Mohon tunggu...
Ade Asep Syarifuddin
Ade Asep Syarifuddin Mohon Tunggu... Jurnalis - Search Excellent of Life

Saya seorang jurnalist di Pekalongan. Website saya www.radarpekalongan.co.id Semoga bermanfaat.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Perjalanan Panjang Menjadi Seorang Penulis dan Jurnalis

21 Maret 2022   10:44 Diperbarui: 21 Maret 2022   10:54 810
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

KETIKA saya SMA, ada dua figur yang saya kagumi. Bukan figur orang atau tokoh tertentu tapi tokoh yang memainkan peran tertentu. Pertama, saya kagum kepada sosok yang tampil di podium untuk berbicara. 

Saat itu saya belum bisa menilai apa yang menjadi bahan materi si pembicara tersebut. Saya hanya menilai sosok itu adalah sang pemberani dan pintar. Berani karena sangat jarang orang yang mau tampil bicara di depan publik. Pintar karena bisa menyampaikan gagasan kepada orang banyak.

Sosok kedua yang saya kagumi adalah orang yang menulis artikel di koran. Menulis beberapa kolom membutuhkan bahan untuk ditulis. Penulis pasti pembaca yang rajin, penulis pasti melalui proses trial and error. Tapi penulis adalah orang yang berani memulai dan juga berani mengakhiri. 

Berani mencoretkan kata pertama dan berani meluangkan waktu sampai coretan kata terakhir. Banyak cerita orang yang memulai menulis tapi frustrasi ketika memulai kalimat pertama. 

Ide macet takut salah, ujung-ujungnya tidak melanjutkan proses kreatif tersebut. Kalau mengambil analogi pertandingan, orang model tersebut menyerah sebelum bertanding.

Sewaktu saya kuliah di sebuah perguruan tinggi di Cirebon minat menulis saya diakomodir oleh sebuah lembaga yang menyediakan pelatihan diklat jurnalistik. 

Sebenarnya saya hanya ingin belajar menulis, bukan untuk menjadi wartawan. Tapi saat itu saya tidak terlalu mempermasalahkan apakah akan menjadi wartawan atau menjadi penulis. 

Proses belajar dimulai, saya banyak bersentuhan dengan wartawan, kantor redaksi, surat kabar dan bergaul dengan penulis-penulis lain. Di awal-awal bertemu dengan para penulis senior, saya hanya menjadi pendengar yang baik dan banyak menyerap ilmu dari mereka.

Mulailah proses membuat artikel. Dengan menggunakan mesin ketik merk 'Brother', lembar demi lembar ide saya tuangkan ke atas kertas HVS ukuran A4. Tujuan tulisan tersebut adalah dimuat di surat kabar. 

Tulisan pertama masih belum dimuat, tulisan kedua juga belum dimuat sampai tulisan ketiga masih belum bisa muat juga. Sampai tulisan keempat baru bisa dimuat di halaman dalam surat kabar lokal di Cirebon tersebut. Wow... surprise banget. 

Senang.... senang  karena perjuangan selama ini untuk menuangkan gagasan dan ide yang diketik huruf per huruf, kata per kata, kalimat per kalimat, diapresiasi di sebuah media yang dibaca oleh banyak orang.

Setelah satu kali dimuat, saya semakin semangat untuk membuat artikel baru terus menerus. Saya tidak peduli akan ditayangkan atau tidak, tapi proses tersebut saya jalani sebagai sebuah hoby dan kesenangan. 

Ada rasa bahagia setelah selesai menuangkan satu tulisan. Bahagia yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Kalau mengambil analogi, persis seperti kebahagiaan yang dirasakan setelah seseorang selesai perjalanan tamasya. Apakah ini yang dinamakan kebahagiaan intelektual? 

Entahlah, tapi coba saja kalau tidak percaya, ketika Anda mempunyai masalah kemudian dituliskan dan berusaha untuk mencari solusi, setelah selesai menulis ada rasa bahagia yang tak terhingga. Mungkin ini yang dinamakan "Writing for Therapy'. Saya akan menjelaskannya di lain waktu.

Pertanyaan lain yang sering muncul adalah, apa sih niat saya dari hati yang terdalam ketika menekuni dunia menulis? Ini yang sangat menantang. Saat itu saya berniat dengan menjadi penulis, semoga tulisan saya bisa dibaca banyak orang. Harapannya orang bisa memiliki sudut pandang yang berubah ke arah yang lebih baik. 

