat melihat realitas dengan konstan dan epistemologi empirisme memandang bahwa sumber pengetahuan yang absah adalah empiris (pengalaman). Yang terakhir adalah Sekularisasi ilmu pengetahuan pada aspek aksiologi yang memandang ilmu pengetahuan bebas dari pengaruh agama, pandangan ini muncul dilatarbelakangi oleh adanya tindakan gereja yang membatasi potensi manusia.[7]

Sedangkan dalam pandangan Islam, alam semesta sebagai obyek ilmu pengetahuan, proses pencarian ilmu tidak bagaimana menggunakan akal atau rasio maupun empiris namun juga melibatkan hati (kalbu) sebagai pandangan intuisi kebatinan yang suci. Rasio dan empiris akan menjelaskan fakta yang terjadi dan hati akan memaknai fakta sehingga dapat dianalisis dan disimpulkan sebagai makna-makna atau nilai. Seperti firman Allah dalam Al-Qur'an surah fusshilat ayat ke 11 

Artinya; 

"Dia kemudian menuju ke langit dan (langit) itu masih berupa asap. Dia berfirman kepadanya dan kepada bumi, "Tunduklah kepada-Ku dengan patuh atau terpaksa." Keduanya menjawab, "Kami tunduk dengan patuh."[8] 

Dalil yang serupa juga terdapat pada dalil dalam Alqur'an surah Al Anbiya ayat ke 30 tentang bagaimana langit dan bumi yang dahulu merupakan suatu kesatuan, lalu kemudian dipisahkan oleh Allah SWT. Dalam integrasi Ilmu dan Islamisasi Ilmu, Para Ilmuan kosmologi modern menyebutkan proses terjadinya alam semesta dalam teori ilmu pengetahuan disebut Big bang.

Pada hakikatnya, Para cendekiawan muslim berusaha keras dalam mengintegrasikan kembali ilmu dan agama. Menurut Ian G. Barbour, yang dikutip oleh Danial[9],  pola hubungan antara ilmu pengetahuan dan agama dapat diklasifikasikan menjadi 4 hubungan  yaitu;

Hubungan Konflik dimana ilmu dan agama dihadapkan pada hal yang bertentangan. Konflik ini dipicu atas pengaburan antara batas batas sains dan agama yang menjawan pertanyaan yang sama sehingga orang harus memilih salah satu diantaranya. 

Hubungan independen yaitu adanya perkembangan ilmu dan agama yang berjalan secara terpisah. Situasi hubungan tersebut menggambarkan seolah olah agama dan ilmu adalah dua hal yang berbeda dan tidak dapat disatukan. 

Hubungan Dialog merupakan terobosan terhadap pemikiran independesi agama dan ilmu pengetahuan yang tidak menghasilkan perkembangan yang signifikan dalam integrasi ilmu dan agama. Sehingga muncul kesadaran untuk mengadakan dialog dan saling mengkomunikasikan pemahaman tentang ilmu dan agama. 

Hubungan Integrasi, Hubungan ini mulai muncul pada era modern dengan tujuan untuk meningkatkan hubungan ilmu dan agama dari taraf dialog kearah integrasi (Penggabungan sains Modern dan sains Islam). Dari kalangan Ilmuan muslim muncul beberapa tokoh yang mempolopori gerakan integrasi ilmu agama dan Islam seperti; Ismail Al Faruqi, Naquib Al Attas, Abdullah Sa'ed, Mahdi Ghulsyani. Sementara di Indonesia muncul tokoh yang menggerakkan proses ilslamisasi dan integrase ilmu seperti; Mulyadi Kertanegara, Hanna Djumhana Bastamam dan kuntowijoyo.[10]

Menyikapi gagasan Islamisasi dan integrasi ilmu, Ziau al-din  Sardar menyatakan bahwa Ilmuan muslim terbagi menjadi 3 kelompok. Pertama kelompok muslim apologestik, mereka berupaya melegitimasi hasil ilmu pengetahuan modern dengan mencari ayat ayat yang sesuai dengan berbagai teori sains modern. Mereka menganggap bahwa sains modern bersifat universal dan netral. Kelompok yang kedua adalah ilmuan muslim yang masih bekerja dengan sains modern dalam waktu yang bersamaan juga berupaya mempelajari sejarah dan filsafat ilmu modernnya yang sesuai ataupun menyimpang dengan ajaran Islam. Mereka beranggapan bahwa fungsi sains modern yang termodifikasi selaras Islam dimana dapat memenuhi manusia dalam kehidupan. Kelompok yang ketiga, berpandangan bahwa agama Islam sesuai dengan fitrah manusia dan mampu merespon dinamika dan kompleksitas permasalahan yang dihadapi manusia.

