Mohon tunggu...
Rachmawati Ash
Rachmawati Ash Mohon Tunggu... Guru - Guru, Penulis, dan pegiat literasi

Hobi menulis, membaca dan menonton film romance. Kegiatan mengajar di SMA, menulis novel, cerpen, artikel dan bahan ajar. Mengisi materi literasi ke sekolah-sekolah di Jawa Tengah.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Burung-burung yang Terbang di Langit

16 Januari 2024   19:28 Diperbarui: 16 Januari 2024   19:53 244
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pinterest/google.pt

Sore itu, aku pulang dengan pertanyaan-pertanyaan di kepala yang tak bisa kujawab. Sebelumnya, aku mendatangi rumah Sinta yang juga ramai dikunjungi orang-orang kampung. Ayahku bersikeras mengajakku pulang dan alasannya sungguh tak masuk akal, aku membuat rusuh di sana.

Kenyataannya saat itu aku hanya berusaha membangunkan kekasihku yang tertidur lelap. Aku ingin mengajaknya pergi mengambil cincin pernikahan kami, namun orang-orang mendadak aneh, beramai-ramai memegang tanganku, menarik tubuhku menjauh dari tubuh Sinta yang sedang tertidur di lantai beralaskan tikar pandan.

Sejak kejadian itu Ayah berpesan kepada ibuku, supaya selalu mengunci pintu rumah. Jelas saja hal ini membuatku berontak, aku ingin mendatangi rumah Sinta dan membangunkannya untuk pergi bersamaku.

Ibu dan kakakku juga ikut-ikutan mengawasi gerak-gerikku. Tidak memberi sedikit celah untukku pergi meninggalkan rumah dan menemui Sinta. Aku mengatur siasat, pura-pura duduk manis di ruang tengah dan menunggu ibu dan kakakku lengah. Kemudian aku menunggu waktu yang tepat untuk melarikan diri. Aku tidak ingin membuat rusuh di rumah, sebab aku sangat menyayangi ibu dan kakak perempuanku, jadi aku tak ingin berdebat dengan mereka.

Ibu sedang sibuk di belakang, sedangkan Kakak kelelahan menjagaku agar tak keluar rumah. Kesempatan yang kutunggu pun datang, aku mengambil kunci di laci nakas kakakku. Kuputar anak kunci pelan-pelan, tanpa menimbulkan suara yang bisa mengundang kedatangan ibu dan kakakku.

Dalam setengah perjalan ke rumah kekasihku, aku melihat gadis yang mirip dengan Sinta. Gadis itu mengenakan kemeja merah bunga-bunga. Aku tersenyum-senyum kepada gadis itu, dia membalas senyumku dan melambaikan kedua tangannya memanggilku. Tetapi, cara memanggilnya aneh, seperti orang menghardik. Tanpa pikir panjang, cepat-cepat aku menghampirinya, gadis itu berlari, sepertinya dia ingin bermain-main denganku. Aku mengejarnya. Gadis itu menjerit saking senangnya bermain lari-larian denganku. Dia terus berlari dan aku terus mengejarnya. Gadis mirip Sinta itu sembunyi, aku mencarinya.

Belum sempat aku menemukan gadis itu dari persembunyiannya, orang-orang kampung berdatangan, mereka menyuruhku pulang, berseru-seru memanggil nama ibuku dan juga nama kakakku. Dalam waktu secepat kilat Ibu dan Kakak sudah berada di belakangku, menarik tubuhku yang lebih besar dengan susah payah.

Dengan kekecewaan aku ikut berjalan pulang, kulihat orang-orang menghibur gadis yang mirip Sinta. Gadis itu menangis, meringkuk di bawah pohon kelapa. Aku sedih melihatnya menangis. Dia pasti masih ingin bermain denganku. Tapi orang-orang kampung mengganggu kami. Mereka tidak senang melihat kami bermain kejar-kejaran di jalan. Orang kampung memang aneh.

**

Ayahku kembali murka, memarahi ibu dan kakakku yang lalai dalam menjagaku. Aku semakin sedih, orang-orang menjadi aneh. Bahkan, keluargaku sendiri menjadi was-was. Padahal aku tidak merugikan siapa pun, tidak melukai dan mengganggu orang di luar rumah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun