Mohon tunggu...
radhita nur annisa
radhita nur annisa Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Ilmu Komunikasi Univ. Atma Jaya Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Apakah Citizen Journalism Bebas "Berkicau"?

12 April 2016   19:47 Diperbarui: 13 April 2016   10:05 658
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="ziliun.com"][/caption]Citizen Journalism awalnya muncul dari masyarakat Amerika pada saat Pemilu tahun 1996. Masyarakat Amerika disebut-sebut mengalami krisis kepercayaan terhadap media-media mainstream pada saat itu. Ditengah perkembangan teknologi yang semakin pesat, jurnalistik juga mulai merambah di dunia online. 

Seperti yang kita ketahui media masa saat ini mulai menyebarkan berita-beritannya secara online atau yang disebut dengan jurnalisme online. Pertumbuhan teknologi pada bidang komunikasi ini memudahkan pengguna melihat informasi dari bentuk video, foto, tulisan, radio, televisi yang dapat diakses dari satu website. Kehadiran internet ini membuka ruang bagi semua orang untuk menjadi “wartawan dadakan” semua orang bisa menjadi wartawan hanya dengan melaporkan kejadian yang terjadi disekitarnya.

Citizen journalism adalah bentuk kegiatan jurnalisme yang dilakukan masyarakat biasa yang dasarnya bukan jurnalis profesional. Seorang warga biasa yang melakukan kegiatan jurnalisme dan menyampaikan berita dengan gayanya sendiri (Kusumaningati, 2012:5). Menurut Vinsensius Sitepu dalam bukunya berjudul “Merdeka Menulis, Menaiktarafkan Mutu Jurnalisme Warga”, ia mengatakan bahwa citizen journalism merupakan konsep dimana warga dapat berjurnalistik dengan membuat media sendiri, di mana wujud medianya bukan pada perusahaan profesional, tetapi berbasis komunitas. 

Jurnalisme warga hadir karena didasari gagasan bahwa dengan teknologi yang berkembang ini setiap masyarakat harus mampu mengoperasikannya. Masyarakat yang tidak profesional juga mampu memanfaatkan teknologi modern dengan operasi internet dan berkreasi di dalamnya. Priambodo RH mengatakan “Perkembangan jurnalisme warga saat ini masih ibarat kepompong yang belum menjadi kupu-kupu. Karena itu untuk melahirkan jurnalisme warga yang indah dibutuhkan pembelajaran”. Ia juga mengatakan saat ini terdapat setidaknya 650 ribu blog di Indonesia yang jumlahnya akan terus meningkat. 

Kegiatan jurnalisme warga ini tidak berkaitan dengan lembaga manapun karena msyarakat dapat menulis di akun pribadi mereka masing-masing. Contohnya mengambil kejadian-kejadian di sekitar mereka dan mengabadikannya dalam bentuk video dan foto, lalu mengunduhnya di web atau penyimpanan video seperti Youtube. Hal hal lain yang dilakukan jurnalis warga ini seperti memeriksa dan mengomentari sebuah artikel yang nantinya akan berdampak luas di masyarakat dan diangkat ke berbagai media menjadi sebuah trending topic. 

Namun, kegiatan ini nampaknya bertentangan dengan undang-undang pers dalam Bab V Pasal 13 UU No. 11/1966 jo UU No.4/1967 yang menyatakan bahwa penerbitan pers harus diselenggarakan oleh perusahaan pers berbentuk badan hukum yang mengutamakan sifat-sifat idiil, diatur secara gotong-royong kekeluargan terpimpin, sesuai dengan ketentuan-ketentuan pada Pasal 33 UUD 1945.

Perbedaan jurnalis warga dengan jurnalis profesional adalah pengalaman dan latar belakang pendidikan yang berbeda. Dalam dunia pers tentunya ada nilai dan norma etika yang dipatuhi. Nilai dan norma inilah yang dipahami oleh mereka jurnalis profesional. Aaron Barlow (2007,140) membedakan antara civic journalism atau wartawann profesional dan citizen journalism atau jurnalis warga. Ia mengatakan gerakan citizen journalism menekankan pada isu-isu apa yang akan dipublikasikan dan setiap isu tersebut penting bagi warga/komunitas. 

