Indonesia saat ini sedang berada pada tahun politik, pesta demokrasi diselenggarakan setiap 5 tahun sekali. Komisi Pemilihan Umum atau KPU telah menyelenggarakan 5 pertemuan debat calon presiden dan calon wakil presiden, dimana terdapat 3 pertemuan debat calon presiden dan 2 pertemuan debat calon wakil presiden. Pada 4 Februari 2024 lalu, pertemuan debat terakhir calon presiden dilaksanakan dengan suasana yang cukup serius. Pada debat terakhir, ada salah satu calon presiden yang menyinggung terkait persoalan perempuan yang mendasar, khususnya dalam pemberdayaan dan perlindungan perempuan yang menekankan pada isu kekerasan, kesetaraan, dan kesejahteraan terhadap perempuan. Catcalling menjadi salah satu contoh kekerasan terhadap perempuan yang disinggung oleh salah satu calon presiden saat itu.
Artikel ini akan membahas terkait catcalling secara komperhhensif yang harapannya kita dapat lebih memahami makna dari catcalling.
Apa sebenarnya catcalling itu?
Catcalling atau wolf whistle merupakan ungkapan yang memiliki orientasi seksual yang ditujukan untuk korbannya. Catcalling itu sendiri menunjukkan terdapatnya gairah dari seorang atau sekelompok laki-laki terhadap perempuan. Pelaku mengekspresikan gairahnya  baik secara verbal maupun secara non-verbal yang sering terjadi di ruang publik, baik di transportasi umum, troroar, maupun di jalan raya. Secara verbal, catcalling dilakukan dengan cara memberikan siulan atau komentar terhadap penampilan korban, sementara itu secara non-verbal, umumnya catcalling dilakukan dengan memberikan lirikan atau gestur tertentu dengan nuansa seksual terhadap korban. Catcalling sungguh menyeramkan dan berbahaya bagi perempuan sebab catcalling dapat terjadi bukan karena korban itu pintar, cantik, ataupun memakai pakaian yang terbuka dan menarik, akan tetapi catcalling dapat terjadi ketika pelaku kurang menghargai korban dan pelaku tidak peduli terhadap apa yang korban rasakan, baik merasa tegang maupun merasa terancam, pelaku benar-benar tidak peduli.
Lalu apakah terdapat perbedaan antara pujian dengan catcalling?
Pujian dan catcalling terlihat cukup kontras karena pujian umumnya diberikan dengan rasa hormat dan diharapkannya penerima pujian merasa dihargai, termotivasi, hingga memiliki semangat. Di sisi lain, catcalling dianggap merendahkan seseorang karena hal itu melibatkan komentar atau tindakan yang tidak diinginkan, tidak pantas, hingga seringkali berorientasi terhadap seksualitas. Hal itu memperlihatkan rendahnya rasa hormat terhadap batasan personal dan rasa hormat terhadap privasi dan martabat individu.
Memangnya bagaimana dampak catcalling bagi korban?
Perempuan akan seringkali  merasa tidak aman ketika berada di lingkungan sosial, setelah mendapatkan berbagai kekerasan, khususnya kekerasan yang dilakukan oleh pelaku catcalling. Korban akan merasa tidak aman dan tidak berdaya terhadap pelaku yang memberikan ekspresi yang tak senonoh. Pelaku menjadikan perempuan sebagai objek seksual yang seakan-akan 'pantas' untuk diteriaki hingga dilihat dengan tatapan yang memiliki nuansa seksual. Ungkapan lelaki tak dikenal seperti, "Hai, cewek seksi mau kemana? (sambil bersiul dan menatap dengan nuansa seksual)." Akan membuat korban merasa tidak nyaman dan menjadi takut ketika harus berjalan sendiri melewati seseorang atau sekelompok laki-laki di ruang publik. Lebih lagi, korban akan merasakan (low self-esteem) dimana korban merasa rendahnya harga diri mereka, hingga menimbulkan rasa takut bagi korban.
Lalu apa yang dapat puan lakukan untuk menghindari hal ini?
Catcalling sering terjadi ketika korban merasa takut dan adanya dominasi oleh pelaku. Puan dapat mengubah perilaku seperti menggunakan headphone dengan terus bergegas, tanpa melirik; berjalan ke arah yang lain; membawa alat untuk melindungi diri; hingga mengganti transportasi lain atau melaporkan kepada pihak keamanan setempat. Puan jangan takut untuk meminta pertolongan kepada masyarakat sipil di sekitar, selain itu masyarakat sipil dapat membantu dengan meningkatkan kepedulian terhadap lingkungan sekitar karena kita tidak tahu bagaimana perasaan korban, bisa saja korban merasa ketakutan dan tak dapat bergerak.Â
Tindakan catcalling dikonseptualisasikan sebagai pengalaman dan  konsekuensi negatif bagi korban. Catcalling dan pujian dapat terlihat jelas berbeda, dimana catcalling tak lepas dari nuansa seksual. Perempuan harus benar-benar dilindungi dan kasus kekerasan seksual tidak boleh disepelekan; harus ditindak tegaskan.
Referensi
Baguidudol, N. B. (2023). Catcalling in the Eyes of the University Students. Journal of Namibian Studies: History Politics Culture, 34, 54-68.
KPU Siap Gelar Debat Capres 3 kali dan Cawapres 2 kali. (2023, November 29). Diakses pada Februari 8, 2024, Dari KPU: https://www.kpu.go.id/berita/baca/12125/kpu-siap-gelar-debat-capres-3-kali-dan-cawapres-2-kali.
Ningtyas, D. Y. S., & Ervina, I. (2024). Pengaruh Catcalling terhadap Self Esteem pada Mahasiswi. Jurnal Psikologi, 1(3), 10-10.
Trihapsari, D. R., & Puspasari, I. (2018). Budaya cat-calling sebagai bentuk pelecehan seksual di ruang publik. Jurnal Psikologi, 45(2):Â 152 - 161.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H