Ruang redaksi terasa panas siang ini, meskipun AC sudah dinyalakan diangka enam belas derajat celcius. Rosalin memutuskan membawa laptopnya keluar untuk mengedit karya teman-temannya sebelum dimuat di majalah sekolah. Rosalin melewati perpustakaan, beberapa anak-anak komunitas baca masih stay disana, tampak serius mengerjakan persiapan bulan depan. Mendekati studio musik Rosalin mempercepat langkahnya, dia tak ingin berpapasan dengan cowok-cowok yang tiba-tiba keluar dari ruang musik.
Taman belakang sekolah, di sinilah tempat paling disukai oleh Rosalin. Dia merasa nyaman, pohon-pohon Akasia, Trembesi dan Mahoni seperti teman baginya. Kicau burung koleksi anak-anak IPA seolah bernyanyi untuknya. Angin yang semilir selalu menyapanya bersama beraneka ragam bunga yang sengaja di datangkan dari berbagai daerah sebagai sumber belajar biologi Bu Diah.
Sebuah kursi besi berbentuk bunga matahari seperti telah menjadi milik pribadinya kini. Tempat ini menjadi tempat favoritnya selama ini. Dari tempat ini Rosalin mengerjakan tugasnya dengan tenang dan dapat melihat anak-anak basket berlatih setiap rabu dan sabtu sore.
Entah, Rosalin senang melihat anak-anak itu berlatih basket. Matanya berbinar-binar saat menatap cowok tinggi di lapangan itu, Daniel Zenit, rambutnya yang lurus hampir sebahu diikat kecil di belakang. Matanya yang sipit terlihat fokus menggiring bola yang memantul di lantai lapangan. Rosalin tidak dapat menahan diri untuk berteriak saat melihat Daniel melakukan Slumdunk.
Rosalin berjalan melewati ruang ganti anak-anak basket, langkahnya kecil dan hati-hati  karena membawa laptop dan beberapa buku di tangannya. Pintu kaca buram terbuka, Daniel yang berkulit putih keluar dari sana. Rosalin sedikit terkejut, senyumnya terkembang saat berpapasan dengan Daniel, namun cowok ini tidak membalas senyumnya.
Karangan bunga, photoboots dan perlengkapan jurnalis serta majalah sekolah sudah selesai dipersiapkan. Tiba-tiba Mitha menanyakan catatan milik Rosalin, karena akan mengecek kembali apa saja yang kurang. Rosalin menggigit bibir, jangan sampai temannya tahu kalau catatannya masih dipinjam Daniel dan belum dikembalikannya.
"Oca, maaf, aku baru ingat buku catatanmu, ini aku kembalikan, terima kasih." Sinar matahari pagi membentuk siluet tubuh jangkung Daniel. Berdiri diantara daun pintu kelas sebelas bahasa. Rosalin mengusap-usap matanya berusaha menangkap wajah Daniel yang terpapar sinar oren matahari pagi. Semua mata gadis di kelasnya menatap ke arah Daniel sambil melongo tidak peraya kedatangannya, berganti menatap heran kepada Rosalin. Daniel mengulurkan buku kepada Rosalin, untuk pertamakalinya. Daniel mengembangkan senyum kepada gadis mungil itu.
*
Pesta Disnatalies sekolah dilaksanakan selama dua hari dua malam. Pagi untuk pentas seni dan malamnya untuk pagelaran musik akustik. Bazar beberapa makanan dan minuman memenuhi halaman sekolah tinggalan Belanda ratusan tahun itu. Rosalin melihat Daniel dikerumuni gadis-gadis yang ingin berfoto dengannya. Rosalin merasa cemburu, hatinya sakit dan tidak terima melihat banyak gadis sedekat itu dengan Daniel.
*
Rabu dan Sabtu sore menjadi waktu sakral bagi Rosalin. Dia akan mencari posisi ternyaman untuk menulis dan mencuri pandang pada cowok bernomor punggung tujuh itu. Dari taman belakang sekolah Rosalin dapat dengan leluasa melihat Daniel berlatih basket.Â