Para CJ ini menuliskan pandangannya atas peristiwa yang dilihat dan membagikannya sedangkan civic journalism mengangkat isu-isu karena penugasan dalam kaitannya mereka yang bekerja di media massa. Jurnalis warga tidak perlu mempunyai keahlian tertentu dalam bidang jurnalistik hanya sekedar menulis komentar atau memotret gambar tentang apa yang ada disekitar mereka. Berbeda dengan jurnalis profesional yang memang sudah ada cap “legal” dan profesional. 

Profesional dalam arti merekalah yang mempunyai profesi untuk mencari, menulis, menyebarkan informasi yang terjadi untuk masyarakat luas. Jurnalis profesional merupakan orang yang terlatih dibidangnya karena tidak semua orang bisa menulis berita dengan benar dan mereka juga terikat di media tempatnya bekerja.

Tahun 2001, dua wartawan Washington D.C Bill Kovach dan Tom Rosenstiel menerbitkan buku The Element of Jounalism yang menjadi dasar penting bagi para jurnalis profesional. buku yang memuat sembilan elemen jurnalisme ini menjadi referensi bagi para jurnalis dalam melaksanakan profesinya. Pada 2007, Bill Kovach dan Rosenstiel menerbitkan buku revisi yang didalamnya menambahkan elemen kesepuluj khusus mengangkat soal hak dan tanggungjawab warga. Elemen kesepuluh ini muncul karena banyanya jurnalis warga atau disebut citizen journalism. 

Warga mempunyai hak dan kewajiban berpartisipasi dalam mencari, melaporkan, menganalisis dan menyebarluaskan informasi. Primbodo dari Lembaga Pers Dr. Soetomo membuat 10 panduan bagi “citizen reporter” diantaranya : Mereka tidak boleh melakukan plagiasi; harus cek dan ricek fakta; sumber harus jelas jangan anonim; perhatikan dan peduli hukum; rahasia diutrakan secara hati-hati; perhatikan opini narasumber; pelajari batas daya ingatan seseorang; hindari konflik kepentingan; hindari pelecehan; serta pertimbangkan pendapat. 

Dalam artikel Jurnalisme Online tahun 2003, J.D. Lasica membedakan jurnalisme warga dalam beberapa tipe:(1) partisipasi pemerintah, seperti komentar dalam berita online, blog pribadi, foto atau video; (2) berita dan informasi situs-situs independen; (3) situs berita dengan patisipasi penuh; (4) kolaborasi situs-situs media; dan (5) “thin media” seperti milis.

Teknologi yang semakin berkembang membuka ruang bagi siapa saja untuk mengungkapkan reaksi mereka melalui jejaring internet. Beberapa kejadian sempat menjadi trending topic di berbagai media dan membawa dampak bagi orang itu sendiri. Seperti misalnya Kasus Prita Mulyasari dengan RS Omni Internasional, awalnya  Prita mengungkapkan kekesalannya melalui email kepada pihak rumah sakit. Namun emailnya menyebar ke beberapa milis dan forum online yang mengakibatkan Prita terjebak masalah hukum dengan pihak rumah sakit. 

Kasus lainnya yang baru-baru ini terjadi adalah Sonya Depari yang tersebar video-nya melalui berbagai media online. Dalam video tersebut terlihat ia sedang memarahi seorang Polwan yang menghadang konvoi sekolahnya. Tak lama kemudian netizen mulai mengkritik salah satu pernyataan Sonya yang mengaku-ngaku sebagai anak dari seorang anggota BNN Arman Depari. Kasus ini ditangani kepolisian sampai dengan pemberitaan terakhir adalah ayah Sonya meninggal dunia tak lama setelah kejadian itu. 

Kritik yang ditulis para netizen mungkin berdampak buruk bagi keluarganya sehingga meninggalnya bapak Sonya dikaitkan dengan masalah anaknya tersebut. Beberapa kritik netizen memang kadang terlihat sadis bahkan tidak beretika. Seperti kasus beberapa selebriti yang melaporkan netizen yang dianggap berkomentar sembarangan di media sosial mereka. 

