Bayangkan setelah bertahun-tahun berperkara di pengadilan, mulai dari pendaftaranerkara hingga terbit putusan yang berkekuatan hukum tetap (BHT) atau final (inkracht van gewijsde), setelah mengorbankan biaya besar mulai biaya advokat (operasional, jasa dan success fee), biaya berperkara di pengadilan PNBP (SKUM), setelah menyita waktu sekian lama: mulai dari proses di pengadilan tingkat pertama, tingkat banding hingga kasasi dan peninjauan kembali di Mahkamah Agung ternyata hasilnya adalah putusan yang tidak dapat dieksekusi. Bahkan lebih apes lagi, putusan pengadilan yang sudah final tadi adalah hampa atau hanya ilusi.
Kok bisa hampa?
Putusan pengadilan adalah mahkota hakim. Suatu putusan harus merupakan penyelesaian terhadap masalah (perkara). Â Putusan tidak boleh menimbulkan masalah baru yang pada akhirnya mencederai rasa keadilan para pencari keadilan (justibelen).
Eksekusi putusan pengadilan adalah puncak dari proses suatu perkara di pengadilan.
Dalam perkara pidana pelaksanaan eksekusi putusan adalah wewenang kejaksaan, sedangkan dalam perkara perdata pelaksana eksekusi adalah wewenang pengadilan tingkat pertama (pengadilan negeri, pengadilan agama, pengadilan tata usaha negara) dalam hal ini  adalah Ketua Pengadilan.
Tidak semua putusan perdata dapat dieksekusi, hanya putusan yang amarnya bersifat menghukum (condemnatoir) yang dapat dieksekusi oleh Ketua Pengadilan.
Sebagian besar permasalahan pada eksekusi putusan condemnatoir - untuk tidak menyebut seluruhnya, adalah mengenai eksekusi putusan perdata di mana:
1. Eksekusi tidak dijalankan sama sekali.
2.Eksekusi dijalankan akan tetapi tidak selesai tuntas.
3.Eksekusi dijalankan akan tetapintidak sesuai ketentuan.
4.Eksekusi dijalankan akan tetapi lambat/ memakan waktu sangat lama.