Ketiga kelompok muslim ini, dalam konteks hubungan ilmu dan agama masih melakukan ini masih pada tahap independen dan dialog, dan belum mengintegrasi ilmu dan agama. Sehingga muncullah kelompok lain yang menyempurnakan pandangan ilmuan sebelumnya dan  melakukan integrase ilmu dan agama. Kelompok ini diwakili oleh Muhammad Amin Abdullah, Azyumardi Azra, Armahedi Mahzar, Abdullah Sa'ed dan Jasser "Audah.[11]

Perbedaan pendapat dari ilmuan muslim dalam merespon sains modern dan isu Islamisasi Ilmu pada dasarnya mereka memiliki latar belakang dan tujuan yang sama dalam membentuk sains Islam. Mereka berargumen tentang pentingnya system sains modern dalam memenihi kebutuhan hidupnya baik secara material maupun spiritual. Meskipu secara sosiologis, budaya dan geologis sains barat akan memiliki perbedaan dengan mereka yang berada di wilayah Timur. Mereka juga berargumen tentang eksistansi peradaban Islam yang dulu pernah berkembang dengan harapan sains Islam memiliki harapan besar untuk berkembang kembali. Disamping itu dalam menghadapi kompleksitas perkembangan ilmu di era kontemporer, Umat Islam harus memandang Ilmu pengetahuan modern secara integral dan komprehensif karena memiliki kontribusi dalam perkembangan kebutuhan hidup manusia.

Islamisasi dan Integrasi Ilmu

 Sejarah Islamisasi Ilmu 

Islamisasi ilmu  awal nya muncul pada awal perkembangan Islam yang terus berkembang tanpa henti. Surat Al Alaq merupakan salah satu hujjah yang mempertegas ruh Islamisasi Ilmu pengetahuan dimana makna dari terjemahan ayat tersebut menyebutkan perintah untuk menggunakan segala usaha berfikir dengan landasan ketuhanan. Ulama besar Quraish Shihab, menafsirkan kata iqra' bismi rabbik adalah "bacalah melalui proses mengkaji dan mempelajari pengetahuan, bergeraklah mengembangkanya, bekerjalah dengan usaha usaha mu demi Tuhan mu (Allah SWT) karena asal mula kejadian manusia dan sumber dari segala ilmu pengetahuan bersandarkan dari Allah SWT" (1997: 82)[12].  

Pada masa khalifah bani Abbassiyah, pada abad ke 8 Masehi, perkembangan Islamisasi Ilmu mengalami masa kejayaan, dimana kala itu lahir pemikiran Islmanisasi melalui karya karya dari Persia yang dikembangkan oleh Imam Al Ghazali (1058-1111M)  dalam karya besarnya seperti Kitab "Ihya Ulumuddin", "al-Munkiz min ad-dalal" (penyelamat dari kesesatan) dan "Tahafut al falasifah" (Kerancuan Filsafat) yang mengadopsi konsep Agama Islam dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan mengkritik konstruksi filosofi Yunani terutama dalam bidang metafisika.  Al Ghazali berupaya meluruskan konsep berfikir filsuf yunani yang berpotensi merancukan akidah umat Islam. Menurut Imam Al Ghazali, Ilmuwan disebut juga teolog, Filosof, Taklimiyah dan Sufi. Sementara klasifkasi ilmu pengetahuan dapat dikategorikan dalam ilmu syariyah (naqliyah) dan ilmu ghairi syariyah (aqliyah). Pengklasifikasian ini dalam filsafat disebut juga dengan ilmu teoritis dan ilmu praktis.

Dalam catatan sejarah, Gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan telah terjadi disaat diadakannya Konfrensi dunia pertama tentang Pendidikan Islam tahun 1977 di Mekkah yang membahas 150 makalah yang ditulis oleh ilmuan ilmuan Islam seluruh dunia. Tema yang diusung adalah Islamisasi Ilmu pengetahuan.[13] Pada saat itu, Syed M. Naquib al-Attas mengembangkan konsep Islamisasi ilmu dan mendirikan International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC) di Kuala Lumpur pada tahun 1987. 

Syed M. Naquib al-Attas mengembangkan konsep Islamisasi yang dilakukan dengan proses isolasi unsur dan konsep konsep sains modern sebagai kunci peradaban barat yang bertentangan dengan Konsep ajaran Islam dengan cara mengadapsi unsur-unsur Islam dalam konsep-konsep kunci ilmu pengetahuan sains modern (Armas, 2009: 9).[14] 

Syed M. Naquib al-Attas menerangkan bahwa Islamisasi Ilmu dikalangan umat Islam mencakup aspek ontologis, epistemologis  dan aksiologis. Ia meyakini tidak semua aspek tersebut bertentangan dengan Islam, karena itu adanya keharusan untuk Islamisasi. Secara ontologis, konsep Islamisasi dimulai dari metafisika sebagai dasar sains Islam. Dalam sains modern seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa filsafat positivism, materialism dan sekulerisme telah menafikan metafisika dalam ilmu pengetahuan karena menjadikan objek yang teramati adalah dasar kajian sains. 

Menurut Al Attas, objek sains terbagi kedalam alam material dana alam immaterial. Dimana dunia fisik yang dianggap fenomena dunia nyata (alam semesta) bukan sekedar manifestasi namun secara fungsional. ia adalah jalan menuju realitas absolut yaitu wujud nyata yang tunggal yaitu keesaan dan kebenaran Allah SWT. Alam semesta juga merupakan realitas yang tergantung dan tidak dapat berdiri sendiri.

Secara epistemologis, metode ilmu yang diterapkan antara sain barat dan sains Islam relative sama. Namun ada perbedaan dalam sumber ilmu, dimana sains barat menitik beratkan pada objek teramati sementara sains Islam melampaui hal hal yang teramati (meliputi inderawi lahir dan indera batin).  Sementara secara aksiologis (kegunaan ilmu bagi manusia), ia meyakini bahwa, ilmu pengetahuan modern tidak serta merta dapat digeneralisasikan sebagai aspek bertentangan dengan nilai-nilai ketauhidan Islam, Al faruqi meyakini keharusan adanya filter terhadap ilmu pengetahuan. Analisis terhadap ilmu modern perlu dilakukan supaya unsur-unsur buruk dapat dihilangkan. sehingga jika semua aspek ilmu tersebut tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam maka ilmu tersebut dapat terus dikembangkan.

Di kancah internasional, kesepahaman konsep Naquib Al Attas dalam gagasan teori Islamisasi Ilmu kembali digaungkan oleh Ismail Raji al-Faruqi[15] (1921), seorang ilmuwan Muslim yang berasal dari Palestina yang mendirikan International Institute of Islamic Thought (IIIT) di Washington DC. Menurut Al Faruqi, problematika yang sedang dihadapi umat Islam berangkat dari system pendidikan, dimana konsep kurikulum Islam. Fenomena yang terjadi adalah mereka mencoba mengejar ketertinggalan dibidang fasilitas fasilitas pendidikan yang modern seperti laboratorium, perpustakaan, alat peraga namun melupakan nilai nilai dasar wawasan keislaman. Sehingga tampak seperti upaya membangun dan mengembangkan karikatur pendidikan barat di dunia Islam. Tanggung jawab terbesar dari umat islan terutaman para ilmuan Islam adalah bagaimana memperbaiki system pendidikan umat islam. 

Konsep sistem pendidikan yang diusung oleh Al Faruqi[16] adalah bagaimana memadukan system pendidikan Islam dan modern dengan menanamkan wawasan keislaman kepada umat islam. Maka hal yang perlu dilakukan adalah mempelajari kembali peradaban dan kebudayaan Islam dan juga islamisasi Ilmu pengetahuan modern dengan prinsip prinsip pokok dalam metodelogi  Islam yaitu; 

Ketauhidan (Keesaan Tuhan),

Keesaan pemahaman tentang Alam semestra (Kesatuan Penciptaan) yang meliputi pemahaman tentang tata kosmis, tujuan ukhrawi penciptaan, ketundukan alam semesta kepada manusia.

