Mohon tunggu...
Raden Prayudi Setia Affandie
Raden Prayudi Setia Affandie Mohon Tunggu... Assistant Analyst Internal Relations -

Human

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Waktu untuk Sang Ibu

20 April 2016   16:51 Diperbarui: 20 April 2016   19:38 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Ilustrasi - menunggu ibu mencuci (kfk.kompas.com/)"][/caption]Rambutnya yang mulai putih, kerutan yang mulai bermunculan, tubuhnya yang tak lagi proporsional, namun cantik. Ya, wanita tercantik di dunia, dialah Ibu.

Dua puluh empat tahun lalu, wanita tersebut mempertaruhkan nyawanya demi mempertemukan seorang bayi berbobot 3,5 kg dengan dunia. Sebuah klinik bidan di Jalan Halimun Kota Bandung menjadi arena pertarungannya antara hidup dan mati. Akhirnya, sekitar pukul empat subuh, 24 Juli 1991, Ibu memperkenalkan saya kepada dunia.

Dulu, Ibu adalah seorang pegawai bank di Simpang Lima, Asia Afrika, Kota Bandung. Dia tercatat sebagai pegawai teladan yang kariernya terus meningkat karena kegigihannya dalam bekerja. Namun, apa yang terjadi ketika Ibu melahirkanku? Dia jadi tidak fokus, sering tidak masuk kerja, dan terlihat keteteran. Karena apa? Tentu karena sibuk mengurusku, memberiku ASI, menggendongku pagi dan malam. Hingga akhirnya Ibu memutuskan untuk menghentikan kariernya, membuangnya begitu saja, hanya untuk siapa? Hanya demi saya, fokus kepada saya, memberikan yang terbaik bagi saya.

[caption caption="Ibu. Dok.pri"]

[/caption]Saya adalah anak yang nakal. Dari kecil saya sering kali membuat Ibu pusing karena kelakuan saya. “Dosa apa Mamah punya anak kaya kamu, Kak.” Kalimat tersebut pernah terlontar dari mulut Ibu. Saat itu karena saya pernah membuat Ibu dipanggil oleh pihak sekolah karena kenakalan saya menjahili seorang guru. Pada umur 14 tahun, saya pernah mengalami kecelakaan motor, tidak lepas karena kenakalan saya memacu motor dengan kecepatan yang sangat tinggi. Sesaat saya tidak sadarkan diri dan ketika terbangun saya sudah berada di Rumah Sakit Al Islam, Soekarno Hatta, Bandung. Ketika pertama kali membuka mata, saya melihat Ibu berada di samping saya sedang menangis, menangis karena sedih, menangis karena kecewa. Kenakalan tersebut tidak berhenti, sering kali saya membuat Ibu menangis.

Hingga suatu saat ketika saya berumur 16 tahun, Ibu dari teman dekat saya meninggal. Pada saat itu, di otak saya hanya ada Ibu, Ibu, dan Ibu. Saya pun tersadar, Ibu tidak akan selamanya berada di dunia.

Memasuki dunia kuliah, saya mulai berpisah atap dengan Ibu. Menempati kosan yang terletak di Jatinangor, diselingi kesibukan berkuliah sehingga mulai jarang melihat Ibu. Terlebih ketika saya bergelut dengan dunia skripsi.

Saya orang yang malas dalam mengerjakan skripsi. Ibu pun sempat kecewa karena saya tidak juga lulus, malah menyibukkan diri dengan organisasi-organisasi di kampus. Hingga pada Februari 2013, saya menghadiri proses wisuda teman dekat saya, di sana saya melihat bagaimana orang tua mereka begitu terlihat bahagia sambil memeluk teman dekat saya. Dalam hati saya tersadar bahwa ternyata sudah 23 tahun saya belum pernah benar-benar membuat Ibu bangga. Ya, di situ saya kecewa karena membuat Ibu kecewa lebih sering daripada membuat Ibu bangga. Kekecewaan tersebut terbayar ketika akhirnya saya berhasil lulus pada tahun 2014. Senyum yang begitu lebar tersungging dari bibir ibuku, tak pernah kulihat ibu tersenyum sebahagia ini. Bulu kuduk berdiri, bangga, bahagia, bukan karena saya berhasil lulus, namun karena akhirnya saya dapat benar-benar membuat ibu saya bangga.

*** 

2 tahun kemudian...

“Mamah bikin sayur kacang Ka, pulang ya.” Kalimat tersebut sering kali tertulis muncul di notifikasi handphone saya sejak saya bekerja di Jakarta. Ya, dari dulu Ibu selalu membuatkanku sayur kacang, dan beliau selalu menyuapiku, bahkan hingga sekarang. Konyol memang seseorang berumur 24 tahun masih disuapi sayur kacang oleh ibunya, namun itu yang menjadi kebiasaan Ibu. Dan hal itu merupakan salah satu hal yang selalu membuatku teringat kepadanya.

Namun apa yang kubilang terhadap ibu? “Nanti ya Mah, banyak banget kerjaan masih belum bisa pulang.” Balasan tersebut sangat sering kusampaikan, hingga mungkin dapat dijadikan template di pesan singkat handphone saya. Lagi-lagi saya lupa akan peran Ibu di dunia ini. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun