****
Pagi itu didampingi Bapak, aku dijadwalkan bertemu dokter untuk melanjutkan pemeriksaan setelah menjalani sesi rontgen semalam. Terlihat seorang perawat bersama sang dokter mendorong semacam rak berisi peralatan medis.
Ada takut yang memburu, ada harap yang menyelinap. Ini saat yang kutunggu, aku tak sabar mendengar penjelasan sang dokter.
"Selamat pagi. Sudah sarapan?"
"Sudah Dok, sebelum minum obat", singkatku
Beliau langsung melihat beberapa lembar hasil diagnosaku. "Ini yang patah banyak, tulang ditangan kiri patah semua. Dikaki yang patah tepat dipangkal tulang paha", ujarnya sambil menoleh kearahku.
Dari hasil rontgen diketahui aku mengalami 6 titik patah tulang (fraktur), 1 titik di pangkal paha kiri, 1 titik pada lengan atas kiri, 2 titik pada lengan bawah kiri, 1 titik dijari manis kiri dan 1 titik di telapak tangan kiri. Berdasarkan fakta dan pertimbangan dokter, aku divonis akan menjalani dua kali operasi pemasangan pen mengingat jumlah fraktur dibanyak titik.
Inkracht Van Gewijsde.
Ibarat sebuah putusan majelis hakim, vonis declatoir sang dokter barusan memaksaku tak menempuh upaya selain berdoa dan bertahan.
Setelah penjelasan selesai, sang dokter memulai tindakan dari yang paling ringan yaitu menjahit luka menganga dengan tulang yang terlihat dijari manisku. Lanjut, ia memposisikan tanganku didada sambil memasang gips. Tak pernah kubayangkan sesakit ini. Luar biasa...Aku meringis kesakitan. Kucoba menahan dengan menggigit selimut.
Terakhir, aku melihat ada tali dari perban yang terikat dipergelangan kakiku dan menjuntai di tepi ranjang dengan beban lima botol cairan infus. Kata dokter hal itu dilakukan agar posisi kakiku tetap lurus.
*****
Satu minggu berlalu, semua aktivitas rutin kulakukan sambil terbaring demi menunggu jadwal operasi pemasangan pen. Alasan mengapa aku harus menunggu selama itu, karena pen tersebut harus dipesan terlebih dahulu menyesuaikan posisi tulang yang mengalami kerusakan.