Kesatuan Kebenaran dan Pengetahuan. kebenaran berasal pada realitas, dan realitas berasal dari Keesaan yaitu Tuhan. Maka, apa yang disampaikan melalui teks wahyu tidak akan berseberangan dengan realitas yang ada, karena kebenaran dan realitas diciptakan oleh Tuhan.

Kesatuan hidup yang meliputi hidup sebagai pengemban amanah dari Tuhan, khalifah dan kelengkapan

Kesatuan Umat Manusia yang merupakan makhluk universal meliputi seluruh ummat manusia didunia ini.  Dengan demikian pengembangan sains baik sain modern maupun sains Islam harus berdasar pada kemaslahatan manusia secara universal pula.

Adapun sintaks dari Model Islamisasi Ilmu Alfaruqi dapat digambarkan sebagai berikut;

Berdasarkan prinsip prinsip metodelogi Islam tersebut, Alfaruqi berusaha menyusun peta konsep perencanaan tindakan dalam Islamisasi ilmu pengetahuan yaitu melalui Penguasaan disiplim Ilmu modern, penguasaan Khazanah Islam, menentukan relevansi islam bagi setiap bidang ilmu modern, mencari sintesa kreatif antara khazanah Islam dan ilmu modern serta dapat mengarahkan aliran pemikiran Islam berdasarkan sumber ilmu yaitu Allah SWT.

Ilmuisasi Islam

Ilmuisasi Islam atau disebut dengan pengilmuan Islam muncul dari kerisauan ilmuan muslim pada perkembangan sains modern yang telah menyimpang dari spririt renaissance yang semula memiliki cita cita ingin memanusiakan manusia, namun dalam perjalannanya menjadi golongan sekulerisme dan tidak berkemanusiaan. Gerakan Islamisasi ilmu telah membangkitkan gagasan ilmuisasi Islam yang berpandangan secara tekstualisasi dalam mengaplikasikan sains modern sesuai dengan Sains Islam dalam teks wahyu. 

Para Ilmuwan muslim yang berupaya dalam mengembangkan konsep Ilmuisasi Islam (scientification of Islam) diantaranya adalah Mahdi Ghulsyani, Kuntowijoyo dan Ziau'al din Sadr yang mengkritik Al Faruqi terhadap pemikiran Islamisasi Ilmu yang dianggap dapat menjerumuskan umat Islam ke lembah pembaratan Islam. Ziau'al Din Sadr dalam Ilmuisasi Islam tidak mencoba menghubungkan sains modern dengan ajaran Islam, namun langsung melakukan pengkajian dari sumber otentik yaitu Alqur'an dalam merumuskan gagasan tentang sains Islam. Langkah tersebut dinamakan ilmuisasi Islam. 

Ziauddin Sardar mengkritik konsep Islamisasi ilmu pengetahuan Al-Faruqi yang berpendapat bahwa untuk menguasai sains islam, hendaknya memiliki penguasaan terhadap sains barat. Rekonstruksi pemikiran yang dibangun adalah tentang penggunaan terminology sains Islam yang bisa membangun sistem ilmu pengetahuan yang dibangun di atas pilar-pilar ajaran Islam. Sardar beranggapan tentang urgensi adanya ilmu pengetahuan Islam kontemporer dalam menghadapi ilmu pengetahuan modern Barat.

Menurut Islamisasi Ilmu Al Faruqi, Tuhan adalah kebenaran satu satunya yang mutlak dan tujuan ilmu pengetahuan adalah untuk mencari kebenaran tersebut. Konsep ini dianggap salah dan mendapat kritik dari Fazl Al Rahman dan Sardar. Adal 5 kritikan yang dilakukan diantaranya; pertama, pencarian kebenaran dianggap tidak pantas karena dalam melakukan penelitian, kerap menggunakan teknik teknik penyiksaan. Kedua, ketidakbenaran dunia disusun berdasarkan pandangan ilmu pengetahuan sosial barat terhadap realitas manusia, namun sains dan teknologilah yang menjaga struktur sosial, ekonomi, dan politik yang menguasai dunia. Ketiga, tujuan yang ingin dicapai dengan mengislamkan ilmu pengetahuan ke dalam disiplin yang dibentuk oleh persepsi, ideology, konsep, Bahasa, dan paradigm barat. Keempat, bagaimana ilmua muslim yang bekerja dalam paradigm paradigm yang berbeda dapat menyatukan berbagai disiplin ilmu dengan ilmuan barat. Kelima, pengkategorian sains modern tidak dapat diterima, karena sama seperti menganggap pandangan khazanah Islam lebih rendah dari barat. Karena itulah ilmuisasi Islam dalam merumuskan sains Islam merujuk pada sumber otentik yaitu Al'qur'an.