Terjadi tuduh menuduh dan berakhir pencemaran nama baik. Komentar yang diberikan kadang dianggap sebagai kebenaran berita padahal belum tentu dari sumber yang jelas. Hal ini tentu saja sulit untuk dikendalikan, karena internet kini bebas digunakan oleh siapa saja sehingga semua orang bisa menjadi jurnalis tanpa pendidikan formal.

Jurnalisme warga hadir tanpa payung hukum yang jelas. Undang-Undang ITE nampaknya pas untuk mengatur penyebaran informasi walaupun persoalan ini menjadi perdebatan beberapa waktu lalu. Beberapa kasus pelanggaran UU ITE yang terjadi belakangan ini adalah kasus Florence Sihombing, mahasiswa S2 Universitas Gadjah Mada yang menghina masyarakat Yogya melalui akun Path-nya. Florence dijerat Pasal 27 ayat 3 terkait informasi  elektronik yang dianggap menghina dan mencemarkan nama baik. Kasus lainnya adalah Benny Handoko, pemilik akun twitter @benhan yang terjerat kasus akibat “kicauannya” terhadap anggota DPR, M Misbakhun. Benny dijerat pasal yang sama dengan Florence karena menyangkut pencemaran nama baik.

Kasus-kasus diatas membuat kita melihat sisi negatif kehadiran jurnalis warga di tengah-tengah derasnya alur infomasi berbasis internet. Namun kita juga harus mengingat jurnalis warga pernah memberikan informasi yang bisa dikatakan membantu masyarakat pada waktu itu. jurnalisme warga menjadi media alternatif menyaingi jurnalis profesional. Seperti pada saat kejadian tsunami yang melanda Asia termasuk Aceh dan Nias, bom yang terjadi di Bali dan perang Irak. 

Beberapa kejadian itu diabadikan melalui video dan foto yang dimuat dalam blog yang dimiliki warga. Warga menjadi saksi dan pihak yang paling update dari peristiwa besar tersebut. Hal positif yang dapat diambil adalah mereka dapat membantu media menjadi kontributor yang menghasilkan artikel terlebih dahulu. Citizen jounalism juga mengajarkan bagaimana kita bisa hidup berdemokrasi dimana setiap orang dapat mengungkapkan pendapatnya melalui tulisan. Blog tersebut menjadi ruang berbagi informasi antara satu orang dan yang lain tanpa ada aturan yang mengikat seperti di media.

Kemajuan jaringan internet memang tidak bisa dihindari atau ditolak oleh kita semua. Informasi hadir dengan cepat dan mudah hanya dengan sekali “klik’. Kita sebagai pengguna sebisa mungkin untuk memilih dan belajar memahami informasi. Tidak semua karya tulisan di web dapat dijadikan referensi atau acuan bagi kita. Pendiri Ohmynews, Oh Yeong-ho sebagai pelopor utama citizen journalism mengakui bahwa menulis sebuah berita membutuhkan waktu yang lama daripada hanya menulis sebuah komentar dan mempostingnya pada situs blog. 

Hal tersebut mungkin diakui juga oleh Dan Gillmor salah satu tokoh terkemuka pendukung CJ yang mengatakan pembaca seharusnya mencari sumber informasi yang dipercaya entah dari reputasi sumber atau dari rekomendasi orang lain maupun orang itu atas berita yang sedang dibacanya. Kita sebagai pembaca harus mempunyai filter yang dapat menyaring infromasi yang tidak benar dalam ranah internet. 

Tidak ada yang salah dari jurnalis warga, dilihat dari penerimaan masyarakat saat ini. Masyarakat tidak lagi menjadi khalayak pasif. Mereka secara tidak langsung memilih berita mana yang ingin diketahui namun diharapkan tidak begitu saja mudah dicekoki infromasi. Masyarakat diharapkan bisa mengkonstuksikan infromasi yang didapat dari media. Bagi para citizen diharapkan harus mempunyai etika. Dari segi penulisan para netizen harus juga memerhatikan penulisan, sumber yang akurat dan perlu adanya verifikasi data.

---

Referensi :

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun