Penyebab dari empat masalah eksekusi di atas bermacam-macam akan tetapi pada umumnya masalah timbul dikarenakan oknum Ketua Pengadilan tidak menjalankan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) sebagaimana digariskan oleh perundang-undangan.
Penyalahgunaan Wewenang oleh Ketua Pengadilan
Ketua Pengadilan seolah memiliki kewenangan absolut dalam menjalankan eksekusi, padahal banyak ketua pengadilan tidak mempunyai kapasitas selaku pelaksana dan penanggung jawab eksekusi. Namun, yang paling menyedihkan karena merupakan penyebab dominan adalah kualitas moral atau integritas dari ketua pengadilan.
Sering terdengar eksekusi sengaja ditunda-tunda/ diperlambat atau tidak dijalankan karena pemohon eksekusi tidak mampu atau tidak mau memenuhi permintaan uang di luar biaya resmi yang diminta oleh ketua pengadilan atau oknum pejabat pengadilan yang dapat dikategorikan uang suap, gratifikasi atau pemerasan. Atau, eksekusi tidak dijalankan dikarenakan ada kolusi antara oknum pengadilan dengan termohon ekeskusi.
Berikut ini salah satu contoh eksekusi yang tidak dijalankan sesuai ketentuan dikarenakan kolusi ketua pengadilan dengan termohon eksekusi yang juga terindikasi kuat ada pemberian uang suap kepada oknum ketua pengadilan.Â
Dikarenakan kewenangan yang dimiliki oleh Ketua Pengadilan dalam menjalankan eksekusi putusan, tidak heran ada yang tergoda menyalahgunakan kekuasaan / kewenangannya dengan meminta uang (suap) bahkan hingga memeras pemohon eksekusi.Â
Tidak hanya itu, pihak Termohon eksekusi sering menggunakan segala cara termasuk dengan menyuap ketua pengadilan agar eksekusi dapat tidak dijalankan.
Berikut ini salah satu contoh eksekusi yang tidak dijalankan dikarenakan diduga ada kolusi dan pemberian suap dari Termohon eksekusi kepada oknum Ketua Pengadilan.
Contoh Kasus:Â
Eksekusi No. 57/Eks.Pdt/2021 Jo. 91/Pdt.G/2021/PN.Jkt.Sel.
- Pada tanggal 14 April 2021 diterbitkan Putusan Perdamaian PN Jakarta Selatan No. 91/Pdt.G/2021/PN.Jkt.Sel. berdasarkan Akta Perdamaian tanggal 16 Maret 2021 yang ditandatangani Penggugat dan Tergugat di depan Mediator Hakim PN Jakarta Selatan;
- Pada tanggal 16 April 2021 Tergugat menjual saham dalam PT Kolaka Mineral Resources dan PT Mulia Makmur Perkasa (dua perusahaan pertambangan pemilik IUP Tambang Nikel 4.851 hektar di Kolaka, Sulawesi Tenggara) yang dimiliki PT. Iman Tatakerta Raharja perusahaan induk peninggalan di mana Tergugat menjabat direktur utama perseroan;
- Pada tanggal 21 Mei 2021 Tergugat mengirim surat kepada Bank Mandiri yang pada pokoknya  meminta Bank Mandiri agar menyerahkan isi  dalam 2 (dua) SDB peninggalan No. 80 dan No. 1290 kepada Tergugat. Permintaan Tergugat ditolak oleh Bank Mandiri;
- Pada tanggal 21 Mei 2021 Tergugat menggagalkan inventarisasi dokumen yang sedang berjalan di PT. Iman Tatakerta Raharja dengan mendatangkan belasan petugas kepolisian;
- Pada tanggal 25 Mei 2021 Tergugat mengirim surat kepada Direksi PT. Bumiputera Sekuritas yang pada pokoknya melarang dilakukan pencairan/pengosongan rekening investasi peninggalan. Larangan tersebut disertai ancaman akan menggugat dan melaporkan direksi ke kepolisian apabila pencairan/ pengosongan tetap dijalankan;
- Pada tanggal 7 Juni 2021 Penggugat mengajukan Permohonan Eksekusi  Putusan Perdamaian No. 91/Pdt.G/2021/PN,Jkt.Sel., tanggal 14 April 2021 kepada Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dikarenakan Tergugat telah nyata tidak mentaati  atau mengingkari isi putusan perdamaian, yang mengakibatkan timbul kerugian materiel sangat besar yang dialami Penggugat;Â
- Pada tanggal 27 Oktober 2021 diterbitkan Penetapan Eksekusi No. 57/Eks.Pdt/2021 Jo. 91/Pdt.G/2021/PN.Jkt.Sel. oleh Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
- Dalam Aanmaning I tanggal 10 Nopember 2021 dan Aanmaning II tanggal 17 November 2021 Tergugat/Termohon Eksekusi menolak menjalankan eksekusi secara sukarela;
- Pada tanggal  23 Februari 2022 dan 01 Maret 2022 dilakukan eksekusi gedung kantor PT Iman Tatakerta Raharja di Menara Karya Lt. 21 Suit A, Kuningan, Jakarta Selatan, eksekusi / pemblokiran rekening peninggalan di Standard Chartered Bank dan Citibank Jakarta.