Tokoh Pengilmuan Islam Indonesia, Kuntowijoyo[18] dalam ilmuisasi Islam berupaya menjadikan alqur'an sebagai sumber utama ilmu umat Islam. Sebagai Sumber ilmu, menjadikan Alqur'an  sebuah teori tentunya akan memberi manfaat besar dalam posisi desakraalisasi teks. Selanjutnya, dalam implentasinya keterikatan antara ilmu dan nilai nilai ketuhanan yang terdapat pada teks wahyu akan melekat pada teori ilmu dan pengetahuan yang dihasilkan.

Ilmuan islam yang turut mengembangkan konsep ilmuisasi Islam berdasarkan sumber otentik Islam adalah Mahdi Ghulsyani. Ia mempunyai pendapat yang berbeda dengan Al Ghazali tentang klasifikasi ilmu secara dikatomis menjadi ilmu agama dan ilmu non agama. Ilmu agama diyakini adalah ilmu yang terpuji yang tidak sebatas ilmu tauhid dan hukum syariat  tentang halal dan haram saja, namun juga mencakup emapt kelompok. Pertama, Usul (ilmu dasar) yaitu Alqur;an, Sunnah, Ijma' dan pendapat para shahabat. kedua furu' yaitu (ilmu cabang atau ilmu sekunder) yang meliputi ilmu fiqih, akhlak dan pengalaman mistik atau tasawuf. ketiga, Muqaddimat yang merupakan studi pengantar meliputi unsur Bahasa arab dan yang terakhir Taklimat sebagai studi pelengkap yaitu; prinsip fikih, ilmu rijal al hadits dan lain lain.

Argumentasi Mahdi Ghulsyani yang kontra terhadap al Ghazali tentang klasifikasi ilmu yang menganggap ilmu non agama terpisah dari Islam adalah pandangan yang keliru karena keuniversalan Islam menjadi tidak utuh. Pemilahan kelompok ilmu dengan alasan ketidaksamaan konsep merupakan suatu kemunduran pemikiran. Ghulsyani memberi pandangan tengang konsep sains Islam yang bersesuaian dengan pandangan dunia Islam tentang realitas bahwa alam dicittakan Allah dan Allah sendiri yang memeliharanya. Langkah yang dilakukan adalah mengkontruksi kembali pra anggapan metafisik tentang cara kerja sains universal dan mematahkan cara pandang sekuler.

Dalam pandangan aksiologi, Mahdi Ghulsuyani berkeyakinan bahwa sains islam memiliki tujuan untuk mengenal Allah SWT dan melestarikan keseimbangan kehidupan masyarakat Islam. Dalam konteks tersebut Ghulsyani memandang Ummat Islam harus membekali dirinya dengan sains dan teknologi dalam kemerdekaan perkembangan masyarkat Islam dan meningkatkan aspek spiritual. Kerangka filosofis tersebut dikenal dengan konsep teologis dan sosiologis. Hal ini merupakan langkah agar umat Islam dapat mengejar ketertinggalan dari dunia Barat di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi dan upaya menyelamatkan dunia dari dampak sains modern.

Adapun saran yang diberikan adalah membebaskan pengetahuan ilmiah dari penafsiran meterialistik ke dalam ajaran Islam, merekonstruksi integrase antara ilmu agama dan ilmu alam dan terhindar dari konflik, melepaskan diri dari kengkangan Barat sehingga ilmuan muslim dapat bekerja tanpa kecemasan, menghilangkan ketergantungan dari buddaya import berbagai kebutuhan dan menguatkan kemandirian, membanguan hubungan komunikasi antar negara muslim dalam mengambangkan penelitian teknologi dan terakhir adalah pembentukan moralitas di perguruan tinggi dalam mempersiapkan lulusan yang beriman dan berilmu.

