Ayong muncul dari balik pintu ketika aku menandaskan teh botol yang sedari tadi dihidangkan. Tangan kanannya dimasukkan di saku depan celana hitamnya.
“Ini, bukan apa-apa. Saya ikhlas,” ujarnya sembari menyodorkan tangannya mengajak aku bersalaman. Aku menjabatnya. Dan aku merasa dalam suasana yang sangat tidak nyaman. Serba salah. Itulah kali pertama aku disodori amplop dan tentunya ada uang di sana.
Dan di ruang kerja Ayong yang luas nan sejuk itulah kami beradu kuat ilmu tolak. Aku menolak pemberiannya dan ia menolak tolakanku itu dengan rayuan setengah memaksa.
“Kamu kan tidak meminta, saya ngasih ini. Kan, kamu bukan nulis berita jelek. Ini terima kasih dari saya,” ujar pria tambun itu memberikan alasan maksudnya.
Beruntung jabatan tangan kami sudah lepas dan amplop yang sempat kusentuh dan tebal itu masih di tangan Ayong. “Enggaklah Bang. Saya tau Abang bukan menyuap, tapi saya tidak bisa menerimanya. Mohon pengertiannya,” balasku memberi argumen. Aku berjalan menuju pintu saat kami bersalaman tadi. Semakin dekat ke pintu semakin mudah aku keluar menghindar.
Pintu berbahan kayu bulian itu dibukakan Ayong untukku. Ia menepuk punggungku dengan tangannya beberapa langkah menjelang aku keluar dari ruangannya. Amplop itu kini telah berpindah. Aku bahagia sembari mengucap syukur. Angpao tebal itu ia pindahkan ke tangan kirinya sesaat sebelum ia tepuk punggungku.
*Proyek saya yang gagal di Kampung Fiksi....
**lebih dulu diposting di rachmawan.wordpress.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H