- Pada tanggal 21 April 2022 Termohon Eksekusi /Tergugat diam-diam menemui Ketua Pengadilan (tanpa dihadiri Penggugat/Pemohon Eksekusi);Â
- Pada tanggal 22 April 2022 uang dalam rekening Standard Chartered Bank diterima di Rekening Pengadilan;
- Pada tanggal 25 April 2022 Pemohon hadir di Pengadilan memenuhi undangan Ketua Pengadilan dalam rangka penyerahan hasil eksekusi pengosongan rekening di Standard Chartered Bank Jakarta kepada Pemohon. Â Akan tetapi dalam pertemuan tersebut Ketua Pengadilan mendadak membatalkan penyerahan uang hasil eksekusi kepada Pemohon dengan alasan prinsipal pemohon tidak hadir. Pemohon diminta oleh Ketua Pengadilan untuk menghadirkan prinsipal dalam pertemuan tanggal 27 April 2022 agar hasil eksekusi dapat diserahkan kepada Pemohon;Â
- Pada tanggal 27 April 2022 Pemohon/Penggugat dan prinsipal hadir di pengadilan memenuhi undangan Ketua Pengadilan dalam rangka penyerahan hasil eksekusi pengosongan rekening di Standard Chartered Bank Jakarta kepada Pemohon. Akan tetapi penyerahan hasil eksekusi tersebut dibatalkan Ketua Pengadilan dengan alasan "Termohon/Tergugat Tidak Setuju". Â Atas penundaan/ pembatalan oleh Ketua Pengadilan Pemohon menyatakan berkeberatan;
- Pada tanggal 25 Mei 2022 Pemohon kembali hadir di pengadilan memenuhi undangan Ketua Pengadilan dalam rangka penyerahan hasil eksekusi pengosongan rekening di Standard Chartered Bank Jakarta kepada Pemohon. Akan tetapi penyerahan tersebut kembali dibatalkan oleh Ketua Pengadilan dengan alasan "Tergugat/Termohon mengajukan perlawanan/bantahan atas eksekusi". Â Bahwa Pemohon menyatakan berkeberatan atas alasan-alasan Ketua Pengadilan yang tidak berdasar dan bukan alasan yang sah;
- Pada tanggal 10 Oktober 2022 Ketua Pengadilan menetapkan sendiri dan membagi sendiri uang hasil pengosongan rekening di Standard Chartered Bank Jakarta langsung kepada masing-masing prinsipal pemohon / penggugat dan termohon/tergugat, yang mengakibatkan timbul kerugian yang dialami Pemohon oleh karenanya Pemohon menyatakan berkeberatan kepada Ketua Pengadilan atas penyerahan hasil eksekusi yang tidak sesuai ketentuan dalam putusan No. 91/Pdt.G/2021/PN.Jkt.Sel. tanggal 14 April 2021, tidak sesuai ketentuan dalam Penetapan Eksekusi No. 57/Eks.Pdt/2021 Jo. 91/Pdt.G/2021/PN.Jkt.Sel. tanggal 11 April 2022, Â tidak sesuai ketentuan dalam Buku Pedoman Eksekusi Pada Pengadilan Negeri, Ditjen Badilum MA RI Tahun 2019 dan ketentuan perundang-undangan yang bersangkutan;
- Pada tanggal 10 Oktober 2022 Ketua Pengadilan bersikeras menyerahkan hasil eksekusi pengosongan rekening Standard Chartered Bank Jakarta berdasarkan perhitungan dan penetapan Ketua Pengadilan sendiri, mengabaikan biaya yang telah dikeluarkan oleh Pemohon sejak awal pengurusan perkara perdamaian di pengadilan hingga biaya-biaya terkait eksekusi sekitar Rp 1.5 miliar serta kerugian materiel yang dialami penggugat/ pemohon akibat perbuatan Tergugat yang tidak mematuhi/ mentaati putusan perdamaian yang besar kerugiannya lebih Rp. 100 miliar. Atas keberatan Pemohon, Ketua Pengadilan berjanji akan memperhitungkan penggantiannya pada eksekusi pencairan / pengosongan tahap berikutnya;
- Bahwa faktanya Ketua Pengadilan tidak menjalankan eksekusi tahap berikutnya. Tidak menjalankan eksekusi pengosongan rekening di Citibank, tidak menjalankan eksekusi lelang gedung kantor di Menara Karya padahal telah berulang kali dimohonkan Pemohon kepada Ketua Pengadilan.
- Pada tanggal 25 Januari 2024 Pemohon hadir di Pengadilan memenuhi undangan Ketua Pengadilan dalam rangka penyerahan hasil eksekusi pengosongan dua SDB Bank Mandiri, akan tetapi dalam pertemuan tersebut Ketua Pengadilan KEMBALI membatalkan penyerahan hasil eksekusi dengan alasan "harus ada kesepakatan bersama Pemohon dan Termohon" Â yang disertai ancaman dari Ketua Pengadilan apabila tidak ada kesepakatan hingga tanggal 25 Februari 2024 Ketua Pengadilan akan melelang isi dalam dua SDB di antaranya berupa 10 (sepuluh) bidang tanah yang terletak di DKI Jakarta, Tangerang dan Cianjur. Â Atas pernyataan dan sikap Ketua Pengadilan Pemohon menyatakan berkeberatan.
Akibat adanya kolusi dan pemberian uang suap dari Termohon Eksekusi kepada oknum pengadilan, putusan yang sudah  inkracht / BHT tidak berjalan selama tiga tahun yang mengakibatkan Penggugat selaku Pemohon Eksekusi semakin menderita kerugian.Â