Pengilmuan islam atau ilmuisasi Islam ingin mengaskan bahwa ilmu bukan saja terdiri dari qauliyah dan kauniyah, tetapi juga merupakan bagian dari nafsiah. Dengan demikian agar Islam menjadi Ilmu, maka dilakukanlah demistifikasi yang merupakan lawan dari misifikasi (misteri). Mistifikasi yang dihadapi umat islam meliputi; Mistik metapisik yang merupakan konsep hilangnya seseorang dalam Tuhan yang dikenal Sufisme. Mistik sosial adalah hilangnya perseorangan dalam kelompok besar, sekte, organisasi dan masyarakat. Mistik etis adalah hilangnya kekuatan/daya seseorang akan nasipnya, yang disebut fatalism. Mistik penalaran adalah hilangnya nalar karena kejadian diluar akal sehat dan mistik kenyataan adalah hilangnya hubungan agama dengan kenyataan atau konteks. Teks wahyu yang kehilangan konteks sehingga adanya upaya menghubungkan kembali teks dengan konteks yang dikenal dengan demistifikasi. Demistifikasi islam merupakan salah satu langkah dalam gerakan ilmuisasi Islam[19]

Integrasi Ilmu

Islamisasi ialah sebuah karakter dan identitas Islam sebagai filsafat hidup yang mencakup epistemology dan konsep Ketuhanan (theology). Adapun tujuan dari integrasi ilmu merupakan upaya menjembatani permasalahan sains Modern dan agama yang melahirkan sekulerisme. Hal ini dimaksudkan agar dapat menggabungkan berbagai ilmu baik sain modern dan agama sehingga tidak ada lagi dikatomi. 

Konsep integrase ilmu yang digagaskan oleh Muhammad Amin Abdullah dikenal dengan paradigma Spider Web (Jaring Laba-laba) atau paradigma integrasi-interkoneksi. Dalam jaring laba-laba menjelaskan bahwa sumber dari segala ilmu itu adalah nash al-Qur'an atau Kalamullah dan alam semesta (hukum alam) Sunnatullah. Al-Qur'an dan alam semesta merupakan ciptaan Allah SWT dan juga disebut sebagai ayat-ayat Allah. Kalamullah disebut sebagai ayat-ayat qauliyah dan Sunnatullah disebut sebagai ayat Kauniyyah. Oleh karena itu, antara kalamullah dan Sunatullah tidak akan saling bertentangan. Jika ada pertentangan antara keduanya maka pasti ada salah satu pemahamannya yang salah. Semua ilmu pengetahuan yang ada dalam jaring laba-laba di atas digali dan dikembangkan dari dua sumber Kalamullah dan Sunnatullah tersebut dan Nampak jelas hubungan antara keilmuan itu.

Filosofi Garis yang terputu-putus pada jaring laba laba memberi makna tidak ada pembatasan pada satu pengetahuan dan membuka pintu pengetahuan lain  sebagai sumber ilmu. Sementara Sumber dari semua ilmu pengetahuan adalah al-Qur'an dan Sunnah. Jika terdapat pertentangan antara berbagai keilmuan yang ada maka diharapkan kembali kepada alQur'an dan Sunnah untuk memecahkan semua persoalan. Dapat juga dilihat bahwa semua keilmuan yang bersumber dari al-Qur'an dan Sunnah hendaknya harus saling berhubungan dan saling membantu dalam memecahkan permasalahan. Jangan sampai adanya dikotomi antara keilmuan itu.

Model paradigm integrasi-interkonektif yang digagas amin tidak hanya berfungsi sebagai menghapusan dikatomi ilmu dan agama tetapi mengintegrasikan khazanah keislaman dan sain modern yang realistis dan visible dalam menghadapi permasalahan yang lahir di era kontemporer. Model integrasi triadic dialektis dikenal dengan sebutan triple hadarat (interconnected entities) yaitu hadharat al nas (ilmu keislaman) hadharat al 'ilm ( sains modern) dan hadharat alfalsafah (filsafat).

