Pemerintah Indonesia berencana menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% sebagai bagian dari upaya memperkuat pendapatan negara. Kebijakan ini diproyeksikan meningkatkan penerimaan pajak yang dapat digunakan untuk pembiayaan pembangunan, seperti infrastruktur dan program kesejahteraan sosial. Namun, kenaikan PPN juga menimbulkan kekhawatiran terhadap daya beli masyarakat, terutama kelompok berpenghasilan menengah ke bawah, yang akan menghadapi peningkatan harga barang dan jasa.
Kenaikan tarif PPN berpotensi memberikan tekanan inflasi, terutama pada barang kebutuhan pokok yang tidak dikecualikan dari pajak. Dengan meningkatnya harga, daya beli masyarakat dapat menurun, sehingga konsumsi rumah tangga sebagai pilar utama pertumbuhan ekonomi berisiko terkontraksi. Dalam konteks ini, kelompok rentan, seperti pekerja informal dan pelaku usaha kecil, akan mengalami dampak yang lebih signifikan karena keterbatasan pendapatan mereka dalam menghadapi kenaikan biaya hidup.
Bagi dunia usaha, terutama sektor UMKM, kenaikan PPN dapat menjadi tantangan tersendiri. Biaya produksi yang meningkat akibat kenaikan tarif pajak berpotensi memengaruhi harga jual barang dan jasa. Hal ini dapat mengurangi daya saing mereka, terutama di pasar domestik. Di sisi lain, pelaku usaha yang berorientasi ekspor mungkin akan menghadapi pengurangan margin keuntungan karena harus menyesuaikan harga untuk tetap kompetitif di pasar global.
Meski demikian, kebijakan kenaikan PPN dapat memberikan dampak positif dalam jangka panjang apabila penerimaan tambahan dialokasikan secara efektif. Misalnya, investasi dalam sektor pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat serta produktivitas ekonomi. Namun, efektivitas kebijakan ini bergantung pada sejauh mana pemerintah mampu memberikan kompensasi kepada kelompok rentan, seperti melalui subsidi langsung atau pengurangan pajak lainnya.
Alternatif Kebijakan untuk Meningkatkan Pendapatan Negara
Selain menaikkan PPN, terdapat sejumlah alternatif kebijakan yang dapat dipertimbangkan untuk meningkatkan pendapatan negara tanpa memberikan beban tambahan yang signifikan kepada masyarakat luas. Salah satunya adalah memperluas basis pajak dengan mengintegrasikan sektor informal ke dalam sistem perpajakan. Pendekatan ini memerlukan insentif yang menarik bagi pelaku usaha informal untuk berpartisipasi, seperti penyederhanaan prosedur administrasi pajak dan pengurangan tarif pajak bagi usaha kecil.
Optimalisasi pajak dari sektor digital juga menjadi langkah strategis, mengingat pesatnya perkembangan ekonomi digital di Indonesia. Dengan memperbaiki regulasi dan pengawasan terhadap pajak e-commerce, pemerintah dapat memperoleh penerimaan tambahan dari transaksi digital yang selama ini belum sepenuhnya tercatat.
Selain itu, pemerintah dapat memperkuat pengelolaan aset negara melalui mekanisme seperti optimalisasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan pengelolaan lahan yang lebih efisien. Peningkatan dividen dari BUMN dan pengelolaan aset strategis lainnya dapat menjadi sumber pendapatan signifikan bagi negara.
Di sisi lain, reformasi perpajakan, seperti penerapan pajak karbon, juga berpotensi memberikan penerimaan tambahan sambil mendorong transisi ke ekonomi yang lebih ramah lingkungan. Kebijakan ini tidak hanya memberikan manfaat fiskal, tetapi juga mendukung keberlanjutan lingkungan dalam jangka panjang.
Melalui kombinasi kebijakan yang lebih komprehensif, pemerintah dapat meningkatkan pendapatan negara secara berkelanjutan tanpa menimbulkan tekanan berlebihan pada daya beli masyarakat atau pelaku usaha. Langkah ini juga akan membantu menciptakan ekosistem ekonomi yang lebih inklusif dan berdaya saing global
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H