Oleh karenanya menurut ketentuan perundang-undangan Mendagri wajib memberhentikan Hassanudin dari jabatan Penjabat Gubernur Sumatera Utara dan segera menunjuk penggantinya sesuai mekanisme perundang-undangan yang berlaku.
Otoriter - Militerisme Vs Demokrasi - Supremasi Sipil
Dalam perspektif demokrasi penunjukan Hassanudin yang merupakan personil militer aktif untuk menduduki jabatan Gubernur yang merupakan jabatan sipil yang pengisiannya-dalam kondisi normal  harus melalui mekanisme pemilihan umum adalah suatu noda hitam atau kemunduran besar dalam sistem politik Indonesia yang menganut demokrasi di mana supremasi sipil adalah salah satu karakteristik utama.Â
Di samping kemunduran besar dan menjadi noda hitam dalam sistem dan kehidupan demokrasi, penunjukan personil militer sebagai penjabat gubernur walau pun hanya terjadi di Sumatera Utara merupakan pengkhianatan terhadap cita-cita reformasi.
Guna memastikan Indonesia tidak kembali terjerumus dalam sistem otoriter militer, penunjukan seorang militer aktif untuk menduduki jabatan publik tidak boleh dibiarkan begitu saja kecuali dalam situasi darurat militer atau negara dalam keadaan perang.
Penunjukan perwira militer sebagai penjabat gubernur sebagaimana terjadi di Sumatera Utara harus dihentikan, Â Mendagri harus segera menunjuk penggantinya dari seorang ASN Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT) Madya untuk menyelamatkan kehidupan demokrasi di Sumatera Utara pada khususnya dan di Republik Indonesia pada umumnya. Praktik menyimpang seperti ini tidak boleh terulang kembali.
Membiarkan kekeliruan di atas terjadi sama saja seperti mengundang harimau masuk ke dalam rumah sendiri, mengundang kematian kehidupan demokrasi di Republik ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H