Setelah satu kali dimuat, saya semakin semangat untuk membuat artikel baru terus menerus. Saya tidak peduli akan ditayangkan atau tidak, tapi proses tersebut saya jalani sebagai sebuah hoby dan kesenangan.Â
Ada rasa bahagia setelah selesai menuangkan satu tulisan. Bahagia yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Kalau mengambil analogi, persis seperti kebahagiaan yang dirasakan setelah seseorang selesai perjalanan tamasya. Apakah ini yang dinamakan kebahagiaan intelektual?Â
Entahlah, tapi coba saja kalau tidak percaya, ketika Anda mempunyai masalah kemudian dituliskan dan berusaha untuk mencari solusi, setelah selesai menulis ada rasa bahagia yang tak terhingga. Mungkin ini yang dinamakan "Writing for Therapy'. Saya akan menjelaskannya di lain waktu.
Pertanyaan lain yang sering muncul adalah, apa sih niat saya dari hati yang terdalam ketika menekuni dunia menulis? Ini yang sangat menantang. Saat itu saya berniat dengan menjadi penulis, semoga tulisan saya bisa dibaca banyak orang. Harapannya orang bisa memiliki sudut pandang yang berubah ke arah yang lebih baik.Â
Saya ingin tulisan-tulisan saya menginspirasi banyak orang. Ini artinya, saya berniat untuk berbagi dan memberi manfaat kepada orang lain. Bukankah sebaik-baik manusia adalah yang dapat memberi manfaat kepada orang lain.Â
Apakah cara memberi manfaatnya secara langsung dengan memberi materi yang diperlukan oleh orang tersebut, memberi ide, gagasan, solusi, atau memberi manfaat secara tertulis yang bisa dibaca kapan pun dan oleh siapapun.
Wahyu pertama Nabi Muhammad adalah Al Quran surat Al Alaq ayat 1-5. Ayat pertama berbunyi "Iqro" artinya "Bacalah..." Penulis sebelum menulis harus iqro (membaca) terlebih dahulu.Â
Bagaimana jadinya kalau ada penulis yang tidak pernah membaca atau berhenti membaca Tentu tulisannya miskin informasi baru, kering dan membosankan. Ide yang keluar hanya dari itu ke itu saja, tidak ada gagasan baru yang muncul.
Rata-rata penulis adalah pembaca buku yang rajin, tekun dan jumlah buku yang dimilikinya lebih banyak dari orang kebanyakan. Bagaimana bisa berbagi kalau di dalam pikirannya tidak ada gagasan? Apa yang akan dibagikan. Inilah tantangan penulis, tidak boleh berhenti belajar. Harus belajar sepanjang hayat.
Saya mulai menulis secara serius pada semester ke-3 perkuliahan. Sebelum lulus perkuliahan saya sudah ditawari magang menjadi reporter atau wartawan di lapangan.Â
Tugas menjadi reporter sudah jelas sangat berbeda dengan penulis. Penulis itu cukup membaca buku, membaca koran, mengikuti berita teraktual, menganalisis kejadian kemudian membuat solusi. Semua itu bisa diselesaikan di belakang meja sambil duduk ditemani mesin ketik.Â