Yudi, demikian aku kerap dipanggil. Nama yang menimbun ingatan banyak orang mengenai nama asliku, Sirojudin Abdi. Dugaan kalian tak meleset. Nama Judi disitat dari nama depanku, Sirojudin. Tentu tak enak bukan kalau aku dipanggil Judi. Maka jadilah Yudi. Tak pernah aku tahu mengapa namaku ditulis Sirojudin dengan huruf “j” dan bukan Siroyudin dengan “y”. Kalau memang itu ejaan lama, tentu seharusnya huruf “u” ditulis dengan “oe”. Dan akupun tak memusingkannya walaupun temanku semasa kanak-kanak, kecil, memanggilku Abdi.
Sudah enam tahun lebih, hari-hari aku lewati dengan menulis dan menulis. Aku menyebutnya berladang kata-kata. Semoga kelak aku memetik buahnya juga siapa saja yang mengambil sesuatu darinya. Dan semoga itu suatu kebaikan. Dulu aku ingin menjadi petani desa bermartabat. Memiliki sawah dan kebun menghijau, makan dan hidup dari hasil bumi, berladang dengan tangan dan keringat sendiri. Tapi aku tak menjadi petani. Akhirnya aku memilih berladang kata-kata.
Aku menulis dan selalu menulis mengenai apa saja. Merekonstruksi peristiwa dan memberi makna padanya. Begitu alasanku kala ditanya mengenai pekerjaanku yang selalu berkutat dengan kata-kata. Tulisan itu adalah segala material bahan bangunan. Dengan elemen lain-lain, aku meramunya menjadi bangunan kata yang hingga berbilang kelak, tetap dapat dinikmati orang lain.
Gelar insinyur aku sandang,yang kini gelar itu menjadi Sarjana Teknik. Sedikit memaksa, gelar akademik itu kukira tepat dengan profesiku sekarang. Ia serupa dengan rancang bangun, tapi ini rancang bangun kata. Merekonstruksi kata-kata menjadi bangunan tulisan yang kokoh dan membumi.
Aku bukan penulis buku walau hari-hari aku lalui dengan bermain aksara. Bukan pula kerani atau juru catat di perkebunan yang hingga kini banyak yang masih mengadopsi kultur penjajah warisan Belanda. Aku seorang wartawan. Jurnalis. Itulah profesiku yang dua tahun lagi genap sewindu.
Dengan ijazah sarjana teknik aku melamar pekerjaan sebagai wartawan di sebuah Koran lokal di kotaku. Koran yang menginduk kepada Koran nasional di ibukota. Aku terpikat dengan nama besarnya. Kemudian hari, berbilang tahun baru aku tersadar bagaimana perusahaan media ini memperlakukan karyawannya. Kelak ketidakpuasan ini membawaku pada perubahan drastis dalam pengalaman ku.
Inilah godaan terbesar bagi seorang wartawan. Godaan bagi idealismenya yang berpihak pada kebenaran, nurani. Amplop. Uang. Tak peduli seberapa tebalnya isi amplop itu. Bukan perkara nominalnya. Tak peduli apakah Rp 5 ribu,Rp 50 ribu, Rp 500 ribu, Rp 1 juta dan seterusnya. Deretan angka itu adalah musuh besar terhadap profesionalisme dan independensi.
Ayong, nama lelaki yang kuwawancarai pagi itu. Ia baru saja mendirikan dealer sepeda motor. Namanya sangat dikenal di kotaku sebagai orang kaya. Usahanya mulai dari swalayan, toko elektronik, hotel, tempat hiburan.Dulu ia dikenal sebagai cukong kayu. Tentu saja kayu yang ditebangnya merupakan praktik illegal loging. Sejak bermain kayu tak lagi mudah, ia alih usaha.
Kami, para wartawan kerap mempelesetkan Ayong dan koleganya itu sebagai orang yang masuk dalam komisi A. Istilah itu muncul lantaran pengusaha besar di kotaku kebanyakan nama depannya berhuruf A. Dalam komisi yang tak masuk dalam DPRD itu ada nama Abeng, Akiong, Akeng, Akiet. Dari yang sedikit itu ada pula nama Aman, Amin, dan Ardiansyah. Syukurlah, aku Abdi tak masuk di dalamnya. Merekalah orang-orang kaya di kotaku.
Akiong pamit sebentar seusai wawancara jelang makan siang itu berakhir. Indraku mengirim sinyal tak enak.
“Pasti akan ada sesuatu,” batinku.
Ayong muncul dari balik pintu ketika aku menandaskan teh botol yang sedari tadi dihidangkan. Tangan kanannya dimasukkan di saku depan celana hitamnya.
“Ini, bukan apa-apa. Saya ikhlas,” ujarnya sembari menyodorkan tangannya mengajak aku bersalaman. Aku menjabatnya. Dan aku merasa dalam suasana yang sangat tidak nyaman. Serba salah. Itulah kali pertama aku disodori amplop dan tentunya ada uang di sana.
Dan di ruang kerja Ayong yang luas nan sejuk itulah kami beradu kuat ilmu tolak. Aku menolak pemberiannya dan ia menolak tolakanku itu dengan rayuan setengah memaksa.
“Kamu kan tidak meminta, saya ngasih ini. Kan, kamu bukan nulis berita jelek. Ini terima kasih dari saya,” ujar pria tambun itu memberikan alasan maksudnya.
Beruntung jabatan tangan kami sudah lepas dan amplop yang sempat kusentuh dan tebal itu masih di tangan Ayong. “Enggaklah Bang. Saya tau Abang bukan menyuap, tapi saya tidak bisa menerimanya. Mohon pengertiannya,” balasku memberi argumen. Aku berjalan menuju pintu saat kami bersalaman tadi. Semakin dekat ke pintu semakin mudah aku keluar menghindar.
Pintu berbahan kayu bulian itu dibukakan Ayong untukku. Ia menepuk punggungku dengan tangannya beberapa langkah menjelang aku keluar dari ruangannya. Amplop itu kini telah berpindah. Aku bahagia sembari mengucap syukur. Angpao tebal itu ia pindahkan ke tangan kirinya sesaat sebelum ia tepuk punggungku.
*Proyek saya yang gagal di Kampung Fiksi....
**lebih dulu diposting di rachmawan.wordpress.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H