Angkara I
Muhammad Zaidan
Rima angkara
yang bermetamorfosa senjata.
Kepal tangan,
yang menjadi salah satu tanda.
Penguasa bigot yang hadirnya tanpa pertanda,
bermain gila menebar kalam kelam.
Berangus massa yang diperdaya sebatas kata,
kotak suara yang lahir dan dipenuhi wacana belaka.
cita-cita yang tak tercapai karna ulah penguasa
dusta-dusta yang ditebar seluas angkasa.
Prosa cinta atas kematian yang terlupakan,
karna sedari rahim dijejali segala kemuakkan.
lolongan teriakkan serupa adalah peringatan,
dari akal yang sehat dan menolak penindasan.
Sehitam langit di bawah massa aksi kamisan,
tak pernah pergi walau keresahan sudah naik pitam
biarkan terus mengorbit semangat bak bara ababil,
tak peduli waktu mungkin sampai terdengar suara isrofil.
Tanamkan kealpaan mereka diantara setiap perlakuan dengan dalih amnesia,
kabarkan setiap hentakan diatas aspal panas yang tercampur gas air mata.
pukul balik dengan rima yang bernyawa serupa senjata.
Angkara II
Muhammad Zaidan
Beragam metafora tak mampu melunakkan,
antara cinta dan kebencian.
Beberapa diantaranya lahir murni karna kemuakkan
atas beragam wacana diantara bias perubahan.
Sebarkan pesan atas goresan tinta sejarah,
yang berisikan amarah.
Pergi yang nyata
dan pulang yang luka.
Â
Berjanji pada ibu dan bapak pulang dengan tenang,
berjanji pada kawan tuk pulang dengan menang.
Telah hadir di atas aspal di bawah terik langit biru,
air mata yang haru dan sinyal pertanda aku akan segera berlalu.
Diantara kepulan dan pukulan,
ada puisi-puisiku yang menghidupi kehilangan.
Kelak diantara belantara nya rimba raya,
sedikitnya hadirkan apa yang tak pernah mampu aku wujudkan.
Tumbuhlah menjadi benih yang menolak layu,
mekarlah serupa pepohonan di tanah surga yang tak pernah kehabisan masa.
Angkara III
Muhammad Zaidan
Kami godam yang memberangus tanah lumpuh tak bertumpu,
lusinan janji dari cakap cepat lawak rima tak beraturan.
Membaca puisi wiji sebagai salah satu andil dari kemanusiaan,
kebenaran mungkin tak pernah dimenangkan;
tapi kebodohan masih saja selalu kau lumat dengan keriangan.
Kembung dari dasar lumbung yang tinggal sebatas mitos,
hening diatas cakrawala, berubah kelabu menjadi pemakaman yang panjang.
Sungai angkara yang dipenuhi belasungkawa,
bangga dan bahagia menjadi bangsa tersangka.
Rima abadi dalam sanubari jiwa,
selalu tertidur dalam naungan niscaya.
Tetaplah hidup arwah-arwah api bara,
menolak tunduk pada patuh memori tentara.
Abadilah wahai para abdi bumi,
yang kian hari kian tergerus masa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H