Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker), resmi mengesahkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Permenaker No. 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua (“Permenaker 2/2022 tentang JHT") pada 2 Februari 2022 lalu. Belakangan, hal tersebut menjadi sorotan masyarakat bahwasanya Program Jaminan Hari Tua (JHT) BPJS Ketenagakerjaan baru bisa dicairkan 100 persen saat usia peserta BPJS Ketenagakerjaan mencapai 56 tahun.
Merupakan Amanat dari Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional
Berdasarkan prinsipnya, JHT merupakan sistem jaminan sosial yang diciptakan agar di masa tuanya para pekerja memiliki harta sebagai biaya hidup saat sudah tidak produktif lagi. Hal tersebut termaktub pada Pasal 35 Undang-Undang No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (“UU SJSN”) yang menyebutkan bahwa JHT diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial atau tabungan wajib, dengan tujuan untuk menjamin agar pekerja menerima uang tunai apabila memasuki masa pensiun,, mengalami cacat total tetap, atau meninggal dunia.
Adapun prinsip asuransi sosial dalam JHT didasarkan pada mekanisme asuransi dengan pembayaran iuran antara pekerja dan pemberi kerja. Sedangkan prinsip tabungan wajib dalam JHT didasarkan pada pertimbangan bahwa manfaat JHT berasal dari akumulasi iuran dan hasil pengembangannya.
Berbeda dengan Aturan Sebelumnya
Tidak seperti aturan sebelumnya Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 19 Tahun 2015 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua (“Permenaker No. 19/2015”) dimana JHT bisa diambil kapan pun ketika pegawai mengundurkan diri dari pekerjaan yang lama, ketentuan terbaru dalam Permenaker 2/2022 tentang JHT menyebutkan bahwa manfaat JHT dapat diberikan kepada pekerja hanya jika pekerja telah mencapai usia 56 (lima puluh enam) tahun, cacat total tetap, atau meninggal dunia. Manfaat JHT dibayarkan secara tunai dan sekaligus oleh BPJS Ketenagakerjaan kepada pekerja atau ahli warisnya jika pekerja meninggal dunia. Bagi pekerja yang mengalami cacat total tetap, manfaat JHT dapat diberikan kepada pekerja meskipun sebelum mencapai usia pensiun dan diperhitungkan mulai tanggal 1 (satu) bulan berikutnya setelah pekerja ditetapkan mengalami cacat total tetap. JHT sesuai dengan prinsip kehati-hatian dan minimal setara dengan suku bunga deposito bank Pemerintah jangka waktu satu tahun.
Selain itu, Pasal 4 Permenaker 2/2022 tentang JHT menyebutkan bahwa, manfaat JHT termasuk juga untuk pekerja yang berhenti bekerja, meliputi: pekerja mengundurkan diri, terkena pemutusan hubungan kerja dan pekerja yang meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya (diberikan kepada pekerja yang merupakan WNA).
Klaim JHT dapat Diambil Sebagian
Namun demikian, manfaat JHT dapat dicairkan sebagian untuk persiapan memasuki masa pensiun 56 tahun. Dalam hal pengambilan Klaim JHT sebagian, masih mengacu kepada ketentuan yang lama, yaitu Pasal 22 Ayat (4) dan (5) Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2015 Penyelenggaraan Program Jaminan Hari Tua. Pengambilan klaim JHT sebagian tersebut dilakukan berdasarkan ketentuan yakni pekerja telah memenuhi masa kepesertaan minimal 10 (sepuluh) tahun. Kemudian nilai jumlah dana yang diklaim yaitu sebesar 30 persen untuk kepemilikan rumah atau 10 persen untuk keperluan lainnya dan hanya dapat diambil maksimal 1 kali, lalu sisanya dapat dicairkan pada saat pekerja memasuki usia pensiun.
Jaminan Hari Tua (JHT) Berbeda dengan Jaminan Pensiun (JP)
Dengan disahkannya Permenaker 2/2022 tentang JHT, banyak masyarakat yang akhirnya merasa rancu dan mempertanyakan perbedaan antara Jaminan Hari Tua dengan Jaminan Pensiun (JP). Bedasarkan filosofinya, Jaminan Pensiun adalah program perlindungan yang diselenggarakan untuk mempertahankan derajat kehidupan yang layak pada saat pekerja kehilangan atau berkurang penghasilannya karena memasuki usia pensiun atau mengalami cacat total tetap.
Berbeda dengan JHT, manfaat JP berupa uang tunai yang dibayarkan setiap bulan dan atau sekaligus apabila pekerja memasuki usia pensiun, cacat total tetap atau meninggal dunia. Besaran pencairan uang tunai merupakan akumulasi seluruh iuran ditambah hasil pengembangannya. Iuran JP dibayarkan oleh pemberi kerja sebanyak 2 persen dari upah sebulan, dan oleh pekerja sebesar 1 persen dari upah sebulan.
Terintegrasi dengan Program Jaminan Sosial Lainnya
Ketentuan mengenai perubahan skema pencairan manfaat JHT tersebut dilakukan atas pertimbangan karena pekerja akan memperoleh serangkaian manfaat jaminan sosial melalui program lainnya. Bagi para pekerja yang mengalami PHK, Pemerintah rencananya akan meluncurkan program baru pada 22 Februari 2022 ini, yakni Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP). Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan, JKP adalah jaminan yang diberikan kepada pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja berupa manfaat uang tunai, akses informasi pasar kerja, dan pelatihan kerja.
Uang tunai yang diterima oleh pekerja setiap bulan paling banyak selama 6 bulan sejak pekerja di PHK. Manfaat uang tunai diberikan sebesar (45 persen x upah x 3 bulan) + (25 persen x upah x 3 bulan). Akses Informasi Kerja diberikan dalam bentuk layanan informasi pasar kerja, bimbingan jabatan berupa asesmen diri dan konseling karir, serta pelatihan kerja yang dilakukan melalui Lembaga Pelatihan Kerja milik pemerintah, swasta, maupun perusahaan.
Sudah Konsultasi dengan Pekerja
Sebelum akhirnya Permenaker 2/2022 tentang JHT ini diterbitkan, Kemenaker mengklaim bahwa Permenaker ini telah melalui proses dialog dari berbagai pemangku kepentingan ketenagakerjaan serta Kementerian/Lembaga terkait melalui forum tripartit nasional.
Bertentangan dengan Putusan MK
Namun Permenaker 2/2022 tentang JHT ini berinduk kepada UU SJSN yang mana beberapa ketentuan dalam UU SJSN tersebut diubah oleh Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (“UU Cipta Kerja”). Jika mengacu kepada Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 tanggal 25 November 2021 yang menyatakan bahwa UU Cipta Kerja Inkonstitusionalitas Bersyarat, sehingga Pemerintah diminta untuk menangguhkan segala tindakan atau kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas serta tidak dibenarkan menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU Cipta Kerja.
Maka, dalam hal ini Permenaker 2/2022 tentang JHT yang merupakan peraturan turunan dari UU Cipta Kerja telah bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi. Dengan demikian, menurut kami Permenaker 2/2022 tentang JHT masih berpotensi untuk dapat diajukan uji materiil ke Mahkamah Agung oleh pihak-pihak yang merasa keberatan dengan ketentuan yang diaturnya. Bahkan beberapa praktisi berpendapat, bahwa Permenaker 2/2022 JHT harus dinyatakan batal demi hukum, sehingga Permenaker 2/2022 JHT itu tidak dapat diberlakukan dengan sendirinya karena kehilangan dasar hukum.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H