Mohon tunggu...
Raden Zulfikar
Raden Zulfikar Mohon Tunggu... Pengacara - Pekerja Teks Komersial

Seorang pembaca yang menulis, agar tidak hilang dari sejarah. Seperti kata Pram, 'Menulis adalah bekerja untuk keabadian.'

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Sejarah Tunjangan Hari Raya (THR): Aturan Khas Indonesia, Warisan Orde Baru yang Selalu Ditunggu

18 April 2022   17:17 Diperbarui: 20 April 2022   18:46 2170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Demonstrasi Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) menuntut hadiah Lebaran di Bandung, 1950 (Foto via Twitter @potretlawas)

Tunjangan Hari Raya (THR) merupakan hal yang paling ditunggu oleh para pekerja/buruh di Indonesia setiap tahunnya. THR adalah pendapatan non upah yang wajib dibayarkan oleh perusahaan kepada pekerja sebelum hari raya keagamaan.

Sejarah Terbentuknya Kebijakan Tunjangan Hari Raya

Pada mulanya, istilah Tunjangan Hari Raya belum dikenal di masyarakat Indonesia. Kebijakan mengenai upah tambahan menjelang hari raya di Indonesia bermula dari era Pemerintahan Presiden Soekarno, tepatnya era Perdana Menteri Keenam Indonesia, Soekiman Wirjosandjojo yang juga terafiliasi dari Partai Masyumi. 

Pada tahun 1951, salah satu program kerja Kabinet Soekiman adalah meningkatkan kesejahteraan Pamong Praja (saat ini Pegawai Negeri Sipil), sehingga awal mulanya upah tambahan atau tunjangan menjelang hari raya ini hanya diperuntukkan kepada Pamong Praja saja.

Sukiman Wirjosandjojo, Perdana Menteri Keenam Indonesia, penggagas cikal bakal THR (Foto via Perpustakaan Nasional)
Sukiman Wirjosandjojo, Perdana Menteri Keenam Indonesia, penggagas cikal bakal THR (Foto via Perpustakaan Nasional)

Menurut Saiful Hakam, Peneliti muda LIPI dalam wawancaranya dengan Historia.id, besaran tunjangan yang dibayarkan saat itu sekitar Rp125-Rp200 (saat itu setara US$11 - US$17,5 atau sekarang sekitar Rp1.100.000 hingga Rp1.750.000) yang dibayarkan oleh pemerintah di setiap akhir bulan Ramadhan atau mendekati Hari Raya Idul Fitri. Selain itu, pemerintah juga memberikan tunjangan sembako berupa beras setiap bulannya.

Aturan mengenai pembayaran upah tambahan menjelang hari raya tersebut kemudian dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1954 tentang Pemberian Persekot Hari Raja kepada Pegawai Negeri pada era Kabinet Ali Sastroamidjojo, Perdana Menteri Kedelapan Indonesia. 

Menurut Pasal 6 PP 27/54 tersebut, tunjangan diberikan berbentuk Persekot atau Uang Muka yang kemudian dikembalikan melalui mekanisme angsuran dengan memotong gaji pegawai tiap bulannya selama enam kali. Dan apabila pegawai tersebut diberhentikan atau meninggal dunia, maka sisa persekot tadi ditagihkan ke ahliwarisnya.

Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI)(Foto via commons.wikimedia)
Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI)(Foto via commons.wikimedia)

Ditentang Kaum Buruh

Namun kebijakan tersebut direspon keras oleh publik. Kebijakan tersebut dinilai tidak adil bagi kaum buruh, dikarenakan upah tambahan menjelang hari raya tersebut hanya diperuntukkan bagi PNS saja, sedangkan tidak bagi pekerja perusahaan swasta. 

Akhirnya pada Februari 1952, kaum buruh melakukan aksi mogok kerja. Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI), merupakan federasi serikat buruh permanen yang pertama kali dibentuk di Indonesia yang juga terafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), saat itu vokal menentang kebijakan tersebut. 