Saya ingin tulisan-tulisan saya menginspirasi banyak orang. Ini artinya, saya berniat untuk berbagi dan memberi manfaat kepada orang lain. Bukankah sebaik-baik manusia adalah yang dapat memberi manfaat kepada orang lain. 

Apakah cara memberi manfaatnya secara langsung dengan memberi materi yang diperlukan oleh orang tersebut, memberi ide, gagasan, solusi, atau memberi manfaat secara tertulis yang bisa dibaca kapan pun dan oleh siapapun.

Wahyu pertama Nabi Muhammad adalah Al Quran surat Al Alaq ayat 1-5. Ayat pertama berbunyi "Iqro" artinya "Bacalah..." Penulis sebelum menulis harus iqro (membaca) terlebih dahulu. 

Bagaimana jadinya kalau ada penulis yang tidak pernah membaca atau berhenti membaca Tentu tulisannya miskin informasi baru, kering dan membosankan. Ide yang keluar hanya dari itu ke itu saja, tidak ada gagasan baru yang muncul.

Rata-rata penulis adalah pembaca buku yang rajin, tekun dan jumlah buku yang dimilikinya lebih banyak dari orang kebanyakan. Bagaimana bisa berbagi kalau di dalam pikirannya tidak ada gagasan? Apa yang akan dibagikan. Inilah tantangan penulis, tidak boleh berhenti belajar. Harus belajar sepanjang hayat.

Saya mulai menulis secara serius pada semester ke-3 perkuliahan. Sebelum lulus perkuliahan saya sudah ditawari magang menjadi reporter atau wartawan di lapangan. 

Tugas menjadi reporter sudah jelas sangat berbeda dengan penulis. Penulis itu cukup membaca buku, membaca koran, mengikuti berita teraktual, menganalisis kejadian kemudian membuat solusi. Semua itu bisa diselesaikan di belakang meja sambil duduk ditemani mesin ketik. 

Sementara menjadi reporter harus turun ke lapangan, memahami peristiwa yang sedang terjadi, melakukan proses wawancara dengan beberapa nara sumber sampai lengkap, baru kemudian ditulis. Menulisnya pun dengan gaya menulis berita, bukan dengan gaya menulis artikel. Saya tidak bisa menambah atau mengurangi hasil wawancara.

Lebih enak menjadi penulis atau menjadi wartawan? Sering muncul pertanyaan tersebut dari beberapa orang kawan. Menjadi penulis lebih merdeka, mau menulis apa saja boleh. Sementara menjadi wartawan sudah ditentukan desk mana dengan tema tertentu yang harus dijadikan bahan berita. 

Menjadi penulis secara intelektual terus terasah karena harus terus mengikuti perkembangan dan membaca buku. Kualitas buku dengan kualitas nara sumber secara intelektual itu dua hal yang berbeda. Menjadi penulis dituntut objektif secara logika dan tata cara berpikir. 

Sementara berita yang ditulis, sesuai dengan kata-kata nara sumber. Tapi memang kalau menjadi wartawan masih tetap bisa menulis artikel walaupun dengan porsi yang terbatas. Sementara seorang penulis tidak bisa menulis berita.

Terlepas dari enak yang mana, saya bisa belajar hal baru, menulis dengan gaya jurnalistik yang saya tekuni sepanjang karier jurnalisme saya. Tapi saya tetap mengasah kemampuan menulis saya dalam berbagai genre tulisan, kecuali tulisan fiksi. 

Saya bukan tidak bisa menulis fiksi, tapi saya mengambil porsi sebagai penulis berita dan non fiksi. Ini persoalan selera, ada yang puas mengemukakan fakta dan opini, ada juga yang memiliki kepuasan untuk menuangkan imajinasinya.

Apakah tulisan non fiksi selalu serius dan mengernyitkan dahi? Tidak juga, ada genre tulisan non fiksi dengan gaya tutur yang mudah difahami oleh banyak kalangan. Tulisan non fiksi seperti penelitian ilmiah yang terbit di jurnal-jurnal itu khusus untuk para akademisi, dosen, ilmuwan. 

Bahasanya baku dan sangat-sangat serius. Bahkan ada genre jurnalisme sastrawi yang memiliki gaya tulisan berita persis seperti cerita-cerita novel tapi benar-benar terjadi. Enak dibaca dan tidak membosankan. Ternyata gaya menulis itu bermacam-macam. Mari kita selami satu per satu. (*)

*) Penulis adalah Direktur Harian Radar Pekalongan, 25 Tahun Menjadi Wartawan.

Binagriya Raya, 21/03/2022.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun