Dalam artikel Jurnalisme Online tahun 2003, J.D. Lasica membedakan jurnalisme warga dalam beberapa tipe:(1) partisipasi pemerintah, seperti komentar dalam berita online, blog pribadi, foto atau video; (2) berita dan informasi situs-situs independen; (3) situs berita dengan patisipasi penuh; (4) kolaborasi situs-situs media; dan (5) “thin media” seperti milis.
Teknologi yang semakin berkembang membuka ruang bagi siapa saja untuk mengungkapkan reaksi mereka melalui jejaring internet. Beberapa kejadian sempat menjadi trending topic di berbagai media dan membawa dampak bagi orang itu sendiri. Seperti misalnya Kasus Prita Mulyasari dengan RS Omni Internasional, awalnya Prita mengungkapkan kekesalannya melalui email kepada pihak rumah sakit. Namun emailnya menyebar ke beberapa milis dan forum online yang mengakibatkan Prita terjebak masalah hukum dengan pihak rumah sakit.
Kasus lainnya yang baru-baru ini terjadi adalah Sonya Depari yang tersebar video-nya melalui berbagai media online. Dalam video tersebut terlihat ia sedang memarahi seorang Polwan yang menghadang konvoi sekolahnya. Tak lama kemudian netizen mulai mengkritik salah satu pernyataan Sonya yang mengaku-ngaku sebagai anak dari seorang anggota BNN Arman Depari. Kasus ini ditangani kepolisian sampai dengan pemberitaan terakhir adalah ayah Sonya meninggal dunia tak lama setelah kejadian itu.
Kritik yang ditulis para netizen mungkin berdampak buruk bagi keluarganya sehingga meninggalnya bapak Sonya dikaitkan dengan masalah anaknya tersebut. Beberapa kritik netizen memang kadang terlihat sadis bahkan tidak beretika. Seperti kasus beberapa selebriti yang melaporkan netizen yang dianggap berkomentar sembarangan di media sosial mereka.
Terjadi tuduh menuduh dan berakhir pencemaran nama baik. Komentar yang diberikan kadang dianggap sebagai kebenaran berita padahal belum tentu dari sumber yang jelas. Hal ini tentu saja sulit untuk dikendalikan, karena internet kini bebas digunakan oleh siapa saja sehingga semua orang bisa menjadi jurnalis tanpa pendidikan formal.
Jurnalisme warga hadir tanpa payung hukum yang jelas. Undang-Undang ITE nampaknya pas untuk mengatur penyebaran informasi walaupun persoalan ini menjadi perdebatan beberapa waktu lalu. Beberapa kasus pelanggaran UU ITE yang terjadi belakangan ini adalah kasus Florence Sihombing, mahasiswa S2 Universitas Gadjah Mada yang menghina masyarakat Yogya melalui akun Path-nya. Florence dijerat Pasal 27 ayat 3 terkait informasi elektronik yang dianggap menghina dan mencemarkan nama baik. Kasus lainnya adalah Benny Handoko, pemilik akun twitter @benhan yang terjerat kasus akibat “kicauannya” terhadap anggota DPR, M Misbakhun. Benny dijerat pasal yang sama dengan Florence karena menyangkut pencemaran nama baik.
Kasus-kasus diatas membuat kita melihat sisi negatif kehadiran jurnalis warga di tengah-tengah derasnya alur infomasi berbasis internet. Namun kita juga harus mengingat jurnalis warga pernah memberikan informasi yang bisa dikatakan membantu masyarakat pada waktu itu. jurnalisme warga menjadi media alternatif menyaingi jurnalis profesional. Seperti pada saat kejadian tsunami yang melanda Asia termasuk Aceh dan Nias, bom yang terjadi di Bali dan perang Irak.
Beberapa kejadian itu diabadikan melalui video dan foto yang dimuat dalam blog yang dimiliki warga. Warga menjadi saksi dan pihak yang paling update dari peristiwa besar tersebut. Hal positif yang dapat diambil adalah mereka dapat membantu media menjadi kontributor yang menghasilkan artikel terlebih dahulu. Citizen jounalism juga mengajarkan bagaimana kita bisa hidup berdemokrasi dimana setiap orang dapat mengungkapkan pendapatnya melalui tulisan. Blog tersebut menjadi ruang berbagi informasi antara satu orang dan yang lain tanpa ada aturan yang mengikat seperti di media.
Kemajuan jaringan internet memang tidak bisa dihindari atau ditolak oleh kita semua. Informasi hadir dengan cepat dan mudah hanya dengan sekali “klik’. Kita sebagai pengguna sebisa mungkin untuk memilih dan belajar memahami informasi. Tidak semua karya tulisan di web dapat dijadikan referensi atau acuan bagi kita. Pendiri Ohmynews, Oh Yeong-ho sebagai pelopor utama citizen journalism mengakui bahwa menulis sebuah berita membutuhkan waktu yang lama daripada hanya menulis sebuah komentar dan mempostingnya pada situs blog.
Hal tersebut mungkin diakui juga oleh Dan Gillmor salah satu tokoh terkemuka pendukung CJ yang mengatakan pembaca seharusnya mencari sumber informasi yang dipercaya entah dari reputasi sumber atau dari rekomendasi orang lain maupun orang itu atas berita yang sedang dibacanya. Kita sebagai pembaca harus mempunyai filter yang dapat menyaring infromasi yang tidak benar dalam ranah internet.
Tidak ada yang salah dari jurnalis warga, dilihat dari penerimaan masyarakat saat ini. Masyarakat tidak lagi menjadi khalayak pasif. Mereka secara tidak langsung memilih berita mana yang ingin diketahui namun diharapkan tidak begitu saja mudah dicekoki infromasi. Masyarakat diharapkan bisa mengkonstuksikan infromasi yang didapat dari media. Bagi para citizen diharapkan harus mempunyai etika. Dari segi penulisan para netizen harus juga memerhatikan penulisan, sumber yang akurat dan perlu adanya verifikasi data.