Dalam Sidang Dewan Nasional II di bulan Maret 1953 di Jakarta, SOBSI mulai menyuarakan: “Pemberian tundjangan hari raya bagi semua buruh sebesar satu bulan gadji kotor.” 

Mengutip dari spkep-spsi.org, sepanjang periode 1951 hingga 1952 pemogokan tercatat sebanyak 541 hari, diikuti oleh 319.030 buruh. Pemerintah lantas mengeluarkan UU Darurat No. 16 Tahun 1951 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan.

“Hadiah Lebaran” 

Atas desakan kaum buruh saat itu, S.M. Abidin, Menteri Perburuhan dalam Kabinet Ali Sastroamidjojo I, mengeluarkan Surat Edaran nomor 3676/54 mengenai “Hadiah Lebaran”. Dalam Surat Edaran tersebut, THR bagi perusahaan swasta sifatnya sukarela dan tidak dapat dipaksakan.

Demonstrasi Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) menuntut hadiah Lebaran di Bandung, 1950 (Foto via Twitter @potretlawas)
Demonstrasi Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) menuntut hadiah Lebaran di Bandung, 1950 (Foto via Twitter @potretlawas)

Adapun besarannya adalah seperduabelas dari upah yang diterima buruh dalam masa antara lebaran sebelumnya dan yang akan datang, sekurang-kurangnya Rp50 dan sebanyak-banyaknya Rp300. Namun meskipun Surat Edaran serupa selalu dikeluarkan tiap tahunnya dari 1955 hingga 1958, pada dasarnya Surat Edaran hanyalah sebagai anjuran dan tidak memiliki kekuatan hukum, sehingga buruh pun belum puas atas hal tersebut. SOBSI ingin pemerintah mengakomodir melalui peraturan yang mewajibkan para perusahaan untuk memberikan Hadiah Lebaran bagi para pekerjanya.

Perjuangan buruh akhirnya membuahkan hasil positif. Ahem Erningpraja, Menteri Perburuhan Kabinet Kerja II pada era pemerintahan Sukarno, menerbitkan Peraturan Menteri Perburuhan Nomor 1 tahun 1961 yang isinya menyebutkan bahwa Hadiah Lebaran wajib dibayarkan oleh perusahaan dan menjadi hak buruh dengan masa kerja sekurang-kurangnya tiga bulan. Aturan tersebut terus diberlakukan hingga pada era Pemerintahan Orde Baru.

 Diperkenalkannya Istilah “Tunjangan Hari Raya”

Pada periode Orde Baru (masa transisi 1966-1969), dikarenakan adanya afiliasi antara SOBSI dengan PKI, istilah ‘Buruh’ mulai diidentikan dengan ‘Kiri’. Hingga akhirnya kata ‘Buruh’ diganti dengan ‘Pekerja’ dan nomenklatur 'Kementerian Perburuhan' pun diubah menjadi 'Departemen Tenaga kerja' (Depnaker).

Pada 16 September 1994, melalui Peraturan Menteri Tenaga Kerja No PER-04/MEN/1994 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan Bagi Pekerja di Perusahaan, istilah ‘Tunjangan Hari Raya’ (THR) diperkenalkan sebagai pendapatan pekerja yang wajib dibayarkan oleh Pengusaha kepada pekerja atau keluarganya menjelang Hari Raya Keagamaan yang berupa uang atau bentuk lain.

Abdul Latief, Menteri Tenaga Kerja saat itu, mengeluarkan kebijakan yang menyebutkan bahwa Pengusaha wajib memberikan THR kepada pekerja yang telah mempunyai masa kerja 3 bulan secara terus menerus atau lebih. Peraturan tersebut pun diperkuat dengan adanya sanksi bagi pengusaha yang melanggar ketentuan tersebut.

Sedangkan bagi Pengusaha yang karena kondisi perusahaannya tidak mampu membayar THR dapat mengajukan permohonan penyimpangan mengenai besarnya jumlah THR kepada Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Pengawasan Ketenagakerjaan.

Aturan THR Terkini

Pada 6 April 2022 lalu, Menteri Ketenagakerjaan, Ida Fauziyah, telah menerbitkan Surat Edaran (SE) Nomor M/1/HK.04/IV/2022 tentang Pelaksanaan Pemberian Tunjangan Hari Raya Keagamaan Tahun 2022 Bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan yang ditujukan kepada para Gubernur seluruh Indonesia.

Adapun poin penting dalam SE tersebut, antara lain:

1. THR Keagamaan diberikan kepada Pekerja/buruh yang telah bekerja selama satu bulan secara terus menerus atau lebih atau yang mempunyai hubungan kerja dengan pengusaha berdasarkan perjanjian kerja waktu tidak tertentu atau perjanjian kerja waktu tertentu.

2. Besaran THR Keagamaan bagi pekerja/buruh yang telah bekerja selama 12 bulan secara terus menerus atau lebih, diberikan sebesar satu bulan upah. Sedangkan bagi pekerja/buruh yang telah bekerja selama satu bulan secara terus menerus tetapi kurang dari 12 bulan, diberikan secara proporsional sesuai dengan perhitungan, yaitu masa kerja dibagi 12 dikali satu bulan upah.

Contoh: 

Dayat telah bekerja selama 8 bulan dengan gaji 12 juta/bulan. Maka perhitungannya: 

8 bulan : 12 bulan x Rp11.000.000 = Rp7.333.333,-

3.  Bagi pekerja/buruh yang bekerja berdasarkan perjanjian kerja harian lepas, upah satu bulan dihitung sebagai berikut:

  • Pekerja/buruh yang telah bekerja selama 12 bulan atau lebih, upah satu bulan dihitung berdasarkan rata-rata upah yang diterima dalam 12 bulan terakhir sebelum hari raya keagamaan.
  • Pekerja/buruh yang bekerja kurang dari 12 bulan, upah satu bulan dihitung berdasarkan rata-rata upah yang diterima tiap bulan selama masa kerja.

Contoh: 

Tuti bekerja sebagai freelancer dengan gaji 800 ribu/hari. Dalam sebulan, Tuti biasa bekerja rata-rata 7 hari. Maka, rata-rata upah yang diterima tiap bulan oleh Tuti adalah Rp5.600.000,-

4. Bagi pekerja/buruh yang upahnya ditetapkan berdasarkan satuan hasil maka upah satu bulan dihitung berdasarkan upah rata-rata dua belas bulan terakhir sebelum hari raya keagamaan.

5. Bagi perusahaan yang menetapkan besaran nilai THR Keagamaan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau kebiasaan yang telah dilakukan lebih besar dari nilai THR Keagamaan sebagaimana nomor 2 di atas, maka THR Keagamaan yang dibayarkan kepada pekerja/buruh sesuai dengan perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau kebiasaan yang telah dilakukan.

6. THR Keagamaan wajib dibayarkan paling lambat tujuh hari sebelum hari raya keagamaan.

Sumber:

  • Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 6 Tahun 2016 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan Bagi Pekerja/Buruh Di Perusahaan;
  • Surat Edaran (SE) Menteri Ketenagakerjaan Nomor M/1/HK.04/IV/2022 tentang Pelaksanaan Pemberian Tunjangan Hari Raya Keagamaan Tahun 2022 Bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan;
  • Surat Edaran (SE) Menteri Perburuhan Nomor 3676/54 tentang Hadiah Lebaran;
  • Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1954 tentang Pemberian Persekot Hari Raja;
  • UU Darurat No. 16 Tahun 1951 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan;
  • THR, Waktu, dan Uang, Bonnie Triyana, 27 Agt 2011, historia.id
  • Ketika THR Bikin Geger, Muhammad Yuanda Zara, 04 Mei 202, historia.id
  • Sejarah Panjang Tunjangan Hari Raya (THR) di Indonesia, admin, 4 April 2022, spkep-spsi.org

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun