"Wulandari Nak Agus hari ini datang kemari memintamu untuk menjadi istrinya. Apakah kamu bersedia". Tak siap dengan pertanyaan tersebut aku hanya bias terdiam dengan segudang bahagia dan haru. Doa yang aku panjatkan untuk dipertemukan dengan orang shaleh seperti dia jadi kenyataan. "Wulandari apakah kamu bersedia nak". "Apapun putusan ayah dan ibu jika direstui Wulandari siap ayah." Ibu yang duduk dihadapanku kemudian meneteskan air mata. Mungkin karena bahagia dan haru.
 "Alhamdulillah, sekarang saatnya ayah dan ibu jujur pada kalian berdua. Agar dosa ayah dan ibu tidak bertambah berat. Apapun keputusan nak Agus nantinya bapak siap menerima, demikian juga Wulandari apapun yang kamu dengar dari ayah dan ibu, meski harus membenci ayah dan ibu terima". Aku dan mas Agus bingung. Kejujuran apa gerangan yang akan ayah dan ibu sampaikan pada kami.
      Ayah menarik nafas yang dalam dan mulai bercerita. "Dulu semasa remaja kami berdua adalah korban broken home, dan saat bertemu  kami merasa cocok satu sama lain  karena  memiliki nasib yang sama, akhirnya kami saling mengisi,  karena sama-sama kurang mendapatkan perhatian dan kasih sayang orang tua pada akhirnya pergaulan kami semakin bebas hingga terjadilah hal yang tak diinginkan. Ibu kemudian hamil diluar nikah. Dan dipaksa oleh orang tua dan keluarganya untuk digugurkan. Karena kami tak mau menumpuk doa yang lebih banyak, janin kecil tak berdosa itu tetap kami pertahankan, setelah Wulandari lahir, kami menikah kembali secara agama dan membesarkan Wulandari dengan penuh kasih sayang. Hingga disusul dua kelahiran adik-adiknya. Kami tak ingin kesalahan yang sama terulang kepada anak-anak kelak. Melihat Wulandari terjun sebagai aktivis dan relawan pencegah pergaulan bebas, ayah dan ibu merasa bahagia, semoga hal baik yang Wulandari tebar dapat menggugurkan dosa-dosa masa lampau ayah dan ibu." Ayah kemudian diam sejenak dan meneguk teh hangat di depannya. Ibu tak henti menangis. Terlihat penyesalan mendalam pada raut wajahnya.
     "Mengapa ayah merasa perlu jujur pada kalian berdua, utamanya nak Agus, karena saat menikah nanti secara syariat agama Wulandari hanya bisa memakai Binti Ibunya. Setelah mendengar penjelasan ayah dan Ibu ini apapun keputusan Nak Agus terhadap Wulandari ayah dan ibu terima. Untuk Wulandari apapun keputusan nak Agus nanti harus diterima dengan lapang dada. Berat untuk jujur pada kalian berdua. Tapi hal ini harus kami sampaikan agar dalam hidup kita tidak berat ditimbangan dosanya, memang terkadang kejujuran itu sangat menyakitkan tapi kami tak mau membawanya hingga mati. Wulandari boleh membenci kami ayah dan ibu meminta maaf padamu nak." Ayah kemudian memelukku erat dan meneteskan air mata. Ku peluk erat dirinya dan aku tetap menerima kesalahan masa lampau orang tuaku.
      "Ayah, Aku bangga sudah lahir dan dibesarkan oleh kalian berdua. Wulandari jadi anak seperti saat ini karena kasih sayang ayah dan ibu padaku. Kalian tetap orang tua terbaik bagiku. Apapun keputusan mas Agus tak akan merubah besarnya cinta Wulandari pada Ayah dan Ibu." Ibu kemudian berdiri dan memeluk aku dan ayah. Ibu lirih meminta maaf padaku. Ku peluk mereka dengan segenap hati dan jiwaku. Bangga atas jiwa besar yang mereka miliki untuk mengungkapkan sebuah aib masa lalu yang pernah mereka lakukan.
"Permisi", Bang Agus membuyarkan haru biru kami bertiga. "Ayah ibu, Saya tetap tak akan merubah keputusan saya untuk meminang Dek Wulandari" . Ayah kemudian berdiri dan memeluk Bang Agus. "Terima kasih nak Agus, sudah mau berbesar hati menerima Wulandari apa adanya." Ucap ayah menjabat tangan Bang Agus. Â "Wulandari anak baik, yah meski harus lahir dengan cara yang salah."
      "Saya nikahkan engkau Agus Wahyudi Bin Eka Perdana dengan Wulandari Binti Wahyuni Pratiwi  dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan uang senilai seratus lima puluh ribu rupiah dibayar tunai." Dengan lancar wali hakim Wulandari mengucap ijab kemudian menggengam tangan mempelai pria. "Saya terima nikahnya Wulandari Binti Wahyuni Pratiwi  dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan uang senilai seratus lima puluh ribu rupiah dibayar tunai."
      Alhamdulillah saat ini aku sudah sah menjadi istri orang yang aku selalu kagumi dan banggakan dalam diam. Tak henti aku mengucap syukur dalam hati  Allah mempertemukanku dengan orang baik seperti dirinya. Malukah aku, tentu tidak. Karena tak mudah berada pada posisi kedua orang tuaku yang telah menebus kesalahan masa lalunya dengan kasih sayang yang telah aku terima bersama dua adikku hingga menjadikanku seperti ini. Yang Haram itu bukan kami tapi perbuatan zina yang telah orang tuaku lakukan. Stop Pergaulan Bebas agar tak ada lagi Wulandari-wulandari lainnya. (Tamat)
Â
Cerita ini hanya fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H