Mohon tunggu...
Raden Zulfikar
Raden Zulfikar Mohon Tunggu... Pengacara - Pekerja Teks Komersial

Seorang pembaca yang menulis, agar tidak hilang dari sejarah. Seperti kata Pram, 'Menulis adalah bekerja untuk keabadian.'

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Sejarah Tunjangan Hari Raya (THR): Aturan Khas Indonesia, Warisan Orde Baru yang Selalu Ditunggu

18 April 2022   17:17 Diperbarui: 20 April 2022   18:46 2170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sukiman Wirjosandjojo, Perdana Menteri Keenam Indonesia, penggagas cikal bakal THR (Foto via Perpustakaan Nasional)

Namun kebijakan tersebut direspon keras oleh publik. Kebijakan tersebut dinilai tidak adil bagi kaum buruh, dikarenakan upah tambahan menjelang hari raya tersebut hanya diperuntukkan bagi PNS saja, sedangkan tidak bagi pekerja perusahaan swasta. 

Akhirnya pada Februari 1952, kaum buruh melakukan aksi mogok kerja. Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI), merupakan federasi serikat buruh permanen yang pertama kali dibentuk di Indonesia yang juga terafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), saat itu vokal menentang kebijakan tersebut. 

Dalam Sidang Dewan Nasional II di bulan Maret 1953 di Jakarta, SOBSI mulai menyuarakan: “Pemberian tundjangan hari raya bagi semua buruh sebesar satu bulan gadji kotor.” 

Mengutip dari spkep-spsi.org, sepanjang periode 1951 hingga 1952 pemogokan tercatat sebanyak 541 hari, diikuti oleh 319.030 buruh. Pemerintah lantas mengeluarkan UU Darurat No. 16 Tahun 1951 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan.

“Hadiah Lebaran” 

Atas desakan kaum buruh saat itu, S.M. Abidin, Menteri Perburuhan dalam Kabinet Ali Sastroamidjojo I, mengeluarkan Surat Edaran nomor 3676/54 mengenai “Hadiah Lebaran”. Dalam Surat Edaran tersebut, THR bagi perusahaan swasta sifatnya sukarela dan tidak dapat dipaksakan.

Demonstrasi Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) menuntut hadiah Lebaran di Bandung, 1950 (Foto via Twitter @potretlawas)
Demonstrasi Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) menuntut hadiah Lebaran di Bandung, 1950 (Foto via Twitter @potretlawas)

Adapun besarannya adalah seperduabelas dari upah yang diterima buruh dalam masa antara lebaran sebelumnya dan yang akan datang, sekurang-kurangnya Rp50 dan sebanyak-banyaknya Rp300. Namun meskipun Surat Edaran serupa selalu dikeluarkan tiap tahunnya dari 1955 hingga 1958, pada dasarnya Surat Edaran hanyalah sebagai anjuran dan tidak memiliki kekuatan hukum, sehingga buruh pun belum puas atas hal tersebut. SOBSI ingin pemerintah mengakomodir melalui peraturan yang mewajibkan para perusahaan untuk memberikan Hadiah Lebaran bagi para pekerjanya.

Perjuangan buruh akhirnya membuahkan hasil positif. Ahem Erningpraja, Menteri Perburuhan Kabinet Kerja II pada era pemerintahan Sukarno, menerbitkan Peraturan Menteri Perburuhan Nomor 1 tahun 1961 yang isinya menyebutkan bahwa Hadiah Lebaran wajib dibayarkan oleh perusahaan dan menjadi hak buruh dengan masa kerja sekurang-kurangnya tiga bulan. Aturan tersebut terus diberlakukan hingga pada era Pemerintahan Orde Baru.

 Diperkenalkannya Istilah “Tunjangan Hari Raya”

Pada periode Orde Baru (masa transisi 1966-1969), dikarenakan adanya afiliasi antara SOBSI dengan PKI, istilah ‘Buruh’ mulai diidentikan dengan ‘Kiri’. Hingga akhirnya kata ‘Buruh’ diganti dengan ‘Pekerja’ dan nomenklatur 'Kementerian Perburuhan' pun diubah menjadi 'Departemen Tenaga kerja' (Depnaker).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun