Mohon tunggu...
Rade Eva Febrina Panjaitan
Rade Eva Febrina Panjaitan Mohon Tunggu... wiraswasta -

Penyuka jalan-jalan yang berusaha lebih sering menulis demi mengapresiasi hidup.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Anak Lelakiku

29 Juni 2013   16:40 Diperbarui: 24 Juni 2015   11:14 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Asti hanya bisa mengangkat bahu dan kedua tangannya sambil pergi menghampiri temanku yang lain. Sayup-sayup kudengar dia menanyakan hal yang sama. Aku bisa menangkap aura antusiasme dari sekumpulan gadis muda yang menginginkan calon suami yang sempurna, walau tentunya tidak sesempurna kriteria yang kuajukan. Seiman, pasti kriteria yang pertama. Aku dan teman-temanku walau bukan orang suci, selalu menganggap iman adalah hal yang terpenting dalam mencari pasangan. Kami tidak ingin meributkan hal-hal prinsipil dengan pasangan kami nantinya.Kriteria selanjutnya, rata-rata baik dan pintar.

“Yah… STD (standar)-lah,” kataku pelan menanggapi celoteh mereka.

Aku selalu membawa sketsa wajah Kevin kecilku. Bahkan sebelum "bertemu" dengannya, aku sudah jatuh cinta padanya. Ide memiliki-anak-tanpa-suami membuatku berpikir bahwa seorang suami tidak menjadi hal penting lagi saat ini. Maka, kriteria setinggi langit adalah caraku menyatakan bahwa aku memang tidak berminat memikirkan hal itu.

Memang hampir tidak ada yang mustahil di bumi ini, tapi seorang suami yang seiman, ganteng, tinggi, kaya, pintar, setia, dan nggak banyak bacot, plus mobil Jaguar? Come on… You must be kidding. Kecuali kita adalah seorang super model dengan badan almost perfect dan wajah sensual, prinsip "gantungkanlah cita-citamu setinggi langit" sepertinya tidak pantas diterapkan dalam memilih pasangan hidup. Prinsip yang lebih tepat adalah, "terima mereka apa adanya".

Jadi, aku memilih untuk tidak mengambil pusing dan lebih fokus pada bayanganku tentang anak idaman. Aku sudah bertekad bahwa Kevin kecilku itu tidak akan masuk sekolah dengan kurikulum konvensional. Aku bahkan berpikir akan mengambil kursus atau kalau perlu sekolah lagi, untuk menjadi seorang guru yang dapat mengajari anakku di rumah (homeschooling). Itu loh seperti yang dilakukan oleh artis-artis luar negeri yang terlalu sibuk untuk pergi ke sekolah biasa sehingga orang tuanya memilih untuk mencari semacam guru privat. “Wellwell… sungguh jauh ke depan,” kataku pelan menanggapi ide-ide ajaibku itu.

Aku memang berpikir bahwa pernikahan bukan suatu keharusan lagi bagi seorang wanita dewasa. Walaupun aku memang baru beranjak dewasa, tapi sekelilingku sudah mulai berbicara ke arah sana. Apalagi terkadang aku berpikir, memangnya ada suatu hal yang tidak bisa aku lakukan sendiri? Semua pekerjaan rumah yang standar, aku bisa kerjakan. Mencari uang? Saat ini aku sudah bekerja dan aku tidak terlalu ambisius untuk menempati kondominium satu saat nanti. Let it flow, yang penting aku masih bisa makan. Butuh teman? Aku tinggal menghubungi salah satu atau beberapa orang dari mereka, mengajaknya pergi dan hanging out di sebuah kafe atau langsung datang ke rumahnya untuk chit-chat ngalor-ngidul. Terus apa dong pentingnya pernikahan?

Terus terang, beberapa pernikahan yang ada di sekitarku tidak menawarkan "a happily ever after life". Pernikahan tersebut justru memuat pertengkaran dan beragam usaha saling menyakiti akibat kesulitan memadukan dua karakter berbeda dan bahkan perpisahan. Kalau hanya untuk saling menyakiti, mengapa dua orang harus menikah? Tidakkah mereka tahu bahwa pernikahan adalah komitmen seumur hidup yang kelanggengannya memang harus dihadapi dengan cara apapun, bahkan dengan cara berkompromi dengan ke-ego-an diri. Lagipula, bukankah semua itu hanya akan menorehkan luka bagi orang-orang di sekitar mereka? Misalnya, bagi keluarga dari masing-masing pihak atau bahkan bagi anak-anak mereka.

Komitmen seumur hidup memang masih merupakan momok’bagiku. Sedikit tidak masuk akal saja untuk memikirkan bahwa aku harus setia pada satu orang saja selama seumur hidup. Bagaimana kalau tiba-tiba aku bertemu orang lain yang jauh lebih menyenangkan, lebih pengertian, lebih segala-galanya, sedangkan aku terlalu sibuk memperhatikan dua anakku yang sedang nakal-nakalnya dan anak lelaki terkecilku alias suamiku?

Well, mungkin analogi yang berlebihan. Tapi itulah yang ada dalam pikiranku. Kemudian, pikiran itupun berkolaborasi dengan ide memiliki anak tanpa menikah. Jadilah gagasan mengadopsi seorang-Kevin-yang-hanya-milikku-sendiri terdengar sempurna. Kita lihat saja... ;)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun