Â
"Emang ada niat mau nyogok berapa?" tanya oknum panitera pengganti pengadilan tiba-tiba kepada saya beberapa hari lalu.Â
Pertanyaan oknum usai sidang pertama itu membuat saya tersentak kaget. Awalnya saya pikir salah dengar. Ternyata tidak. Pertanyaan itu diulangi lagi. Saya tak bisa berkata-kata, lidah mendadak kelu, Â ulu hari terasa sakit seperti ditusuk belati.Â
Meski telah berlalu hampir satu minggu hati masih terasa sakit, mata perih, kepala nyut-nyutan. Beberapa hari terakhir ucapan oknum panitera pengganti itu sering tiba-tiba muncul mengganggu pikiran saya.
Sudah puluhan tahun menjadi aktivis - terhitung sejak 1988 hingga 1994 sebagai aktivis mahasiswa, berlanjut sejak 2011 hingga sekarang sebagai aktivis antikorupsi dan praktisi hukum ada satu hal yang tidak berubah pada bangsa kita yang tercermin dari mayoritas pegawai negeri yang bertugas melayani warga masyarakat: Â Mental korup.
Karena lebih banyak berurusan dengan lembaga / institusi hukum akan tidak etis apabila saya menganggap karakter korup tersebut terdapat pada seluruh lembaga/ institusi pelayanan publik.
Mental atau karakter korup pegawai negeri/ pejabat  pemerintah/ pejabat negara yang saya temukan sehari-hari hampir seluruhnya dari lembaga hukum terbanyak adalah di pengadilan.
Sebagai aktivis antikorupsi selama kurun waktu tahun 2011 sampai 2014 lebih seratus laporan pengaduan disampaikan kepada KPK. Sebanyak 42 laporan pengaduan di antaranya diproses penyidik KPK hingga perkaranya adili di pengadilan tipikor.
Sebagai aktivis antikorupsi dan juga sebagai advokat, selama tiga tahun terakhir puluhan laporan pengaduan terkait praktik suap dan mafia peradilan dilaporkan kepada Komisi Yudisial, Badan Pengawasan MA bahkan langsung kepada Ketua Mahkamah Agung.Â
Belasan di antaranya ditindaklanjuti, beberapa di antaranya berujung dengan penjatuhan sanksi atau hukuman disiplin kepada oknum hakim (termasuk hakim tinggi) dan pejabat pengadilan.