Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tadi siang, Selasa, 22 Maret 2011 menggelar kasus PT Asian Agree dengan terdakwa Suwit Laut. Pada sidang kali ini, kuasa hukum menghadirkan saksi ahli yang meringankan terdakwa. Pendapat saksi ahli, Yahya Harahap, menurut saya patut dicermati. Pendapat yang saya maksud adalah pendapat yang dikutip oleh Tempointeraktif :
Kalau masih bisa diselesaikan pembayarannya, tidak perlu ditempuh jalur pidana untuk memeriksa dan mengadili, tetapi sepenuhnya menjadi kopetensi peradilan Tata Usaha Negara.
Kutipan yang senada dilakukan oleh Detiknews.com sebagai beriktu :
Kalau masih bisa diselesaikan pembayaran, tidak perlu pidana
Pada tataran filosofi pendapat tersebut memang benar. Kenapa harus diletakkan pada tataran filosofi? DJP sebenarnya bukan lembaga penegakkan hukum yang bertugas memasukkan wajib pajak ke penjara. DJP adalah administrator perpajakan. Tugas utama DJP mengumpulkan pajak yang harus dibayar oleh wajib pajak. Kinerja DJP juga diukur oleh penerimaan pajak.
Walaupun bertugas mengumpulkan pajak, tetapi DJP juga diberi kewenangan untuk menangani pidana pajak. Pasal pidana perpajakan diantaranya diatur di Pasal 39 ayat (1) UU KUP. Berikut kutipannya :
Setiap orang yang dengan sengaja:
- tidak mendaftarkan diri untuk diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak atau tidak melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
- menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak;
- tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan;
- menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap;
- menolak untuk dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29;
- memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar, atau tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya;
- tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan di Indonesia, tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lain;
- tidak menyimpan buku, catatan, atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau diselenggarakan secara program aplikasi on-line di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (11); atau
- tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut.
sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.
Ketentuan pidana diatas sangat umum. Setiap subjek pajak yang tidak melaporkan SPT bisa dipidana. Atau melaporkan SPT tetapi tidak benar bisa dipidana. Tidak ada batasan besaran kerugian pada pendapatan negara! Secara teori, kerugian negara satu rupiah pun bisa dipidana. Inilah salah satu alasan, kenapa judul tulisan ini "Semua bisa dipidana". Saya yakin pembaca masuk klausul diatas : tidak menyampaikan SPT atau menyampaikan SPT tapi isinya tidak benar.
Kenapa hanya segelintir orang yang diajukan ke pengadilan negeri? Kembali kepada tugas pokok bahwa DJP bertugas menghimpun penerimaan negara. Sehingga fungsi yang paling menonjol adalah menetapkan pajak terutang. Ini bukan jalur pidana tapi jalur administratif. Jalur administratif ini dimulai dengan pemeriksaan pajak dan surat ketetapan pajak. Jika wajib pajak tidak setuju dengan ketetapan pajak, maka wajib pajak boleh mengajukan proses keberatan. Tahapan ini menurut aturan sekarang masih di DJP. Proses keberatan akan mengeluarkan Surat Keputusan Keberatan. Jika wajib pajak masih belum puas atas SK Keberatan, maka wajib pajak mengajukan banding ke pengadilan pajak.
Jalur administratif selalu berujung pada "jumlah pajak terutang". Tidak ada sanksi pidana! Tetapi jika melihat pasal pidana di UU KUP, maka seharusnya surat ketetapan pajak kurang bayar (SKPKB) yang dikeluarkan oleh DJP mencerminkan "SPT tidak benar". Sebenarnya bukan hanya SKPKB, apapun bentuk surat ketetapan pajak (baik nihil maupun masih lebih bayar) jika hasil pemeriksaan pajak masih ada koreksi dari pemeriksa pajak, maka DJP sudah melakukan koreksi atas ketidakbenaran SPT wajib pajak.
Fungsi jalur pidana sebenarnya dalam rangka penerimaan. Karena itu dibuka pintu Pasal 8 (3) dan Pasal 13A UU KUP. DJP seharusnya memberikan kesempatan bagi wajib pajak untuk melakukan pembetulan SPT berdasarkan Pasal 8 ayat (3) UU KUP disertai pelunasan pajak terutang dan sanksi 150%. Sedangkan Pasal 13A UU KUP adalah sanksi "pidana yang diadministratifkan" karena wajib pajak baru pertama kali melakukan tindak pidana pajak. Dua pintu ini dalam tahap sebelum penyidikan.
Jika wajib pajak melewatkan dua pasal tersebut, maka pada tahap penyidikan wajib pajak masih bisa menghentikan proses penyidikan dengan membayar pajak terutang disertai pembayaran sanksi 4 kali pajak terutang sesuai Pasal 44B UU KUP.
(1)
Untuk kepentingan penerimaan negara, atas permintaan Menteri Keuangan, Jaksa Agung dapat menghentikan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan paling lama dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal surat permintaan.
(2)
Penghentian penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dilakukan setelah Wajib Pajak melunasi utang pajak yang tidak atau kurang dibayar atau yang tidak seharusnya dikembalikan dan ditambah dengan sanksi administrasi berupa denda sebesar 4 (empat) kali jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar, atau yang tidak seharusnya dikembalikan.
Lagi-lagi "demi kepentingan penerimaan negara". Ini ciri khas penghentian penyidikan yang hanya dimiliki oleh DJP. Proses penyidikan lain, seperti penyidikan di Polri, tidak ada aturan bahwa proses penyidikan dapat dihentikan jika tersangka membayar sejumlah uang! Tetapi karena DJP tugas utamanya mengumpulkan penerimaan negara melalui pajak, maka walaupun sudah dalam proses penyidikan tetapi wajib pajak mau membayar pajak terutang disertai sanksi kenaikan 4 kali, maka proses penyidikan pun dihentikan.
Pertanyaan penting adalah kapan jalur administratif dan kapan jalur pidana?
Praktek sampai saat ini, jalur pidana digunakan karena kebijakan. Tidak ada benang merah antara jalur administrasi dan jalur pidana. Seharusnya ada jalur merah sehingga setiap wajib pajak dapat menghindari pidana kecuali wajib pajak nekat. Sanksi pidana harus mencerminkan "kebandelan" wajib pajak!
Mungkin para pembuat UU di DPR dapat mencari solusi bagaimana jalur merah dimaksud. Saya sendiri berpendapat bahwa sanksi pidana di Pasal 38 dan 39 UU KUP harus dirubah. Jangan dibuat kabur, dan terlalu umum. Tindakan yang menurut saya patut dipidana adalah wajib pajak yang :
[a.] menyembunyikan pembukuan/catatan yang diminta padahal ada.
[b.] tidak menyelenggarakan pembukuan/catatan sehingga pajak terutang tidak dapat dihitung.
[c.] tidak bersedia diperiksa.
[d.] SKPKB diatas Rp.100 milyar
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H