Dialektika antara khazanah keislaman, sain modern dan filsafat merupakan model yang lebih rasional, realistis dan visible tersebut mampu menghadapi problematika baru bagi ilmuan Islam. Terdapat 3 entitias disiplin keilmuan yang terkoneksi yaitu natural sciences dan technology, humanities dan sosial, disiplin 'ulum al din (studi agama).[20] Interconeksi disiplin ilmu memberikan pemahaman keagamaan dan mampu memberi solusi kehidupan. Pemecahan masalah yang terjadi tetap berpijak pada Alqur'an dan hadits dengan pendekatan yang relevan. Sikap memusuhi sains modern bukan sikap bijak ilmuan islam bahkan dapat merugikan umat islam itu sendiri.

 KESIMPULAN

 Islamisasi ilmu pada hakekatnya merupakan suatu upaya mentransfomasikan ajaran Islam ke dalam berbagai ilmu pengetahuan. Fungsi Islamisasi ilmu pengetahuan mengatur semua aspek kehidupan manusia dengan kata lain Islam mengintegrasikan nilai-nilai transendental ke dalam segi-segi kehidupan duniawi termasuk ilmu pengetahuan dan teknologi. Meskipun berbagai kritik dilontarkan oleh beberapa ilmuan islam tentang islamisasi Ilmu yang mencakup aspek ontologis, epistemologis dan aksiologis ilmu.

 Pandangan tersebut melahirkan Ilmuisasi Islam yang mencoba merekunstruksi pemahaman Islamisasi ilmu, yang dipandang sebagai sebuah tekstualisasi, yakni menjadikan ilmu-ilmu Barat selaras dengan Islam. Pengilmuan Islam bermaksud menempatkan teks wahyu sebagai sebuah paradigma dalam memotret realitas. Apabila Islamisasi ilmu merupakan upaya untuk mengalihkan konteks kepada teks, maka pengilmuan Islam sebaliknya, yaitu bagaimana teks yang normatif diarahkan kepada konteks. Al Qur'an dalam hal ini bukan sebagai alat justifikasi dari berbagai penemuan dalam bidang ilmu, tetapi sebagai sebuah pijakan paradigma yang melahirkan keilmuan Islam yang integralistik.

 Integrase ilmu merupakan jembatan yang menghubungkan konsep Islamisasi dan Ilmuisasi Islam dalam interkoneksi sains dan ilmu agama. permasalahan sains Modern dan agama yang melahirkan sekulerisme yang menggabungkan berbagai ilmu baik sains modern dan agama sehingga tidak ada lagi dikatomi. pendekatan integrasi interkoneksi melalui jarring laba laba lebih bersifat menyatukan keilmuan umum juga telah memiliki aspek epistemologi, ontologi dan aksiologi yang mapan dengan menemukan persamaan dalam keilmuan Islam dan memasukkan nilai-nilai keilmuan Islam ke dalamnya, sehingga keilmuan umum dan agama dapat saling bekerja sama tanpa saling mengalahkan.

 

DAFTAR PERPUSTAKAAN

 Bakri Samsoera. Sekularisasi Ilmu Pengetahuan, mrbthoan.wordpress.com 2010

 Danial, Filsafat Ilmu, Kaukaba, 2014

 Fajar Fauzi Raharjo, Nuriyah Laily, Pengilmuan Islam Kuntowijoyo Dan Aplikasinya Dalam Pengembangan Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Di Perguruan Tinggi Umum

 Jhon M.Echol dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia,PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

 Kementerian Agama RI,Al-Qur'an Surat Fussilat ayat 11

 M. Zainuddin, Filsafat Ilmu: Persfektif Pemikian Islam, Malang: Bayu Media, 2003

 Muhamad Tisna Nugraha ,Integrasi Ilmu Dan Agama, Al-Hikmah: Jurnal Agama dan Ilmu Pengetahuan,2020

 Salafudin, Islamisasi Ilmu Pengetahuan, jurnal Forum Tarbiyah Vol. 11, No. 2 tahun 2013

 W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2003

 Zuhdiyah, Islamisasi Ilmu Ismail Raji Al-Faruqi, 2016, Jurnal Tadrib Vol. II No.2

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun