Mohon tunggu...
Raden Zulfikar
Raden Zulfikar Mohon Tunggu... Pengacara - Pekerja Teks Komersial

Seorang pembaca yang menulis, agar tidak hilang dari sejarah. Seperti kata Pram, 'Menulis adalah bekerja untuk keabadian.'

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tak Sekadar Kain, Batik adalah Jiwa dalam Prosesi Kehidupan Masyarakat Indonesia

17 Februari 2022   17:17 Diperbarui: 2 Oktober 2023   09:27 1279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Proses pembuatan batik tulis oleh dua pembatik dari Yogyakarta. (Unsplash: Camille Bismonte)

Pada sebagian masyarakat Indonesia,  membatik  adalah sebuah tradisi yang dilakukan dari generasi ke generasi. Membatik dilakukan di berbagai daerah dari usia kecil hingga dewasa. Dari saat bayi digendong dengan kain batik, adat pernikahan mengenakan kain batik, hingga ketika tutup usia pun umumnya jenazah akan diselimuti dengan kain batik. 

Batik tidak sebatas gambar di atas selembar kain. Lebih dari itu, batik adalah jiwa yang menyatu dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Hal tersebut menjadi pertimbangan sendiri bagi Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) Dalam Sidang ke-4 Komite Antar Pemerintah (Fourth Session of The Intergovernmental Committee) tentang Warisan Budaya Tak-Benda yang dilaksanakan di Abu Dhabi yang memberikan pengakuan internasional: Batik Indonesia sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Non-bendawi (Masterpieces of the Oral and Intangible Heritage of Humanity). Hal ini kemudian diituangkan ke dalam Keputusan Presiden Nomor 33 Tahun 2009, sehingga setiap tanggal 2 Oktober Indonesia merayakan Hari Batik Nasional. 

Selain itu, Dewan Kerajinan Dunia (World Craft Council/WCC) juga telah menobatkan kota Yogyakarta sebagai Kota Batik Dunia pada tanggal 18 Oktober 2014 di Kota Dongyang, Republik Rakyat Tiongkok (RRT).

Indonesia kaya akan warisan budaya bukanlah sekadar jargon belaka. Setidaknya negara ini memiliki 13.466 pulau, 726 bahasa daerah atau 640 bahasa versi United Nations Educational, Cultural, and Scientific Organization (UNESCO), ada 5.300 makanan asli Indonesia, dan sekarang tercatat Indonesia memiliki 5.849 motif batik dari Aceh sampai Papua. 

Pengertian batik secara etimologi berasal dari kata “tik” yang berarti kecil. Istilah tersebut mengacu kepada kebiasaan orang Jawa dalam menyebut sesuatu yang kecil seperti benthik, jenthik, klithik dan lainnya. 

Sedangkan menurut Suryanto (2002:1) secara terminologi, batik merupakan sebuah gambaran yang dihasilkan dengan menggunakan alat berupa canting atau sejenisnya dengan bahan lilin sebagai perintang warnanya. 

Jika ditelaah melalui gramatikal, kata “batik” berasal dari dua kata dalam bahasa Jawa, yaitu “amba” yang berarti luas atau lebar dan “nitik” yang mempunyai arti titik, dimana dalam pembuatan kain batik sebagian prosesnya dilakukan dengan menulis dan sebagian dari tulisan tersebut berupa titik.

Batik tidak hanya sebatas gambar motif di atas seutas kain, melainkan sebuah proses: melalui media canting maupun cap. Bahkan Kepala Badan Ekonomi Kreatif kala itu, Triawan Munaf, dalam acara Konferensi Pers Hari Batik Nasional 2019 tegas mengatakan bahwa printing itu bukan batik. 

Batik adalah batik tulis dan batik cetak. Saat ini Indonesia diserbu oleh produk luar negeri dengan tekstil bermotif batik, tapi bukan batik yang sesungguhnya. 

Proses pewarnaan batik pada jaman dahulu masih menggunakan bahan-bahan alami yang bersumber dari daun, batang, hingga akar-akaran dari berbagai jenis tanaman, seperti pohon nila, pohon soga tingi, kayu tegeran, kunyit, kesemumba, dan akar mengkudu. 

Meskipun saat ini proses pewarnaan batik ada juga yang menggunakan pewarna kimia, akan tetapi cerita di balik proses pembuatan itulah yang dapat menjadi added value bagi banyak sentra industri batik yang masih menggunakan pewarna alami.

Keraton dengan segala atribut kerajaannya sebagai pusat kebudayaan yang menjadi daya tarik tersendiri sejak dahulu kala. Warisan budaya Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat (atau disebut juga dengan Kagungan Dalem baik) ada yang sifatnya benda seperti, pusaka, gamelan, kristal & keramik, kereta. Ada juga yang termasuk tak benda, seperti, Tari, komposisi musik, pakaian, masakan, dan yang akan dibahas dalam penelitian ini: Motif Batik.  

Keyakinan akan adanya kekuatan spiritual maupun makna filsafat yang terkandung dalam motif kain batik menjadi salah satu hal yang melatarbelakangi adanya batik larangan di Yogyakarta. Motif pada batik dipercaya mampu menciptakan suasana yang religius serta memancarkan aura magis sesuai dengan makna yang dikandungnya. 

Oleh karena itu beberapa motif, terutama yang memiliki nilai falsafah tinggi, dinyatakan sebagai batik larangan. Setiap Sultan yang sedang bertahta memiliki kewenangan untuk menetapkan motif batik tertentu ke dalam batik larangan. Parang Rusak adalah motif pertama yang dicanangkan sebagai pola larangan di Kesultanan Yogyakarta oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I pada 1785.

Dari ribuan motif batik yang ada di Indonesia, Batik Klasik Motif Parang dari Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat menjadi salah satu dari motif batik tertua di Indonesia. 

Batik yang saat ini beredar di masyarakat banyaknya merupakan jenis batik kontemporer, sedangkan dalam lingkungan Keraton Yogyakarta, terdapat motif-motif batik yang penggunaannya terikat dengan aturan-aturan tertentu di Keraton dan tidak semua orang boleh memakainya, atau disebut dengan Batik larangan Keraton Yogyakarta (atau kadang disebut Awisan Dalem). 

Penggunaannya Batik Larangan secara khusus tersebut tertuang dalam “Rijksblad van Djokjakarta” tahun 1927, tentang Pranatan Dalem Bab Jenenge Panganggo Keprabon Ing Keraton Nagari Yogyakarta yang kemudian pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono VIII bertahta (1921-1939), motif parang dan variasinya menjadi Batik Larangan yang sangat ditekankan di Keraton Yogyakarta. 

Bahkan pada kunjungan silaturahmi Presiden RI ke Keraton Yogyakarta, Presiden Bersama ibu negara tak kenakan Batik motif Parang. Dalam hal ini, Pak Jokowi menghormati adab dan aturan Keraton, meskipun beliau menjabat sebagai Presiden.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun