Mohon tunggu...
Raden Nuh
Raden Nuh Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

Pemerhati di kejauhan

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Eksekusi Putusan Cermin Integritas Pengadilan

9 Juli 2024   16:26 Diperbarui: 9 Juli 2024   16:57 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber mahkamahagung.go.id 

Eksekusi putusan perkara perdata merupakan puncak atau akhir dari proses upaya hukum yang dilakukan pencari keadilan guna mendapatkan keadilan yang telah diperjuangkan sejak awal melalui jalur litigasi atau pengajuan gugatan kepada pengadilan oleh penggugat.


Penggugat dalam suatu perkara perdata di pengadilan juga disebut sebagai pencari keadilan / justibelen yaitu pihak yang merasa hak atau kepentingannya telah dirugikan oleh orang lain atau pihak tertentu, oleh karenanya gugatan diajukan kepada Pengadilan tujuannya adalah agar hak atau kepentingannya yang telah dirugikan tersebut dapat dipulihkan kembali melalui putusan pengadilan biasanya melalui pengembalian kepada keadaan awal sebelum kerugian terjadi (reinstatement) atau dengan pembayaran sejumlah uang dari pihak yang menimbulkan kerugian atau dengan mengembalikan barang kepunyaan penggugat, dan seterusnya.

Terhadap perkara perdata di atas,  putusan pengadilan yang diharapkan penggugat adalah putusan yang amarnya merupakan suatu penghukuman (condemnatoir). Selain putusan condemnatoir, terdapat pula putusan declaratif yang amar putusannya sekedar menerangkan atau menetapkan suatu keadaan dan putusan constitutief yang amar putusannya dapat meniadakan suatu keadaan hukum atau menimbulkan keadaan hukum baru.


Putusan declaratif dan constitutief tidak memerlukan eksekusi oleh pengadilan karena sifatnya yang hanya menerangkan, meniadakan atau menimbulkan keadaan hukum.
Sebaliknya putusan condemnatoir yang amarnya merupakan penghukuman terhadap pihak yang kalah untuk melakukan sesuatu, yang dapat terdiri dari penghukuman membayar sejumlah uang, penyerahan suatu barang, pelaksanaan suatu perbuatan pekerjaan dan seterusnya hingga penghukuman pihak yang kalah untuk tidak melakukan sesuatu, dibutuhkan peran pengadilan dalam menjalankan eksekusi putusan.


Terkait judul tulisan di atas, permasalahan dalam eksekusi suatu putusan perdata yang dimaksud adalah permasalahan dalam eksekusi suatu putusan condemnatoir khususnya permasalahan yang ada atau timbul di Pengadilan Negeri (PN), di mana PN adalah pihak yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melaksanakan dan menjalankan eksekusi seperti halnya peran jaksa dalam suatu putusan pidana. Faktanya adalah sangat banyak putusan pengadilan (condemnatoir) tidak dieksekusi (tidak diajukan), gagal dieksekusi atau mandek/macet eksekusi.

Eksekusi di Pengadilan Negeri
Terkait putusan condemnatoir yang tidak diajukan eksekusinya kepada pengadilan negeri, sebabnya bisa bermacam-macam: pihak yang kalah bersedia menjalankan putusan secara sukarela, terjadi perdamaian, pihak yang kalah menghilang/ tidak dapat ditemukan, meninggal dunia, sudah tutup/ bangkrut, tidak ada harta yang dapat disita, hingga tidak mampu membayar biaya eksekusi terutama biaya tidak resmi atau imbalan uang yang diminta oknum pengadilan.

Banyak dari kalangan masyarakat awam pencari keadilan yang jadi pemohon eksekusi merasa kecewa, frustrasi, putus asa, kehilangan harapan atau punya pengalaman pahit berurusan dengan pengadilan dikarenakan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (BHT) tidak dijalankan oleh pengadilan sebagaimana yang diharapkan. Penyebab utamanya adalah integritas staf pengadilan yang di bawah standar.


Sebagian besar pencari keadilan/ pemohon eksekusi dihadapkan kepada perilaku pejabat pengadilan yang tidak sesuai ketentuan kode etik dan perilaku pejabat pengadilan (KEPPP): Kode Etik Perilaku Hakim (KEPPH) Kode Etik Perilaku Panitera dan Kode Etik Perilaku Juru Sita (KEPPP-JS), yang mana khusus untuk pelanggaran terkait eksekusi ini sangat minim tindakan tegas dari Mahkamah Agung terhadap oknum pelakunya.

Motif Imbalan dan Permintaan Uang dalam Pelanggaran SOP
Yang paling dominan permasalahan eksekusi adalah terkait pelanggaran Standar Operasional dan Prosedur (SOP), terutama menyangkut waktu penyelesaian suatu tahapan dalam eksekusi. Contoh: Permohonan eksekusi suatu putusan yang diajukan kepada Pengadilan untuk penerbitan penetapan eksekusi adalah 255 menit (4 jam 25 menit, kurang dari satu hari kerja)  paling lambat 7 (hari) sebagaimana ketentuan SOP Dirjen Badilum  Mahkamah Agung Nomor 1228 Tahun 2018.

Dalam SOP Eksekusi Riel No. 1228 Tahun 2018 tersebut paling lambat dalam waktu 4 jam 30 menit dari sejak diajukan oleh pemohon penetapan eksekusi telah diterbitkan oleh Ketua Pengadilan, di mana agenda pertama adalah pelaksanaan aanmaning/ teguran kepada pihak yang kalah.  Akan tetapi fakta atau realitasnya, jangka waktu 7 hari sesuai SOP selalu diabaikan. Sebagian besar penetapan eksekusi oleh Ketua Pengadilan diterbit lebih dari satu bulan lamanya, kecuali ada imbalan sejumlah uang sebagai pelicin atau pendorong.  Ironis? Ya, akan tetapi begitulah faktanya suka atau tidak suka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun