Anomali politik keempat DPR kembali menjadi lembaga stempel yang malfungsi dalam menjalankan pengawasan terhadap jalannya pemerintahan / eksekutif. Dinamika politik DPR yang menonjol adalah "koor setuju" yang menempatkan DPR seperti menara gading dalam kehidupan politik bangsa dan negara. DPR RI sekarang diyakini banyak kalangan lebih mirip DPR pada masa orde baru yang tak lebih dari lembaga "stempel".
Anomali politik kelima adalah eksistensi KPK sebagai lembaga ad hoc yang semakin tidak jelas arah dan tujuannya. KPK gagal mengemban misi utama pembentukannya yakni pemberantasan korupsi dengan prioritas utama korupsi-korupsi (suap) di lembaga / institusi penegak hukum yang diharapkan dalam tempo sesingkat-singkatnya mampu memperkuat dan mengembalikan fungsi lembaga/ institusi penegak hukum.
KPK jelas telah gagal dalam mengemban misi utamanya. Malah sebaliknya KPK sebagai lembaga ad hoc (sementara) ingin diakui eksistensinya sebagai lembaga permanen, yang memberi makna kepada rakyat bahwa KPK bukanlah Komisi Pemberatasan Korupsi melainkan Komisi Pemelihara Korupsi. Selama KPK masih eksis artinya korupsi makin banyak dan KPK gagal dalam menjalankan tugas dan fungsinya.