[caption caption="Ilustrasi : www.suarasurabaya.net"][/caption]
Dalam beberapa puluh tahun silam, kejahatan kelas atas dan bawah berkembang dengan pesat di Indonesia. Mulai dari perampokan, pembegalan, pemerkosaan, korupsi, suap, hingga pembunuhan. Pelakunya pun beragam usia, mulai dari abg-abg muda, hingga abg-abg tua.
Pelaku kejahatan pun tak luput dari sanksi atas pelanggaran hukum. Sanksi penjara berlaku bagi siapa saja yang melakukan kejahatan kelas atas maupun kelas bawah. Penegakkan hukum bagi kelas atas bisa dibilang masih tutup sebelah mata. Dalam artian masih belum sepenuhnya ditegakkan dengan baik dan sesuai dengan peraturan hukum di Indonesia. Dan bagi kelas bawah, penegakkan hukum dilakukan dengan sangat amat sesuai dengan peraturan hukum yang ada di Indonesia.
“Tajam ke bawah, tumpul ke atas”, mungkin akan selamanya menjadi suatu kalimat yang menggambarkan betapa mirisnya penegakkan hukum di Indonesia. Seperti beberapa saat lalu, Hakim Ketua Parlas Nababan menyatakan bahwa pelaku pembakaran hutan tidak bersalah. Padahal sudah jelas-jelas bahwa efek dari pembakaran hutan sangatlah terasa, seperti penyakit ISPA yang dapat menimbulkan kematian.
Sedangkan beberapa kali yang pernah terjadi, seorang tua yang mengambil suatu barang atau makanan atau apapun yang tak ada harganya tapi malah diproses hukum. Jelas hukum Indonesia telah buta.
Bagi kalangan bawah hukum tak hanya suatu aturan, akan tetapi juga merupakan suatu momok yang dapat menimbulkan ketakutan luar biasa. Kendati demikian, masih tetap banyak saja yang melakukan kejahatan. Tak ada bedanya dengan kejahatan kelas atas yang juga selalu berulang kali terjadi.
Akan tetapi ada perbedaan yang sangat menonjol antara penegakkan hukum kelas atas dan penegakkan hukum kelas bawah,
Sanksi atas pelanggaran hukum kelas bawah tidak tunggal, melainkan besifat ganda, dobel, bahkan tripel.
Selain mendapatkan sanksi hukum formal berupa penjara, pelaku kejahatan kalangan bawah juga akan mendapatkan sanksi hukum dari masyarakat sendiri, atau yang lebih dikenal dengan “main hakim sendiri”. Walaupun tak semua pelaku kejahatan kelas bawah mendapatkan sanksi, akan tetapi “main hakim sendiri” seolah-olah telah mem-budaya dalam masyarakat.
Main hakim sendiri adalah suatu istilah dari menegakkan hukum tanpa melalui aturan resmi yang telah mengikat. Main hakim sendiri merupakan ungkapan kejengkelan, gregetan masyarakat terhadap pelaku yang telah membuat keresahan dalam lingkungan masyarakat.
Seperti yang beberapa saat yang lalu baru terjadi di Thamrin Plaza Medan, dua rampok nyaris tewas diamuk warga karena terlibat kasus perampokan yang dialami oleh dua kakak-beradik. Pelaku perampokan menggunakan senjata tajam dalam melancarkan aksinya. Korban pun berteriak hingga mengundang perhatian warga. Sontak warga langsung mengepung dan menghakimi kedua pelaku hingga sekarat. Sumber
Lalu bermoralkah “main hakim sendiri“ ?
Jika kita akan melihat tentang jawaban dari pertanyaan bermoralkah “main hakim sendiri”, tentu saja akan banyak muncul dua jawaban antara “iya” dan “tidak”. Jawaban akan didapat tergantung darimana kita akan melihat dari berbagai sudut pandang, dari sudut pandang pelaku sendiri atau dari sudut pandang korban.
Jika kita melihat dari sudut pandang pelaku, jelas ini termasuk sebuah penganiayaan, walapun pelaku memang bersalah, tak seharusnya pelaku dihakimi massa. Sebab kan ada aturan hukum tersendiri yang mengatur sanksinya.
Sedangkan jika melihat sudut pandang korban, main hakim sendiri tak menjadi suatu masalah yang berarti. Wajar saja dilakukan, kan itu merupakan suatu resiko atas apa yang telah pelaku perbuat dan akibat dari menimbulkan keresahan dalam masyarakat.
Lantas haruskah “main hakim sendiri” dibasmi ?
Kembali lagi jawaban ini menimbulkan pro dan kontra. Tapi jika kita melihat kejahatan yang dilakukan oleh kalangan atas seperti korupsi, suap, dll apakah kita juga dapat melakukan main hakim sendiri ? tentu saja sulit dilakukan atau bahkan mustahil, beda hal jika harus menghakimi pelaku kejahatan kalangan bawah.
Padahal kejahatan kalangan atas dan bawah seperti korupsi dan mencuri sebenarnya memiliki suatu persamaan, yakni sama-sama mengambil sesuatu yang bukan haknya. Dan juga besarnya nilai mencuri biasanya atau bahkan memang lebih kecil ketimbang korupsi.
Tapi, korupsi juga tak selalu bernilai besar, terkadang juga ada korupsi yang nilainya tak terlalu besar bahkan kecil, hanya saja tak tampak secara langsung. Beda hal dengan mencuri, sekecil apapun dapat tampak secara langsung bahwa seseorang telah mencuri.
Jika main hakim sendiri berlaku bagi pelaku kejahatan kalangan bawah, seharusnya kalangan atas juga dapat dilakukan demikian biar adil. Atau kalau satu tidak, tidak semua.
Akan tetapi kembali lagi kepada keadaan, kejahatan kalangan bawah dapat langsung tampak dilihat, sedangkan pada kejahatan kalangan atas sulit untuk tampak dilihat.
Salam !
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H