“Aku ingin lebih dekat denganmu, Guru!” remaja itu masih ngotot.
“Kau sudah dekat dengan Allah.
Tugasku selesai sudah. Dengar nak, aku pun, hingga saat ini masih ber-jihad untuk menjadi seorang Muslim. Aku pun masih menunggu fatwa-Nya apakah aku diterima sebagai Muslim atau tidak.”
Jihad, bagi Guruku, berarti Koshish dalam bahasa Urdu, To Strive, To Struggle, bukan To Fight, “Jihad berarti ‘Berupaya dengan Sungguh-Sungguh’. Jihad bukan berantam, bukan berkelahi,bukan mencaci-maki, apalagi membunuh.”
Ia menggunakan bahasa sederhana, bahasa populer, bahasa gaul untuk jaman itu….. maklum, umunya para murid adalah remaja, anak-anak muda….. dan, yang termuda, yang baru berusia 11-12 tahun.
“Tetapi, ada juga ayat yang mengatakan bahwa di yang diridhai Allah hanyalah Agama Islam.” Murid yang paling tua, berusia 30-an tahun, mengingatkan sang Guru akan satu ayat dari kita yang memang bunyinya kurang-lebih begitu.
Sang Guru tersenyum, “Bukan diridhai, tidak ada istilah ridha dalam ayat itu. Ridha itu bahasa Arab, dan Al-Qur’an dalam bahasa Arab. Jika memang Allah ingin menggunakan istilah ridha, Ia akan menggunakannya. Aku memaknai, memahami ayat itu seperti ini: Bagi Allah yang ada hanyalah Islam.”
Beliau tidak pernah meng-klaim sebagai penafsir Kitab Suci, “Siapakah kita ini hingga dapat menafsirkan Firman Allah? Kita hanya dapat memahami Firman-Nya sesuai dengan tingkar kesadaran kita masing-masing.
“Sebab itu,” ia pun selalu menasihati kita, “janganlah sekali-kali merasa sudah ‘khatam’, sudah selesai dengan kitab-sucimu. Kitab-kitab suci bukan untuk dibaca seperti buku-buku umum lainnya. Kita-kitab suci harus diulangi. Terus-menerus, sepanjang hidupmu….. karena, setiap kali kau membacanya, jika kesadaranmu telah meningkat, kau akan memperoleh makna baru.”
Sebab itu pula, beliau selalu menganjurkan kita untuk membaca kitab-suci, bahkan mengaji dalam bahasa Urdu, salah satu dari sekian banyak bahasa nasional India, “Karena, dengan cara itu kalian dapat lebih memahami arti kitab suci.”
Majelis-majelis ulama di India maupun Pakistan tidak mengharamkan pengajian dalam bahasa Urdu, bahakan bahasa daerah lainnya. Sehingga, seperti yang dikatakan oleh Guru, “Kalian tidak seperti burung beo, hanya menghafal saja!”
Wah, Guru, untung kau lahir di India.
Kalau lahir di Indonesia, barangkali sudah diperkarakan oleh mereka yang merasa lebih tahu dan memonopoli ajaran agama.